Sebagai siswi kelas tiga, Mita selalu sibuk dengan hal-hal berbau beasiswa. Apalagi dirinya ingin sekali mendapatkan beasiswa utuh di universitas favorit. Bahkan saat teman-temannya membicarakan betapa tampannya siswa lain, ia selalu mengabaikan. Tidak ada dalam kamusnya tentang Cinta.
Cinta pada masa SMA bagi Mita adalah hanya sebuah cinta main-main saja. Cinta yang hanya ada disaat mereka bersama. Disaat mereka pisah kota, bahkan kata putus pun sangat ringan untuk diucapkan dengan alasan klise.
Cinta itu rumit. Pikir Mita kala itu. Dan ternyata kisah cintanya pun sama rumitnya dengan pemikiran sendiri. Pramita Diana.
"Mit, besok udah ada turnamen basket lho. Lu nontonkan? Banyak Cogan tahu." Rani teman sekelas Mita tiba-tiba saja duduk disampingnya sambil mengoceh tentang turnamen basket.
Mita melirik Rani sekilas, lalu kembali menatap buku yang berada di depannya. "Enggak. Sibuk," tolaknya.
Rani memperhatikan Mita dengan intens. Dengan mata yang menyipit dia kembali bertanya, "sibuk apa?"
"Sibuk berurusan dengan guru BK," jawab Mita tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku.
Mita tidak berbohong akan itu. Dirinya benar-benar sedang berurusan dengan guru BK. Guru bimbingan konseling untuk membahas tentang beasiswa yang bisa ia raih.
"Ngapain? Lu kena kasus apaan?" selidik Rani sambil menyondongkan tubuhnya menatap Mita lebih dekat.
Mita mendongak, lalu mendorong jidat Rani untuk menjauh darinya. Rani kembali duduk dengan biasa di depan Mita. Sedangkan Mita malah sibuk membereskan buku-bukunya.
Mita beranjak dari duduknya. Berjalan ke arah rak-rak yang berada di dekatnya. Meletakkan buku sesuai dengan tempatnya.
Rani terus saja memperhatikan Mita yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Bahkan sampai Mita selesai pun dia tetap memperhatikan Mita dengan tatapan menuntut jawaban.
Untuk pergi ke arah pintu keluar membuat Mita harus menatap Rani. Rani yang menatapnya dengan menuntut. Menghela napas dengan sikap harusnya Rani. Harus mendapatkan jawaban atas pertanyaannya sendiri.
"Kagak ada kasus Rani," jawab Mita dengan geram.
Bagaimana Mita tidak geram dengan sikap Rani. Ia malas menjawab pertanyaan yang tidak penting untuk yang bertanya. Apalagi hal ini tidak ada hubungannya dengan dia. Buat apa dia menanyakan lebih jauh tentang ini.
Mengabaikan Rani yang masih berada di dalam perpustakaan, Mita berjalan keluar sambil melirik sekilas isi perpustakaan yang sepi. "Andai gue bisa ngebuat perpustakaan mini untuk anak-anak yang butuh," gumam Mita dalam hati.
Ia mempunyai keinginan yang mulia. Namun, keadaan tidak berpihak padanya. Keluarganya dari keluarga sederhana. Koleksi bukunya pun tidak banyak. Yang bisa ia lakukan hanya mengajari mereka membaca dan menulis saja di sana.
"Hayo lho ngelamunin apa?" tuduh seseorang yang merangkul bahu Mita dengan seenaknya.
Mita menjauhkan tangan orang itu. "Bau, Alex."
Alex memanyunkan bibirnya berpura-pura kesal dengan perkataan Mita. Teman sejak SMPnya ini, di dalam mulutnya tidak memiliki sebelum berbicara. Kasar.
Alex berjalan beriringan dengan Mita. "Lu nontonkan besok? Sekolah kita tanding, lho," ajaknya sambil terus berusaha melihat wajah Mita.
Posisi mereka yang sambil berjalan dan Mita yang tak mau memperlambat langkah kakinya, membuat Alex kesusahan mengartikan ekspresi wajah Mita. Wajahnya hampir selalu terlihat datar.
"Sibuk," tolak Mita dengan singkat dan jawaban yang sama seperti pada Rani.
"Sibuk mulu dia. Kesal gue," keluh Rani yang sudah berada di belakang Mita dan Alex.
Rani dan Alex adalah teman Mita sejak SMP. Hanya mereka berdua saja yang bertahan dengan sikap Mita seperti ini.
Alex memelankan langkah kakinya. Meraih punggung Rani dan merangkulnya sambil mendekatkan wajahnya pada Rani. "Gini, Ran. Si Ibu Negara satu ini itu emang sibuk," ungkap Alex membela Mita, "sibuk overthinking tentang cowok yang enggak mau deket sama cewek jutek kek dia," sambungnya dan langsung mendapatkan jitakkan di kepala oleh Mita.
"Ayam! Mita sakit bege!" umpat Alex tanpa peduli tatapan murid lain yang mendengar.
Alex masa bodoh dengan tatapan murid lain. Ia merasakan sangat sakit di kepalanya karena jitakkan oleh Mita. Selain mulutnya yang pedas, jika main fisik Mita pun tidak kalah sadisnya. Pantas saja semua siswa menyerah dengan Mita.
"Banci. Gitu aja sakit."
Lihat? Kalimatnya begitu menohok Alex yang menjadi sasarannya. Sedangkan Rani sudah tertawa puas di dalam rangkulan Alex.
Sadar akan Rani yang tidak membelanya. Alex melepaskan rangkulan dengan kasar. Hingga Rani sedikit terdorong menjauh.
Tidak merasa tersinggung sedikit pun, Rani tetap menertawakan Alex. Baginya hanya Mita yang berani meledek dengan begitu kejam kepada Alex. Murid lain segan untuk meledeknya.
"Terus, ketawa aja terus. Ampe ultramen jadi power ranger," kesal Alex, lalu berjalan dengan cepat sampai melewati Mita.
Dengan wajah datarnya Mita melirik Rani yang masih berada di belakang, lalu kembali menatap ke depan dengan acuh. Sudah pasti Alex akan ngambek padanya atau pada Rani. Rani yang tak pernah membela Alex jika diledek oleh Mita dan Mita yang tak akan meminta maaf terlebih dahulu.
Sebenarnya ada rasa bersalah setiap kali Mita selesai meledek orang lain. Namun, mau bagaimana lagi? Dirinya memang seperti ini jika berbicara. Ia tidak ingin berbasa-basi atau hanya sekedar bermulut manis untuk mendapatkan simpati orang.
"Mita! Besok lu harus nonton!"
Lagi-lagi ajakan untuk menonton pertandingan basket Mita dengar dari teman yang lainnya. Memangnya Mita ini bagian dari mereka hingga harus ikut menonton?
"Sibuk, Rin," tolak Mita untuk kesekian kalinya.
Rin, Karin teman sekelas Mita yang menjabat sebagai ketua basket putri. Walau jabatannya sebentar lagi lepas, tapi dia dengan semangat mengikuti turnamen basket untuk terakhir kalinya pada masa SMA.
Karin mendekat ke arah Mita. Meletakkan kedua tangannya pada bahu Mita. "Jangan bilang, lu masih sibuk ngurusin beasiswa?" tebaknya, lalu dia meniup poninya sendiri.
Mita mengangguk.
"Aelah." Karin melepaskan tangannya dari bahu Mita. "Satu hari aja," pintanya sambil memohon pada Mita.
Karin tahu betul sikap Mita yang tidak ingin menonton pertandingan basket. Selain tempatnya yang ramai, dia juga tidak ingin menjadi pusat perhatian dengan bergabung bersama suporter sekolah.
"Lagian 'kan, Mit. Pertandingannya 'kan sehabis pulang sekolah. Lu urusin begituannya pas istirahat aja napa."
"Enggak bisa." Mita berjalan melewati Karin. "Pas istirahat waktunya dikit," lanjutnya yang kemudian duduk di bangku.
Alex dan Rani sudah tidak terlihat. Mungkin mereka sudah kembali ke kelas masing-masing. Mereka berbeda kelas, tapi kelas mereka bersebelahan. Kelas Mita berada di tengah-tengah kelas mereka.
"Ayolah, Mit. Ini tuh pertandingan terakhir gue pas SMA," rengek Karin lagi sambil duduk di bangku kosong sebelah Mita.
Jika Rani adalah tipe manusia yang pertanyaannya harus selalu dijawab. Maka Karin adalah tipe manusia yang semua keinginannya harus dituruti.
Bayangkan saja jika Mita harus berada diantara dua manusia seperti ini. Ingin rasanya dirinya cepat-cepat menyelesaikan SMA-nya. Bukan berarti Mita tidak ingin berteman dengan mereka. Hanya saja jika sudah lulus nanti mereka tidak akan sering bertemu dan harus mempunyai alasan yang tepat untuk menolak keduanya.
"Mita," rengek Karin lagi sambil menempelkan tubuhnya pada Mita, "Ayolah. Ngurusin beasiswa masih ada waktu banyak. Lagian kita ini masih pertengahan semester awal," bujuknya lagi dan lagi.
Mita menjauhkan tubuh Karin darinya. "Iya, iya," pasrah Mita dengan permintaan paksa Karin.
~~~
Terima kasih sudah membaca Awas Jatuh Cinta sampai sini. Semoga kalian menanti kelanjutan ceritanya, ya.
Salam manis dari Lima Indian Alfa.
See you 👋🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Awas Jatuh Cinta
Teen FictionDi saat kau menolak untuk jatuh cinta, di saat itu pula cinta datang menghampiri. Di saat kau berusaha menerima cinta, di saat itu pula cinta pergi. Cinta memang terkadang membuat kita bingung. Kadang cinta memaksa kita untuk menerima. Namun, cinta...