Delapan orang.
Sekarang ada delapan orang yang terhitung dalam satu ruang. Ada si mantan ketua kesiswaan—Mark Lee—yang pasti punya jiwa kepimpinan dan kebiasaannya untuk bertanggung-jawab bila dilihat dari kontur wajahnya yang menegang manakala Jisung tertinggal. Ada Renjun, si gigih yang mengesampingkan ketakutannya. Ada Haechan dan Jaemin, duo pemberani yang tidak peduli dengan tindakan mereka. Ada Jisung, yang termuda dengan kesetiaannya. Ditambah satu perempuan—Kim Yeri—yang mau repot-repot berkorban untuk Jisung kendati mereka tidak saling mengenal.
Kombinasi ini terasa nyaris sempurna. Tapi Chenle mematung. Kenapa ada Kangmin? Kenapa orang brengsek itu harus ada di satu pihak yang sama dengannya?
"Siapa yang lebih dulu masuk ke sini?"
Jaemin bersua manakala Chenle enggan mengenyahkan matanya dari Kangmin yang terduduk, berpura-pura memotong kukunya.
"Mark sama aku." Renjun menyahuti. Selepas itu, Jaemin menoleh. Tatapannya mengikuti kemana Chenle memusatkan seluruh atensinya.
"Siapa yang ngizinin manusia itu masuk ke sini?" Jaemin mengedikkan dagu. Ketika itu, Kangmin yang merasa disentil dalam perbincangan, mengangkat kepala. Dia terkekeh kecil menyadari ada banyak pasang mata terarah untuknya. "Mark Lee? Nggak heran. Aku tahu kamu memang peduli sama banyak orang. Tapi apa kamu tahu, si brengsek itu udah berbuat apa aja?"
"Aku tahu." Mark menjawabi, menarik Jaemin untuk menengok ke arahnya dengan garis wajah yang terkejut-kejut.
"Terus kenapa kamu izinin dia masuk?"
Mark mengunci mulut. Kangmin yang diperdebatkan, bangkit berdiri. Dia menengahi. "Wah wah wah, ini ajang buat mengungkap dosaku ya?" Kangmin membalas tatapan Jaemin. Senyumnya muncul untuk beberapa saat seolah-olah Jaemin adalah bocah lima tahunan yang amarahnya menggelegak karena kalah bermain. Kangmin tergelak kecil sebelum beralih pada Jisung. "Apa kabar? Kelihatannya kamu lumayan kuat. Baik-baik aja kan?" Basa-basi itu terlontar. Nadanya enteng tanpa tersemat sedikit pun rasa bersalah.
Jisung tidak menyahuti sama seperti Chenle yang mulai kewalahan menahan amarahnya. Untuk beberapa saat, ruangan itu disesaki oleh bungkam. Salah satu dari tujuh orang yang tersisa di sini, kompak mengunci mulut. Saat itu, Kangmin merasa diacuhkan. Jadi dia menarik atensi lagi lewat ucapannya.
"Hei, Chenle. Udah minta maaf belum sama temenmu itu? Gimana pun juga, seharusnya yang kesakitan itu kamu, bukan dia kan?" Kekeh kecilnya turut membuntuti. Terlepas dari kata-katanya barusan, tidak ada poin menggelikan yang seharusnya mengundang tawa. Tapi Kangmin melakukannya. Dia tertawa di tengah sekumpulan singa yang kelaparan.
"Jangan buat aku berubah pikiran kalau kamu emang nggak mau ditendang dari sini." Mark memberi peringatan keras. Dia mengerling sinis.
Kangmin membalas tatapan Mark tanpa ketakutan. Tangannya masuk menelesup ke dalam kantong celananya yang mulai lusuh dinodai debu dan tanah. Kepalanya teleng ke samping dengan mata yang menyipit seakan-akan tengah menginterogasi lawan bicaranya. Kemudian, dalam 3 hitungan, ada tawa yang meledak-ledak. Kangmin terbahak.
"Ya ampun, ya ampun, ya ampun." Dia sampai membungkuk. Tangan kanannya hinggap di perut. "Kamu lucu banget, Mark Lee." Jari-jemarinya terangkat naik, mengusap setitik air mata yang jatuh dari pelupuk mata. Kangmin menghembuskan nafas beratnya. "Sedari tadi aku nggak sadar. Kenapa kamu bertingkah kayak gini? Seolah-olah kamu pemimpin di sini. Seolah-olah kamu yang paling berkuasa dan punya kewajiban buat ngatur."
Mark belum bergeming. Kangmin tersenyum lebar sembari melangkah mendekat. Tangannya hinggap di pundak kanan Mark kemudian dia melanjutkan.
"Aku tahu kamu mantan ketua kesiswaan. Terus? Terus kenapa kalau kamu mantan ketua kesiswaan? Kamu masih menganggap kalau kamu punya tanggung-jawab buat beresin semua masalah siswa di sekolah ini? Duh, Mark Lee. Aku rasa kamu ketagihan jadi pemimpin. Kenapa? Enak ya ngatur-ngatur pakai omonganmu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
End of Us [discontinued]
FanficTepatkah bila semua kekacauan ini Mark simpulkan sebagai kiamat? Orang-orang kehilangan jati dirinya. Makhluk-makhluk mengerikan yang kehilangan lengan kanannya, pembuluh darah pecah meletup-letup, geramannya yang seakan musik pengiring kematian, at...