Seperti apa warna hidup

7 2 2
                                    

Cerita ini aku bawa atas rasa suka dan kagumku tentang tokoh dan karakter yang akan aku bawa. Tokoh yang banyak menarik perhatianku dari tokoh-tokoh lain yang aku buat.

Mau seburuk apapun karakternya yang telahku buat, tetap saja dia akan menjadi satu diantara yang terbaik versiku.

Selamat membaca, akanku usahakan membuat kalian menyukai "dia" sama seperti aku menyukainya.

Setelah membayar belanjaan yang sudah dibungkusi dengan plastik putih yang bertuliskan Indomaret di depannya, Ajuz menampilkan senyum manis kepada mbak kasir yang terus memperhatikannya, entah apa yang salah dengan wajah-nya sehingga mbak kasir tersebut menatap-nya seperti ingin menculik. Setelah mengambil plastik di tangan kanan-nya Ajuz melongos pergi dari tempat berbelanja itu dan meninggalkan senyum untuk mas-mas  petugas yang membukakan pintu untuk-nya keluar.

Setelah memastikan sepeda keranjangnya terparkir sempurna di depan Indomaret, Ajuz mendekati kang parkir untuk memberi upah karena sudah membantu sepedanya terparkir dengan rapi, walaupun awalnya dia sudah memparkirkan sepeda tersebut, tetap saja akan dirapikan lagi oleh kang parkir itu. Ajuz memberikan duaribu rupiah, dia rasa cukup untuk memparkirkan sepeda yang hanya sekecil itu. Setelah tukang parkir itu tersenyum padanya, Ajuz pergi untuk kembali ke rumah dan mulai menyantap cimori kesukaannya.

Ada banyak hal yang bisa dia jabarkan tentang cimori kesukaanya, susu kental dengan farian rasa buah buahan, minuman yang menemani dia dan bang Deon—abang kandungnya sedari kecil, tentang bagaimana dia rebutan dengan Deon jika stock di rumah tinggal 1, tentang siapa yang akan mengalah ketika memperebutkan minuman itu, dan bagaimana Ajuz menangis ketika Deon sengaja merebut cimori yang akan menjadi tegukan terakhirnya.

Bisakah... Semuanya diputar kembali? Ajuz ingin menunjukkan bagaimana kedekatan mereka dulu.

"Bang, satu ya, biasa gak pake bawang goreng." Ajuz menghentikan sepedanya di pinggir jalan tepat di samping abang si penjual bubur ayam langganannya. Bubur ayam ternikmat bahkan mengalahkan bubur buatan Tessa—sang mama.

Mungkin, bagi sebagian orang makan bubur ayam tidak lengkap kalau tidak ditambahkan bawang goreng sebagai penyedap. Namun, bagi Ajuz bawang adalah satu bumbu yang membuat napsu makannya menurun, kecuali jika bawang tersebut diolah menjadi bumbu halus yang rasanya hampir tidak terdeteksi oleh lidahnya. Biasanya, dia akan menemukan bawang yang diiris begitu saja diolahan mie kuah, biasanya Ajuz akan memisahkan bawang tersebut sampai hanya tersisa cabe dan telur saja dalam semangkuk mie kuah pedas kesukaannya.

"Ini, Juz. Buat lu pelanggan setia gak usah bayar." ujar Bang Jaja si penjual bubur langganannya.

Ajuz menatap kaget, "Loh, Bang. Kok gratis?" balas Ajuz balik bertanya dan tidak mau menerima plastik yang membungkusi polipom berisi bubur itu.

"Iya, Juz. Ini terima aja enggak baik nolak rejeki." kata bang Jaja lagi.

Lagi-lagi Ajuz tampak ragu, "Enggak, Ah. Niat gue kan pengen beli, bukan gratisan,"

Melihat ekspresi kecewa bang Jaja karena Ajuz menolaknya, membuat Ajuz menerima saja. Tapi dengan embel-embel dia akan membeli satu lagi untuk sahabatnya.

"Yaudah, gue terima. tapi gue beli satu lagi ya, biasa buat Markonah." ujarnya mendapat sambutan girang dari bang Jaja.

Bang Jaja langsung membuatkan satu porsi lagi untuk Markonah yang dimaksud Ajuz. Selain sopan dan baik, Ajuz juga memperhatikan sahabatnya. Markonah yang dimaksud adalah Jonathan, sahabatnya sedari kecil yang sudah seperti adik. Bahkan, Ajuz pikir mungkin yang sebenar saudara kandungnya bukan Deon–melainkan Jonathan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ajuz DiktanegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang