satu

110 10 0
                                    

🎵 Coldplay - Daddy 🎵

• • • R e d a • • •

Senja belum sepenuhnya usai. Semburat jingga masih menghias cakrawala. Keindahannya seakan-akan memiliki kekuatan magis yang mampu membuat banyak orang terhipnotis selama beberapa saat. Banyak orang yang terkagum-kagum, meski tahu bahwa di balik keindahan itu ada kegelapan yang tengah menunggu dan bersiap untuk melahap keindahan itu dalam sekejap, lalu menyisakan kepekatan yang disebut sebagai malam.

Alesha masih termenung dalam duduknya. Dia menatap horizon yang masih terpoles warna jingga dengan tatapan kosong. Tanpa ada kekaguman. Yang ada justru pikirannya saat ini tengah kacau, berkecamuk: ada perasaan kehilangan yang masih terlampau pekat, keraguan, ketakutan, dan rasa tidak terima.

Suara dalam kepalanya terlalu keras, sehingga suara-suara keramaian di sekitarnya seakan ikut terjerat dan membentuk jaring-jaring rumit, lalu menghadirkan perasaan asing yang kemudian mendominasi seluruh hatinya. Alesha mengusap wajahnya dengan kasar, dia tidak boleh berpikiran buruk. Dia hanya ingin ibunya bahagia. Sudah itu saja.

Alesha menghela napasnya pelan, lalu dia memilih beranjak dari sebuah kursi yang disediakan di trotoar--memang khusus disediakan untuk beristirahat, berfoto, ataupun untuk menghabiskan waktu guna menghibur diri, karena letaknya berada di sekitaran taman kota yang tentu dipenuhi dengan keramaian apalagi di waktu seperti sekarang ini.

Alesha menuju sepedanya yang terparkir dengan langkah yang berat. Karena kurang fokus, dia tak sengaja menabrak seorang cowok yang dia perkirakan usianya mungkin sama dengannya.

"Eh, maaf, aku tidak sengaja." Alesha buru-buru mengucapkan permintaan maaf dan menunduk. Pikirannya terlalu kacau sehingga dia tidak memperhatikan keadaan sekitar yang terbilang sangat ramai. Dia terlalu lama melamun tadi, memikirkan sesuatu yang membuat kepalanya terasa nyaris pecah.

"Iya." Seseorang yang tak sengaja Alesha tabrak berkata singkat.

Alesha menatap orang itu sekilas untuk kembali mengucapkan permintaan maaf dengan tulus. Setelahnya dia berderap menuju sepedanya yang terparkir, lalu segera mengayuhnya untuk membawanya pulang.

Hari-hari terasa sangat berat untuk Alesha. Dia tidak pernah menyangka ketakutannya akan datang secepat ini. Namun, apa yang bisa dilakukan saat kehilangan adalah satu-satunya yang telah Tuhan gariskan? Seberapa keras seseorang menghindari yang namanya kehilangan, maka sekeras itu pula rasa tidak terima yang bersemayam dalam dada saat kehilangan itu benar-benar datang menghampiri.

Tidak pernah ada yang tahu tentang takdir Tuhan. Semuanya adalah misteri. Begitu juga dengan kematian ayahnya Alesha seratus hari yang lalu. Tanpa sebuah peringatan, tanpa tanda-tanda sakit, tapi tiba-tiba saja ayahnya meninggal dunia saat mereka sedang sarapan bertiga--bersama ibunya Alesha. Kini genap di hari keseratus rasa kehilangan menemani hari-hari Alesha, tepat hari ini pula dia mendapatkan kabar lain yang entah harus membuatnya berbahagia atau bersedih.

Alesha mengayuh sepedanya pelan. Sementara itu polesan warna jingga pada cakrawala semakin melebur tersapu gelap di setiap bertambahnya kayuhan pedal pada kedua kaki Alesha.

Silau lampu jalanan dan kendaraan sama sekali tak mengganggu pandangan Alesha. Karena yang ada di pikirannya saat ini jauh lebih mengganggu. Ucapan ibunya tadi masih terngiang jelas di kepalanya. Lalu ucapan itu menghadirkan benang-benang merah yang saat ini terjaring rumit di dalam kepalanya.

"Isha, Ibu tahu ini mungkin terlalu cepat. Tapi Ibu rasa Ibu sudah menemukan seseorang yang bisa menjaga kita."

"Ibu sangat mengenalnya. Dia seseorang yang sangat baik dan penuh tanggung jawab. Ibu yakin, dia akan sangat menyayangimu seperti anaknya sendiri. Dia akan menjaga kita, Isha."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang