Final Chapter (1)

22 0 0
                                    

Jatuh cinta itu seperti berekspetasi. Banyak angan yang diharapkan, banyak hayal yang diharap menjadi nyata. Jatuh cinta berarti sudah siap patah hati.

Memang benar kata orang; jangan pernah menaruh harapan pada seseorang. Manusia bisa berubah, hati pun demikian. Tidak ada hal yang tetap bahkan saat sudah ditetapkan sekali pun.

Ziva bodoh. Tetap melangkah walau takdir sudah nampak jelas.

Ziva bodoh, karena pura-pura tidak tahu bagaimana perasaan Devan yang sesungguhnya.

Ziva tahu, bahwa semua yang terlihat 'iya' sebenarnya 'tidak'. Ia tidak punya pilihan lain selain terus bersanding dengan kepalsuan.

Bagi Ziva, Devan adalah racun yang tidak ada obat penawarnya. Devan lebih susah dilupakan dibanding rumus luas persegi panjang. Devan selalu menjadi nomor satu walau nampak cacat yang terhitung. Singkatnya, Devan adalah sosok paling sempurna, walau menghasilkan banyak luka.

Ternyata cinta sepihak semenyakitkan ini. Dia adalah segalanya, sedangkan kita bukan apa-apa. Ingin berhenti pun tidak bisa, tidak akan pernah bisa jika dipaksakan.

Satu tahun terakhir ini Ziva hanya menebar angan, merajut mimpi, Ziva hanya membuang-buang waktu untuk satu makhluk yang bahkan akan bersikap bodo amat jika ia mati sekali pun.

Semua akhir pasti memiliki awal. Ya, awal. Awal yang terlalu diremehkan. Awal yang dengan kurang ajarnya menerobos masuk, membuat hati berlubang.

Andai dulu Ziva tak menanggapi kehadiran Devan, pasti semua tidak akan serumit ini. Namun, andai hanyalah andai, mustahil untuk diperbaiki apalagi diubah.

Padahal selama ini Ziva pikir laki-laki yang menjadi tujuannya adalah seseorang pendiam dan sedikit respon sepertinya. Namun, dia malah jatuh pada sosok Devan, yang dilihat dari sisi manapun tidak masuk dalam kriterianya.

Devan banyak omong, Ziva hanya bicara secukupnya.

Devan suka berpergian, Ziva lebih baik mengurung diri di kamar.

Devan suka menambah teman, maka teman Ziva hanya itu-itu saja.

Devan suka keramaian dan tentu saja itu kelemahan Ziva.

Sesungguhnya masih banyak perbedaan mereka, yang dipikir Ziva dirinya tidak akan mungkin masuk dalam perangkap Devan.

Jauh daripada itu, Devan adalah sosok pria pertama yang bisa membuat Ziva berdecak kagum, bahkan hanya dengan setiap kalimat dalam omongannya.

Ziva ingat bagaimana Devan selalu hadir dalam setiap hari buruknya. Ziva ingat benar bagaimana laki-laki itu berusaha menghibur dirinya saat dalam mode bad mood.

Meski terkadang Ziva diserang overthinking, karena Devan tiba-tiba tidak berkabar, tapi tidak apa-apa. Juga, Ziva tidak berhak atas semua itu.

Di mata Ziva, Devan selalu mencoba melakukan semua yang terbaik untuk dirinya. Devan selalu paham tentang semua hal yang Ziva inginkan. Devan se-peka itu, Ziva suka.

Jadi, apa semua perkara itu yang membuat Ziva jatuh? Tidak, jelas tidak. Ziva sudah jatuh jauh sebelum mereka bertukar kabar ataupun hal-hal lain yang membuat mereka terhubung. Ziva jatuh tanpa syarat, Ziva jatuh tanpa alasan apapun.

Lalu, sekarang apa?

***

Devan suka pantai, maka Ziva juga suka, meski gunung lebih menarik perhatiannya.

Bagi Ziva, susana di gunung lebih tenang. Sejuk dengan hamparan hijau tiada batas. Ziva suka tenang, diam, tanpa ada suara bising.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang