Akashi tengah duduk dikursinya, sambil melihat kearah luar. Cara duduknya sangat terlihat bahwa ia berasal dari keluarga terpandang. Walau hanya anak SMA, ia tetap akan menjaga imagenya. Lelaki itu tidak akan membiarkan nama keluarganya terkotori noda walau hanya sekecil amuba.
Jam tanda pulang sudah berbunyi sejak lama, tapi ia tidak ingin pulang lebih cepat. Dapat dilihatnya dari jendela kelas bahwa hari semakin gelap, hujan akan turun. Tapi sekali lagi ia tetap tidak berminat untuk meninggalkan kursinya.
'Drtt... drttt....'
Ponselnya berdering. Tanpa ekspresi tertentu lelaki itu langsung mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan.
"Ya?" jawabnya tanpa basa-basi, padahal sang penelepon adalah anon.
"Sei-kun sudah pulang? Bisa menjemputku sekarang? Disini sudah hujan, aku tidak bawa payung jadi−"
"Baiklah." Jawabnya lalu menutup telepon dan memasang wajah murka. Bola matanya mengatakan sesuatu seperti, 'sialan, aku tidak suka diperintah'.
Tapi walau begitu, ia tetap bangkit dari duduknya, mengambil tas dan beranjak dari tempatnya.
Sepanjang koridor Akashi hanya terdiam sambil menatap depan, koridor sekolah sudah kosong. Tapi ia tidak terlalu peduli dengan hal itu, maka ia terus berjalan menusuri koridor untuk ke loker.
"Phamm!!" Akashi berhenti saat seseorang dari koridor kiri tiba-tiba mengkagetkannya, Akashi hanya diam lalu mengangkat kepalanya dengan pelan, dan memasang wajah murka.
"Apa yang kau lakukan disini, Daiki?" tanyanya pada lelaki yang tadi mengejutkannya, Aomine Daiki. Lelaki dengan warna rambut biru gelap dan kulit tan, eum.. satau bisa dibilang.. hitam?
"Yo! Sebenarnya aku biasa pulang sampai jam segini." Jawab Aomine sambil cengegesan, tidak sadar bahwa dirinya sedang berada dalam bahaya besar, "Kau sendiri, Akashi? Apa yang kau lakukan? Aku tidak pernah melihatmu−"
"Bukan urusanmu." Belum selesai Aomine menyelesaikan kata-katanya, Akashi sudah memotongnya dan langsung mengeyahkan dirinya dari hadapan Aomine, tetap berjalan menuju tujuannya.
Wajah Aomine langsung berubah suram, ia tidak mengerti harus berkata bagaimana agar setidaknya Akashi tidak lagi bertingkah seperti itu. Mendengarkan sebentar, memotong pekataannya, lalu pergi. Dalam seeminggu ini, Akashi berubah menjadi seseorang yang bahkan ratusan kali lebih kejam daripada dirinya yang biasanya. Tapi walau begitu Aomine tahu, bahwa Akashi menganggapnya seperti teman, karena Akashi tidak sungkan untuk menujukkan sikap dinginnya pada Aomine.
"Oy, kau sedang ada masalah, ya? Percintaan kah?" Aomine berlari mendekati Akashi, lalu merangkul pundaknya, "Aku bisa memberimu saran, Akashi. Berhentilah memainkan hati pacarmu, kau akan menyesal nantinya.. kalau begitu aku yakin kau tidak akan pernah mendapat pacar sungguhan.. berhenti juga membuang uang banyak hanya untuk pacarmu, itu hanya akan membuat yang lainnya berpacaran denganmu hanya kerena uangmu. Jadi, ya... semoga kau mendengarkanku."
Akashi menatap bawah lalu berkata dengan pelan, "Bisakah kau enyahkan tanganmu dari pundakku?" bukannya merespon ia malah mengatakan kata yang lain. Perkataannya benar-benar tajam seperti iblis.
Tanpa menunggu waktu yang lama, Aomine langsung melepaskan tangannya dari pundak Akashi, karna ia tahu. Perintah Akashi, Mutlak!
"Tidak peduli ada masalah atau tidak, jangan mencampuri urusanku.." setelah mengganti sepatunya, Akashi langsung pergi meninggalkan Aomine tanpa berpamitan sedikitpun. Oh, ya. Biasanya memang tidak pernah berpamitan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Why?
FanfictionKlan Akashi. Adalah klan paling kaya diantara klan-klan lainnya. Tidak ada yang bisa menyaingi kekayaan keluarga mereka. Kepala keluarga Akashi sangat tegas, itulah mengapa anak pertama dan satu-satunya mereka, Seijuurou. Sudah tumbuh menjadi seoran...