Awal Juli, 2022.
Sekarang aku resmi telah berhasil menempati kedudukan siswa di SMA Andromeda. Setelah melewati ujian dan tes-tes menegangkan, akhirnya aku dinyatakan lulus masuk sekolah ini. Semoga saja semua berjalan dengan lancar sesuai rencanaku. Aku berusaha beradaptasi secepat mungkin agar diriku merasa nyaman dengan lingkungan di sini. Besok adalah hari pertama aku masuk sekolah tatap muka dan aku berharap tetap senantiasa rileks.
Pagi harinya, aku langsung bergegas memakai pakaian bebas untuk hari pertama sekolah. Hari ini aku memilih outfit yang casual tapi memiliki kesan yang cool yaitu kemeja hitam dan rok simpel dengan hijab segi empat hitam polos.
Setelah selesai bersiap-siap, aku bergegas pergi ke sekolah. Tidak banyak yang kubawa, hanya buku tulis kosong dan alat tulis. Seminggu ini juga hanya diisi oleh kegiatan MPLS, jadi kamu dibebaskan untuk tidak memakai seragam sekolah terlebih dahulu.
Sesampainya aku di sana, aku terpana melihat keindahan bangunan sekolahku yang bertingkat-tingkat. Nafsuku tergiur, pasti di dalamnya lebih cantik dan keren lagi. Segera saja aku menanyakan di mana kelasku berada.
“Assalamualaikum, Pak. Izin bertanya, kelas X-MIPA II di mana ya?” tanyaku dengan ragu.
“Di lantai dua, Nak. Silahkan kamu telusuri dulu, sambil lihat papan di atas samping kelas. Nanti ada tulisannya.” Petugas di resepsionis tersebut menjawab dengan ramah. “Ah iya, yang di belakangmu apakah temanm, Nak? Sejak tadi dia terus tersenyum kepadamu.”
Aku segera menoleh, dan mendapati Arkan—sahabatku tengah tersenyum salah tingkah denganku. Aku membalas senyumannya.
Ah iya, aku dan Arkan memutuskan untuk selalu satu sekolah. Sepertinya cukup untuk plot twist hari ini, kalian menyukainya kan?
“Terima kasih, Pak.” ucapku lalu segera menaiki anak tangga dan pergi menuju ruang kelas bersama Arkan. Saat memasuki kelas semuanya baik-baik saja. Aku mencari meja yang paling ujung dekat dengan jendela agar bisa melihat pemandangan ke luar. Saat sampai di sekolah perasaanku sedikit gelisah, takut jika tidak terbiasa dengan teman-teman yang ada di sini dan menjadi bahan bully-an mereka. Aku juga khawatir dengan nilainya ke depannya bagaimana. Tapi aku selalu yakin karena ada Arkan yang selalu melindungiku.
Sebulan yang lalu, kedua orangtua memberikan peraturan baru untukku. Nilai harus di atas 90. Peraturan tersebut membuatku pusing tujuh hari tujuh malam, membuat pola tidurku sulit dan jam tidur yang berkurang tiga jam dari normalnya. Aku berusaha belajar setiap malamnya, namun lama-kelamaan fisik sekaligus psikisku lelah.
Rutinitas baru, setiap pulang sekolah Arkan akan selalu mengantarkanku. Ia tidak ingin aku pulang sendirian. Tetapi hari itu aku merasa sangat down dan kehilangan kendali, di waktu yang bertepatan dengan situasi Arkan yang sibuk.
BRAK!
Satu tinjuan ke dinding kembali lolos.
"Aku ingin mati!" Aku menceracau, sakit sekali tanganku. Tetapi lebih sakit hatiku. "Aku lelah jika harus terus-terusan ditekan!”
"Tuhan, tolong jemput aku.”
Dan aku seketika pingsan di tak sadarkan diri di kamar tersebut, apakah Tuhan benar-benar mengabulkan permohonanku?
***
Aku terbangun dan tersadar ketika berada di ruangan bernuansa putih itu. Kamarnya nampak terang ditimpa cahaya lampu LED. Bau-bau obatan tercium menguar dan menusuk hidung. Ruangan itu terasa senyap. Hanya terdengar suara detak jantung dari elektrokardiogram dan dengusan napas yang terus naik-turun di selang infus yang tertata di hidung dan lenganku.
Di hadapanku, terlihat Mama mencengkeram jari jemariku erat—sembari membisikan doa di langit-langit ruangan. Di antara hidup dan mati, aku mendengar lirihan Mama yang terus menyemangatiku untuk bertahan.
Di sisi lain, aku melihat Arkan yang tertidur di sofa. Nampaknya lelaki itu tertidur pulas, buktinya wajahnya tetap teduh dan indah sekali jika menatapnya. Aku tidak tahu siapa yang membawaku ke sini. Perlahan-lahan aku mulai bergerak, dan Mama mulai membuka matanya dan berucap syukur. Mama mulai membantuku untuk minum, dan menanyakan segala hal.
“Tanganmu masih sakit, Sayang?” Mama bertanya dengan tatapan khawatir. “Apakah ada terasa nyeri di kepala?”
“Aku tidak apa-apa, Ma.” balasku singkat, tapi wajahku pucat sekali. Aku mendengar suaraku yang masih sedikit serak, dan aku melihat ke pojok kamar. Arkan telah bangun dari tidurnya dan dan bergegas mendekat ke arah brangkar.
“Mama akan menelepon Papa, mengabarkan bahwa kamu sudah siuman.” Mama pergi keluar meninggalkan ruangan.
“Apakah kakimu sakit, Arish? Tangan kamu masih nyeri? Apakah ada keluhan lain, seperti gejala pusing, mual, muntah-muntah, hm?” Pertanyaan bertubi-tubi dari bibir Arkan tersebut membuatku mengernyitkan dahi, memangnya dia dokter yang menginterogasi diriku sebagai pasien?
“Ngapain nanya-nanya, kayak calon dokter aja.”
“Yaaa, aku kan khawatir, Arish.” Arkan menjawab jujur.
“Siapa yang membawaku ke sini?” Melihat aku mengajukan pertanyaan balik membuat Arkan mendengus sebal.
“Ada baiknya jika kamu menjawab pertanyaanku terlebih dahulu.”
Aku manyun, dasar tidak peka. “Baiklah, Dokter Arkan. Tidak ada gejala lain, saya hanya sedikit pusing. Boleh minta resep cintanya supaya nggak pusing lagi, Dok?”
“Idih, amit-amit. Nih, aku kasih resepnya.”
“Mana?” jawabku terlalu percaya diri.
“Mendekat dulu.”
Akhirnya aku mendekat, dan sekejap….
“Hueeek!” Aku memuntahkan semua yang ada di mulutku, kemudian mengipas-ngipaskan hidungku yang menyengatkan sesuatu. “Iihhh, Arkan! Kok begitu sih? Mulutmu bau banget tau!”
Arkan tertawa tanpa dosa, menangkis tubuhnta ketika tanganku meluncur hendak memukulnya. “Kata siapa? Ini harum banget tau, seharum bunga kasturi.”
“Ya, ya, ya! Terserah kamu!” Aku ngambek, akhirnya menyembunyikan diriku dibalik selimut dan merajuk.
“Maafkan aku soal tadi, Arish. Aku hanya bercanda, dan seriusan soal kali ini. Aku melihatmu tanganmu dipenuhi darah dengan kondisi pingsan, saat itu kebetulan aku singgah ke rumahmu sebentar karena ada acara keluarga di rumah kerabatku yang juga dekat dengan rumahmu. Pas aku masuk kamar, langsung deh aku dan orangtuamu antar kamu ke rumah sakit.”
Aku menyingkap selimut, “Bukankah acara keluarga lebih penting daripada ke rumahku? Untuk apa khawatir jika aku terluka lagi?”
“Ya, aku hanya merasa kasihan dengan dirimu. Lagi pula, aku bosan berlama-lama di sana. Dan sebenarnya … sudah sejak lama aku sangat menyukaimu, Arish. Apakah salah jika aku khawatir pada perempuan yang aku sukai?”
Kalimat tersebut membuat Mama yang baru memasuki ruangan tersenyum lembut ke arahku, dan sebaliknya, aku malah syok mendengar hal tersebut. Bagaimana bisa dia menyukai diriku, seseorang yang selalu ingin mengakhiri hidup karena lelah?
“Baiklah, sudah cukup pembicaraannya, yaa. Sekarang kita panggil Dokter terlebih dahulu, Arisha mau diperiksa sekali lagi.” Mama menyudahi obrolan kami.
Beberapa menit kemudian, muncul Dokter perempuan yang mulai memasuki ruangan rawat inapku.
“Selamat sore, Dik. Kamu ini, kecil-kecil sudah stres berat ya? Sampe sekujur tubuh kamu ditemukan banyak lebam, bekas goresan, dan banyak lagi. Jika kelamaan seperti itu, kamu diperbolehkan konsultasi dengan teman saya yang menjadi dokter psikolog supaya memberikan banyak saran-saran untukmu ke depannya.” Dokter itu tidak banyak bicara, hanya menyampaikan kalimat tersebut. Kemudian ia membelai kepalaku sebentar, dan berlalu meninggalkan ruangan inap.
Disaat Mama ikut keluar, hanya tersisa aku dan Arkan. Aku mengembuskan napas, memutuskan untuk menonton televisi dan membiarkan Arkan melamun menatap lantai ruangan.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba Mama masuk bersama … Papa! Kemudian, tidak ada angin tidak ada hujan Papa tiba tiba langsung memelukku dengan erat dan ditumpahi ribuan kata minta maaf.
“Maafkan Papa yang tidak ada waktu untuk kamu, Sayang. Maafkan Papa yang selalu keras terhadap kamu, maafkan Papa yang egois. Papa seburuk itu, sampai tidak pernah peduli dengan kondisimu. Papa tidak pernah bisa menjadi seorang ayah yang baik untukmu, maka dari itu tolong maafka Papa jika belum bisa menjadi ayah yang baik. Maaf karena tidak menghargai kamu, Papa harap kamu bisa bertahan di dunia ini, Arisha. Jangan berpikir untuk meninggalkan Papa, Papa sungguh sayang kamu.”
Kalimat panjang lebar tersebut dihadiahi oleh melongonya mulutku. Namun dengan ringan hati, kepalaku mengangguk. Aku balas mendekap Papa penuh kasih sayang, berharap Papa tidak akan meninggalkanku lagi. Aku tahu Papa sayang kepadaku, tapi cara menunjukkan kasih sayangnya berbeda dengan orangtua lain. Untuk itu aku selalu menerima Papa apa adanya, bukan ada apanya.Bersambung ~~
kira kira selanjutnya gimana ya?
Kira kira cerita inii wajib dilanjutkan ga nieh? Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar dan jangan lupa kli vote
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Luka Egois
Teen FictionMenceritakan tentang kehidupan seorang anak perempuan yang penuh tantangan "Aku memiliki keluarga yang lengkap, tetapi tidak pernah merasakan kehangatan di dalamnya." bisikku pelan di telinga Mama.