"Wah, banyak lagi ya, Mbak Wen," ucap Astrid yang baru datang sambil merapikan toque lalu berdiri di sisi Wendy membaca whiteboard di mana barisan daftar menu sudah tercatat di sana.
"Tapi, enggak kayak kemaren," balas Wendy kemudian menyambut anak-anak kru dapur lain yang datang.
Mereka berbaris mendengarkan Wendy dalam briefing pagi sebelum mengerjakan deretan tugas yang harus diselesaikan termasuk pembagiannya. Setelah berdoa bersama, Wendy bergegas untuk mengecek peralatan dan bahan-bahan yang akan dibuat sementara tim satu mulai membuat adonan opera cake--roti almond sponge dari Prancis yang setiap lapisan diolesi butter cream kopi dan ganache cokelat. Sehingga setiap gigitan terasa mewah di lidah karena kombinasi sempurna antara cokelat, kopi, dan almond jadi satu dalam tesktur yang lembut.
Di tim lain fokus pada olahan croissant yang sudah dimodifikasi Wendy dengan isian daging ayam asap, keju, tomat hingga selada berbentuk mini sehingga mirip dengan sandwich. Adonan tepung berputar dalam dough mixer besar, sesekali anak commis menuangkan air sedikit demi sedikit agar adonan tersebut kalis.
Sisanya, membuat hidangan pembuka seperti salad buah yang lebih cepat dan mudah daripada dua menu lain. Mereka begitu cekatan mengiris-iris buah menjadi ukuran kecil sebelum memasukkannya ke dalam lemari pendingin untuk disajikan terakhir. Salad buah yang menyegarkan tidak akan lengkap tanpa saus mayonnaise. Bukan saus mayonnaise biasa, dia membuat thousand island dressing yang merupakan campuran mayonnaise, saus tomat, acar timun, dan peterseli sehingga saat dimakan bersama salad buah akan terasa manis, asam, dan renyah.
Dia berjalan dan tak sengaja bertemu tatap dengan Bimo tengah berbicara dengan seorang laki-laki berperawakan pendek mengenakan setelan jas. Wendy mencibir dan melengos begitu saja masih kesal atas sikap Bimo yang dinilai tak mau terbuka padanya. Meski dianggap tak dewasa, Wendy merasa kalau orang yang hidup serumah wajib membagi masalahnya sekecil apa pun agar bisa ditemukan jalan keluar. Meski pernikahan di antara keduanya hanyalah sebatas di atas kertas, tapi Wendy berhak tahu apa yang ada di pikiran suaminya. Tadi pagi saja Wendy langsung berangkat ke hotel lebih pagi untuk menghindari kontak dengan Bimo termasuk jadwal lelaki itu memasak sarapan.
Bimo tampak tersenyum lebar ke arah lawan bicaranya dan pemandangan itu membuat Wendy terkesima beberapa saat. Jujur saja, salah satu dari sekian pesona Bimo Hartawan adalah senyum lebar hingga membuat mata sayu itu menjadi dua garis tipis. Belum lagi suara tawanya yang merdu di telinga yang bisa menghipnotis kaum hawa. Ah! Wendy menggeleng cepat menepis perasaan agar bisa memaafkan tindakan Bimo padanya. Tidak! Dia tidak akan semudah itu mengampuni Bimo yang main rahasia padanya.
Wendy berbalik pergi ke gudang persediaan sementara Bimo melihat punggung gadis itu makin lama makin menjauh dalam diam.
###
"Loh! Kok gini?" seru Wendy melotot melihat adonan croissant agak bantat dan tidak mengembang sempurna. "Kamu udah bener masukkin bahan-bahannya?"
"Sudah, Mbak Wen," jawab cook helper ketakutan. "Ragi, tepung, garam, susu, sampai margarin. Sudah saya coba uleni lagi tanpa mesin tapi masih bantat, Mbak Wen. Apa saya bikin baru aja?"
"Baru? Kamu pikir bahan-bahan ini gratis apa!" tegur Wendy tak terima jika harus membuang adonan sebanyak itu. Dia menyortir bahan lalu melihat masa kadaluwarsa ragi dan tepung yang bisa menjadi penyebab gagalnya adonan untuk mengembang.
Namun, kedua produk itu masih jauh dari batas akhir penggunaan yang berarti ada kesalahan dari anak cook helper. Kepala Wendy serasa pecah jika ada orang yang tidak becus mengerjakan satu tugas. Ingin memarahi tapi perempuan bertubuh agak berisi di depannya ini sudah menitikkan air mata dan menundukkan kepala.
"Kenapa kamu nangis! Dikira nangis bikin adonan itu jadi sendiri apa!" hardik Wendy membuat kru dapur lainnya menoleh beberapa saat kemudian kembali fokus mengerjakan tugas daripada ikut kena semprot.
Mereka sudah kenal tabiat Wendy kalau sudah marah maka semua orang akan menjadi pelampiasannya bahkan tak segan-segan melempar kesalahan kepada orang lain. Pernah satu waktu, ada anak commis yang terlalu over-profing sehingga roti terlalu datar sampai margarin keluar selama proses pemanggangan.
Wendy menarik napas panjang sembari memutar otak mencari cara agar tidak menyia-nyiakan bahan sementara isian croissant sudah siap dari tadi. Lalu dia menunjuk adonan bantat itu dan berkata, "Ya udah, bikin jadi piadina aja. Tahu kan?"
"Enggak, Mbak Wen," cicit cook helper itu meledakkan isi kepala Wendy seketika.
"Kamu kerja di sini kok malah enggak tahu!" ketus Wendy. "Heran saya kalau ada pattisier enggak becus kayak kamu! Ratih! Mana Ratih!"
Yang disebut tengah sibuk mengeluarkan opera cake dari panggangan lalu buru-buru mendatangi Wendy dan berkata, "Iya, Mbak?"
"Tuh ajarin buat piadina! Jangan sampai ya saya lihat ada adonan di sini dibuang meski secuil!" ancam gadis itu yang dibalas anggukan Ratih.
"Udah jangan nangis, ayo bikin daripada buang-buang waktu," bisik Ratih memporsi adonan bantat itu menjadi beberapa bagian sebelum menggilasnya sampai tipis. "Ini, kamu ikutin caraku kayak gini ya."
"Iya, Mbak, makasih ya ..."
"Iya, maaf ya, kayaknya Mbak Wendy lagi PMS," kata Ratih membesarkan hati cook helper itu.
###
Sepertinya kesialan sedang menggoda kesabaran Wendy setelah mendapat komplain akibat mini sandwich croissant yang seharusnya disajikan diganti hidangan mirip dengan sandwich wrape. Mau tak mau, Wendy menjelaskan kepada pihak penyelenggara acara bahwa croissant pesanan mereka sempat ada insiden yang tidak bisa dibuat ulang. Dia meminta maaf tak sempat mendiskusikannya kepada atasan termasuk Bimo karena berburu dengan waktu sehingga dia sendiri yang memutuskan menggunakan adonan bantat itu menjadi hidangan piadina dengan isian sandwich.
"Makanan ini juga enggak kalah enak kok. Malah lebih mengenyangkan daripada croissant," kata Wendy. "Daripada saya menyajikan croissant bantat apa klien Bapak enggak kecewa dua kali?"
Kalah omongan, akhirnya lelaki itu pergi menyisakan harga diri Wendy yang hampir jatuh ke jurang. Dia menarik napas sebanyak mungkin melepaskan kegugupan yang menyelimuti. Saat berbalik, Bimo datang dengan alis menekuk dan berkata,
"Kamu kenapa sih enggak laporan dulu?"
Wendy mendecak kesal tak memandang wajah suaminya sambil menjawab, "Keburu habis waktunya."
"Wen, tapi kan setidaknya--"
"Yang penting sudah beres masalahnya, Mas, kenapa harus diperbesar lagi sih!" cerocos Wendy menyela ucapan Bimo. "Lagian mereka juga enggak protes kok selain perubahan menu itu. Kalau Bu Lucy marah ya udah, tinggal aku dengerin aja beres. Kamu enggak usah sok ikut campur urusan aku."
"Loh, kok jadi gitu? Kamu kok marah sih, Wen," ujar Bimo ikut emosi.
Wendy memutar bola matanya lantas berjalan meninggalkan Bimo di depan pintu dapur. "Iya mikir aja sendiri, salahnya Mas Bimo di mana."
Bimo berbalik dan berseru, "Kamu PMS ya sampai semua orang kamu sewotin!"
Kru dapur yang mengintip perdebatan pasutri itu hanya menggeleng pelan. Pantas saja seharian ini aura pastry chef mereka seperti dementor yang mengisap habis semangat para juru masak berganti rasa ketakutan yang merasuk ke dalam tulang. Tidak ada senyum atau candaan yang biasanya diucapkan gadis itu. Entah apa yang membuat Wendy bisa seperti ini, mereka tidak berani masuk ke dalam lubang prahara rumah tangga mereka.
"Bakal jadi neraka seharian ini dapur," bisik seseorang.
"Sabar, namanya juga pengantin baru lagi panas-panasnya. Nanti juga dingin sendiri kok," sahut yang lain sambil senyum-senyum malu seperti menyiratkan sesuatu yang terdengar mesum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Marriage (END)
Romance(Marriage Life Series) Memilih menjadi single bahagia sepertinya menjadi sebuah aib bagi keluarga Wendy Aurelia. Di usia 31 tahun, Wendy dipaksa menikah demi membungkam cibiran keluarga besar sekaligus menuruti permintaan sang ibu. Sehingga dia meng...