Grace Aldert & Jean Aldert

602 41 0
                                    

"Jean! Tunggu disitu!"

Aku menolehkan kepala ke belakang dan melihat abangku tengah berlari dari dalam rumah kami yang orang bilang bak istana. Kupikir benar juga, di desa ini rumah kami berdiri, dan dengan pekerjaan bapak sebagai controleur di pengadilan Musapat membuat gubuk ini sedikit lebih mewah daripada rumah pribumi lain. Halaman rumah juga sangat luas, cukup untuk memarkir 5 dokar sekaligus. Tapi hari ini hanya ada satu dokar yang akan mengantarkan abangku pergi entah kemana.

"Ada apa kau berlari mengejarku, Grace?" tanyaku dengan suara yang tenang. Grace memukul bahuku pelan dan senyumnya terlihat oleh kedua mataku.

"Jean, maafkan Abang, Abang lupa. Kau sudah 18 tahun kemarin, semoga kebaikan selalu menyertaimu, adikku." Tubuh Grace yang sedikit lebih kecil dariku tiba-tiba mendekapku dengan erat. Aku juga balas mendekapnya, abangku ini memang sangat mendukungku sejak dulu. Bahkan hal sekecil ini dia ingat walau lupa satu hari.

"Terimakasih, Abang. Hendak pergi kemana kau?" Kutatap pakaiannya yang rapi dengan kemeja putih dan celana yang sama warnanya.

"Abang mau ke kota. Ayo, kamu ikut sama Abang." Tangan Grace langsung menarik pergelangan tanganku menuju ke dokar. Seorang pria pribumi paruh baya sudah siap membawa kami pergi. Aku hanya diam, karena jika Grace sudah seperti ini tandanya ada suatu hal yang penting.

"Kau mau jadi pendekar lagi?" tanyaku saat dokar yang membawa kami berjalan keluar desa dan melewati jalan di tengah persawahan.

"Iya, Jean. Kau juga ikut nanti, biar kau belajar. Kalau kalau Abangmu ini terbunuh pemilik rumah pelesiran itu, kau bisa menggantikan Abang." Tawaan singkat keluar dari mulut Grace, padahal aku tidak memikirkan bahwa perkataannya tadi lucu.

"Kalau Ayah tau kau masuk ke tempat itu lagi, Grace, dia yang akan membunuhmu."

Matahari mulai menyingsing keatas kepala, dokar ini tidak kunjung berhenti padahal sudah hampir 2 jam ia berjalan. Aku dan Grace membicarakan banyak hal selama kita belum sampai, sekiranya hal itu menarik, aku akan membalas dengan serius. Tapi jika tidak penting, aku hanya membalas dengan seadanya.

Namun jika boleh aku jujur, Grace sangat menawan, bahkan dari segi rupa dan postur tubuhnya, Grace bak dewa. Tapi yang aku heran, abangku ini tidak ingin punya kekasih. Ia hanya terus mengunjungi rumah bordil untuk kesenangan pribadinya.

Kesenangan pribadi yang aku maksud bukan untuk meniduri gundik atau pelacur, tapi ia akan melihat-lihat gadis atau wanita yang ada di dalam tempat pelesiran itu, jika ada satu yang ia suka atau ia kehendaki, Grace akan menebusnya untuk kemudian dibebaskannya.

Entah bagaimana Sang Penguasa langit dan bumi menciptakan hati Grace, tapi yang ku tahu ia seperti ini karena mama kami juga seperti itu. Dia dulu seorang gundik Controleur yang kemudian menikahinya karena Grace tercipta. Satu tahun kemudian muncullah aku, Jean Aldert, adik satu-satunya Grace Aldert.

"Apa kau masih berhubungan dengan gundik-gundik yang kau bebaskan itu, Grace?"

Grace menolehkan pandang padaku setelah menatap sawah yang kami lewati.

"Tentu tidak, tapi semoga mereka bahagia di luar sana, Jean." Ia meringis sampai gigi gingsulnya terlihat.

"Kenapa tidak kau kencani saja salah satu dari mereka?"

"Mereka tercipta bukan untuk ditiduri, Jean. Mereka lahir untuk bebas. Itulah hakikat awal manusia. Kasihan mereka lahir di bumi yang indah namun nista ini."

Napasku terhembus mendengar jawaban Grace yang seperti sangat paling benar tentang dunia.

"Maksudku, kau cintai mereka. Cinta yang betul-betul cinta, bukan hanya untuk ditiduri."

1912Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang