Aku berjalan menelusuri bibir pantai. Di sini begitu sepi, hanya ada beberapa orang yang hadir, termasuk diriku. Inilah yang aku cari. Ketenangan.
Aku duduk sambil menatap laut yang indah dengan ombak yang beraturan. Pikiranku kembali terbang mengingat kejadian beberapa minggu lalu.
Flashback on…
Kreek...
"Papa pulang..." ucap Papa dan sambil berjalan menuju kamar.
"Pa!" panggilku.
"DIAM! Papa capek, kalau kamu mau minta sesuatu pakai chatting saja." ucap Papa—sembari langkahnya mulai menjauh.
"Kalo aku minta Papa dan Mama buat family time sama aku boleh? Kita belum pernah keluar kota hanya untuk liburan." ucapku mengikuti Papa.
"Papa sibuk." balas Papa singkat.
"Kapan Papa nggak sibuk? Papa setiap hari sibuk, bahkan saat Sabtu dan Minggu juga." Mataku mulai berkaca-kaca.
"KAMU PIKIR PAPA INI SIBUK BERMAIN-MAIN?” bentak Papa, membuatku sangat terkejut.
"BAGAIMANA BISA KAMU BERPIKIRAN SEPERTI ITU? KAMU ITU PEREMPUAN, ANAK PERTAMA, CUCU PERTAMA, KAMU ITU HARUS BISA BERPIKIR DEWASA. KAMU SUDAH SEBELAS TAHUN! SEHARUSNYA KAMU SUDAH PAHAM DAN MENGERTI!” Pria paruh baya itu tak mampu lagi menahan amarahnya, intonasinya naik beberapa oktaf.
"Ya, sekarang aku sudah berusia sebelas tahun, tapi bagaimana dengan masa kecilku? Kalian pergi lalu pulang setelah enam bulan tanpa kabar, kalian tidur di apartemen dan pulang satu minggu sekali. Apa kalian tahu? Aku iri melihat anak-anak lain yang disayang orangtua mereka dan selalu ada di sisinya, tapi bagaimana denganku? Saat usiaku dua tahun aku tidak pernah merasakan kasih sayang kalian, dan kalian selalu sibuk bekerja. Apa aku ini penting bagi kalian? Atau pekerjaan kalian lebih penting?" Aku memaparkan dengan tangan yang mengusap sudut ujung mata.
Plak!
"Akhh.."Aku menoleh menatap Papa sambil memegang pipi kanan yang sedikit nyeri. Terperangah.
"Siapa yang mengajarkan kamu berbicara seperti itu? Apa kamu sudah merasa pintar dengan berbicara seperti itu? Apa kamu merasa sudah dewasa dengan berbicara seperti itu?" Papa menyambar kalimatku dengan amarah menggunung, membuat Mama yang ada di dalam kamar keluar karena mendengar keributan.
"Sudahlah, Papa lelah. Kita bicarakan besok lagi.” Final Papa.
"Aku memiliki keluarga yang lengkap, tetapi tidak pernah merasakan kehangatan di dalamnya." bisikku pelan di telinga Mama.
"Maafkan Papamu, Nak. Mungkin dia benar-benar capek." Mama turut membela saat tak tega memandang anaknya yang terisak. "Sudah, jangan dipikirkan lagi, Nak. Lebih baik kamu tidur, besok kamu harus pergi ke sekolah." Mamanya tersenyum lembut, membantuku yang tergopoh-gopoh berdiri—yang hanya dibalas anggukan kecil olehku.
Aku berjalan ke kamar, lalu menutup pintu kamar dengan sangat keras dan menguncinya. Aku merebahkan diri di kasur, tatapanku kosong menatap langit-langit kamar yang gelap hingga akhirnya aku masuk ke alam mimpi.
Flashback off…
Setelah kejadian saat itu, aku mencatat bahwa aku tidak pernah lagi bertemu dengan Papa dan Mama. Kedua orangtuaku pergi ke luar kota untuk menyelesaikan masalah anak perusahaan milik kakek. Disaat kedua orangtuaku tidak ada di rumah, Aku lebih sering menghabiskan waktu berada di sekolah, bagiku tidak ada gunanya jika hanya diam di rumah menunggu kedatangan orangtuaku. Aku cukup sibuk di sekolah—karena aku termasuk anggota OSIS yang aktif dan selalu hadir dalam event yang dibuat di sekolah maupun di luar sekolah.
Pagi hari, seperti biasa aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aku sudah menggunakan baju seragam SMP putih-biru dan bersiap menyantap sarapan pagi. Setelah selesai memakan sarapan aku bergegas ke sekolah diantar oleh supir pribadi Papa. Selama di perjalanan, aku selalu mempelajari beberapa materi yang akan dipelajari hari ini.
“Selamat pagi, Anak-anak. Hari ini kita akan mempelajari BAB III tentang Cerpen. Silahkan dibaca terlebih dahulu materinya setelah itu baru Bapak jelaskan.” ucap Pak Kevin.
“Baik, Pak!” ucap murid serempak dan mulai mempelajari materi yang diberikan. Namun beberapa murid nampak kelihatan sebal dengan situasi ini, berkali-kali ia menutup mulutnya yang tengah menguap. Salah satu dari mereka termasuk diriku, yang sibuk melamun di pojok kelas.
“Arisha, kamu baik-baik saja?” Pak Kevin bertanya, memasang wajah khawatir. Pertanyan dari Guru Bahasa Indonesia tersebut hanya dibalas anggukan pelan olehku. Tidak hanya sampai di situ, aku pun kembali masuk ke dalam pikiranku sendiri yang entah apa penyebab yang memungkinkan membuatku terdiam mematung olehnya. Melihat hal itu membuat Pak kevin kembali bingung dengan kelakuanku.
“ARISHA QIANA BRAVASKA! Kalau kamu masih melamun lagi, Bapak suruh kamu keluar kelas ya!” ucap Pak Kevin yang menaikan intonasinya. Seisi kelas terkejut, begitu juga dengan diriku yang tidak kalah terkejut dan langsung menyambar buku paket dan membacanya.
“Baiklah, Bapak akan menjelaskan materi hari ini.” ucap Pak Kevin beranjak ke depan papan tulis. Menjentikkan spidol.
Pembelajaran pun berlangsung 1 jam.
***
Bel istirahat telah berbunyi. Tidak terasa sudah dua jam pelajaran, kini saatnya para siswa untuk mengisi ulang tenaganya.
“Arish!” panggil seseorang, namanya Arkan. “Ayok ke kantin bareng!” ajaknya yang hanya dibalas anggukan olehku.
Arkan Abinaya, biasa dipanggil Arkan adalah teman baikku. Bisa dibilang kami bersahabat sejak TK. Bukan apa-apa, hanya karena diriku yang berjiwa introvert menjadikanku tidak mudah bersosialiasi akhirnya aku memutuskan hanya berteman dengannya. Hanya Arkan yang kuat dengan sikapku yang terkadang tidak jelas dan ganjil.
Selama mengantri di kantin, hanya keributan dan atraksi dorong-dorongan yang terdengar. Hanya kami berdua yang tetap tenang dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Eum … Arkan, sebentar lagi kan, kita sudah mau lulus. Kamu mau melajutkan sekolah ke mana?” tanyaku yang mulai membuka suara.
“SMA 1, kenapa?” jawab Arkan disusul dengan pertanyaannya.
“Tidak apa-apa, hanya bertanya. Sepertinya setelah lulus kita akan jarang bertemu.” ucapku lirih. Kalimat tersebut membuat Arkan yang sedang minum hampir tersedak.
“Emang kamu melanjutkan sekolah ke mana?” Tanya Arkan sambil mengelap mulutnya.
“Aku akan masuk asrama di luar kota.” Jawaban tersebut mampu membuat teman baikku itu nyaris berteriak.
“Apa kau gila? Bagaimana bisa kau memilih sekolah yang sangat jauh? Dengan siapa kau di sana? Bukankah kau tidak mudah bersosialisasi?” balas Arkan tanpa memberi jeda napas sedikit pun.
“Tidak ada kata jauh untuk menuntut ilmu dan aku juga akan masuk asrama, jadi kau tenang saja.” jawabku enteng dan diselingi senyuman.
“Huh … aku pikir kau akan masuk sekolah biasa, tapi apa itu serius, Arish? M-maksudku, apa kau benar benar ingin sekolah di sana?” Pertanyaan Arkan kembali ku balas dengan anggukan karena mulutku dipenuhi makanan.
“Apa orangtuamu tau tentang hal ini?”
Aku mengangguk lagi. Orangtuaku mengizinkannya, lagi pula aku memang ingin bersekolah jauh-jauh. Segera pergi dari rumah yang tak pernah kunjung nyaman kusinggahinya.
“What? Bagaimana bisa orangtuamu memberikanmu izin untuk bersekolah di luar kota? Apalagi kau anak perempuan!”
“Tentu saja bisa, mereka memberikanku 3 pilihan sekolah dan aku harus memilih salah satu dari itu.” jawabku membuat dahi Arkan berkerut.
“Apa saja memangnya?”
“Sejak kapan temanku yang satu ini menjadi sangat kepo dengan orang lain, hm?” Aku tersenyum centil, sengaja menggodanya.
“Bukankah wajar jika aku kepo dan apakah salah jika aku bertanya tentang teman baikku ini?” jawaban Arkan membuat tawaku pecah.
“Fine, fine, akanku jawab. Sekolah pertama yang orangtuaku tawarkan adalah SMA 1, yang kedua SMA Andromeda, dan yang ketiga SMAIT Islamiyah.”
“Lalu, kamu memilih apa?”
“SMA Andromeda.”
“Heum … apa yang membuat kamu mau masuk di situ?”
“Pembelajaran di sana, aku menyukainya. Dan sekolah itu juga termasuk sekolah terbaik di Yogyakarta.”
“Woahh… aku juga jadi pengen masuk di sana.” Arkan terkagum-kagum.
“Nggak bisa.” Aku mencegahnya.
“Kenapa?” tanya Arkan heran.
“Aku tidak mau satu sekolah dengan bocil sepertimu.” Selepas menjawabnya, aku tertawa kecil.
“Bukankah kita seumuran, bagaimana bisa aku bocil sedangkan kamu tidak?” ucap Arkan tidak terima membuat gelak tawaku semakin pecah.
“Tetapi bukankah kamu yang seperti anak kecil, hm? Kamu cengeng.” Arkan sengaja mengejekku seraya menjulurkan lidahnya.
“Wajar saja jika perempuan cengeng, karena hati mereka lemah lembut.” Aku membalas, “tetapi tetap saja, aku tidak mau satu sekolah denganmu. Nanti kamu akan merengek seperti anak kecil yang meminta untuk pulang.” Tawaku makin menjadi-jadi, sengaja kutinggalkan lelaki itu di meja kantin sendirian dengan mangkok dan sendok yang masih dikerubuti lalat.
“Arish! Tunggu aku.” seru Arkan sambil berjalan mengejarku yang sudah berjalan menjauhi kantin. Saat sudah beriringan denganku, Arkan kembali berbicara.
“Aku senang saat melihatmu kembali tertawa, aku akan selalu mendukung apapun keputusanmu asalkan jangan bunuh diri, Arish. Aku tidak masalah jika harus berteman secara virtual denganmu nantinya, tetapi aku tidak mau berbeda alam denganmu.” ujar Arkan diselingi candaan.
Aku tersenyum pahit, berbeda alam? Ah, aku saja bahkan tidak berkepikiran sampai di situ. Dan jangan bertanya mengapa Arkan berbicara seperti itu, karena ia sering mengetahuiku yang tertangkap basah hendak beberapa kali mengakhiri hidup.Bersambung ~~
kira kira selanjutnya gimana ya?
Kira kira cerita inii wajib dilanjutkan ga nieh? Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar dan jangan lupa kli vote
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Luka Egois
Teen FictionMenceritakan tentang kehidupan seorang anak perempuan yang penuh tantangan "Aku memiliki keluarga yang lengkap, tetapi tidak pernah merasakan kehangatan di dalamnya." bisikku pelan di telinga Mama.