Just Only Me

16 0 0
                                    

I don't deserve for anyone. Not that  ... I fated to be alone. Only me and myself.

Rebecca menenggelamkan wajahnya di atas permukaan air  pada bathtub yang sengaja ia biarkan terisi penuh hingga tumpah.

Meski tak terdengar suara apapun, tapi kemunculan gelembung yang berlomba menampakan diri setidaknya menjadi bukti bahwa gadis tersebut tak hanya diam. Rebecca berteriak sekuat tenaga, berusaha melepas penat yang ia dapat hari ini.

Rasanya jenuh, karena harus melakukan hal ini di setiap penghujung malamnya. Rebecca tidak pernah tidak lelah. Baik fisik ataupun emosional, semuanya buruk, tidak ada yang baik-baik saja. Rebecca benci itu, tapi ia tidak bisa menolak.

Banyak orang dengan iri dengki menginginkan hidup seperti dirinya. Bergelimang harta, seperti tidak akan pernah habis jika terus dihamburkan. Namun, apa Rebecca terlihat sesempurna itu?

Menarik kepalanya, Rebecca kemudian menghempaskan tubuhnya begitu saja ke dalam bathtub, seakan fisiknya sudah kebal dengan rasa sakit.

Cukup. Penyakitan-penyakitan yang ia terima selama ini sudah cukup membuatnya terbiasa. Tidak ada teriakan mengaduh saat surai hitamnya ditarik kuat. Tidak ada refleks perlindungan diri yang dilakukan saat tongkat kayu itu mendarat dengan membabi buta di sekujur tubuhnya.

Sebenarnya apa salah Rebecca? Apa yang telah dia lakukan di kehidupan lalu sampai-sampai pahala yang ia dapatkan sekeji ini.

"Kamu mau sampai kapan jadi anak bodoh kayak gini, Rebecca?!"

"Mama malu punya anak kuper kayak kamu!"

"Kamu harusnya mencontoh kakak kamu!"

"Rebecca, tolong buatkan susu hangat untuk kakakmu."

"Rebecca, kamu harus mengalah dengan kakakmu."

"Kamu di rumah saja, jangan buat Papa malu."

"Besok raportmu diambil sama Bibi ya, Rere. Papa sama Mama harus hadir di sekolah Kakakmu."

"Papa, Mama dan Kakakmu hari ini akan makan malam di luar untuk merayakan kemenangannya. Kamu gak bisa ikut karena nilaimu masih kurang!"

"Mama menyesal punya anak kayak kamu!"

"Kamu rebut Kak Alex dari aku, Re!"

"Kak Alex gak pantas buat kamu!"

Semua memang sama. Tidak ada kalimat yang membuat semangat, semua hanya jadi boomerang untuk dirinya.

Alex, laki-laki pertama yang membuat perutnya penuh dengan kupu-kupu terbang. Laki-laki pertama yang mengulurkan tangannya saat senang ataupun sedih. Laki-laki pertama yang membuatkan sadar akan siapa dirinya.

"Rebecca, you not that worse. You're cute and beautifull at the same time."

"Becca, how to say I love you? When we're together, I feel like I'm gonna die."

Rebecca tahu porsinya. Tidak sepantasnya ia mengahabiskan waktu bersama dengan orang terpandang seperti Alex. Meski seluruh ruang di hatinya sudah diisi penuh oleh satu orang itu. Kata lain, Alex terlalu sempurna untuk dirinya yang bahkan tidak terlihat.

"Rebecca, jauhi Alex. Bulan depan dia akan dijodohkan dengan Kakakmu."

Persetan dengan semunya. Lagi, Rebecca kembali menenggelamkan dirinya, menyisakan gelembung yang segera pecah saat sampai di permukaan air. Tak jarang ia tersedak karena dalam tenggelamnya ia terisak.

Kenapa ia dilahirkan jika pada ujungnya hanya menimbulkan penyesalan? Kalau boleh memilih, Rebecca lebih baik tidak terlahir.

Rebecca, seharusnya lo mati aja, hidup lo cuma dijadikan samsak sama nyokap lo!

Rebecca segera tersadar saat bisikan itu mulai terdengar.

Mati, bodoh! Lo cuma parasit di keluarga ini!

Rebecca terlihat seperti orang ling-lung. Menutup kedua telinganya, tangisan kecil itu mulai keluar dari mulut empunya.

Mati, Rebecca, mati! Gara-gara lo anak bungsu mama mati! Gara-gara lo darah tinggi Papa kumat dan buat dia hampir mati!

Huh, suara halus yang ia yakini itu adalah sisinya yang lain, hadir lagi menyiksa titik warasnya. Kenapa harus datang lagi?

Lo nggak pantas, Becca! Lo buruk, tempat lo bukan disini. Hitung seberapa banyak kesalahan yang sudah dilakukan sama tubuh lo ini!

Tangisnya mulai menjadi, Rebecca mulai memukul kepalanya tanpa kesadaran sedikitpun. Gadis tersebut bangkit, keluar dari tempat ternyamannya.

"Gue salah. Nggak seharusnya gue hidup," katanya, sembari memukuli kepala dan sesekali mencubit kulitnya hingga muncul warna putih, menandakan cubitannya cukup kuat.

"Mama, Becca minta maaf!" teriaknya memenuhi ruangan petak berukuran cukup luas tersebut.

"Papa, Rebecca minta maaf!" teriaknya lagi.

"Rebecca janji akan jadi seperti Kakak! Rebecca gak akan nyusahin kalian lagi!" Begitu katanya, sebelum ia jatuh terduduk di belakang pintu masuk biliknya.

"Sebentar lagi Rere ulang tahun, Rere mau tiup lilin bareng kalian. Rere mohon, Pa, Ma." ucapnya penuh pengharapan dengan suara serak nyaris tak terdengar.

"Kak Alex, Kakak gak pantas buat Rere. Kakak cocoknya sama Angel, bukan Rere."

Rebecca masih setia mencubiti kulit tangannya, Rebecca merasa ia pantas mendapatkan itu semua.

"Kak Alex, thankyou for being my Mercury. I love you so bad, but I dont deserve you, Kak."

Dengan kesadaran yang semakin menipis, Rebecca kembali berucap, "Rere minta maaf, Pa, Ma. Rere nggak tahu. Rere  ...  Rere nggak pernah mau jadi kayak gini. Rere capek...."

Benar, Rere lelah menjadi demikian.

Kring, kring.

Jam welker yang ia simpan di atas nakas di sebelah ranjangnya berdering tepat saat jarumnya menunjukan pukul 12.01 dini hari, itu menandakan hari berharga miliknya telah tiba. Hari yang sangat ia tunggu akhirnya datang. Rebecca tidak sabar mendengar ucapan selamat dari orang-orang tercintanya.

"Happy birthay Rebecca, terima kasih karena lo sudah bertahan sampai hari ini. Hari ulang tahun lo. Semoga hari ini bisa dirayakan bersama Papa, Mama dan Angel," katanya kepada diri sendiri dengan senyum tipis yang terukir pada bibir pucat pasi tersebut.

Beruntung Rebecca segera mengucapkan kalimat tersebut, karena satu menit setelahnya kesadaran gadis tersebut direnggut. Tubuh Rebecca terjatuh di atas lantai marmer berwarna gelap nan elegan tersebut.

Mungkin tidak akan ada nyanyian selamat ulang tahun ataupun acara tiup lilin bersama. Juga, Rebecca tidak akan pernah bisa mencicipi potongan kue pertamanya.

Biarlah seperti ini. Biar hilang satu, hilang semua luka, hilang semua pesakitan yang dengan kurang ajar merusak segalanya.

Rebecca, berbahagialah di sana  ... kamu harus, karena kamu pantas.

Love,
Ur beloved love

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang