Setahu Haechan, Lee Jeno adalah anak yang terbiasa bergelut dengan angka. Dia terbiasa tersenyum menebar kebaikan. Ada kisah di balik terbiasanya Jeno dalam membanting kemudi—Haechan yakin itu. Seseorang sebaik Jeno, yang masih bisa tersenyum meskipun disakiti atau dicurangi cuma-cuma, tidak akan berani membabi-buta melindas mayat-mayat hidup yang nasibnya luntang-lantung mengenaskan. Jeno punya percikan keberanian itu. Sebuah perasaan bengis yang menuntunnya bertindak kejam.
Dari samping, Haechan mengamati. Tiba waktunya untuk mendongeng, Lee Jeno. Ada seseorang yang amat menantikan kisahmu.
"Darimana kamu dapet mobil ini?"
Jeno tidak serta-merta menjawabi. Matanya mengerling sekilas. Chenle dan Jisung saling menumpukkan kepala di kursi belakang. Mereka menggumam tidak jelas. Mungkin tengah menyesali hidup konyolnya saat ini atau malah bernostalgia.
"Panjang."
Haechan menarik nafas, dia setengah kecewa. "Berapa episode? Ribuan?" Dia melengos. Biasanya Jeno yang humornya tidak punya harga diri ini, pasti tergelak—minimal terkikik geli. Tapi keadaan mengubahnya menjadi sosok lain yang dingin. "Biar aku tebak. Jaemin bilang, olimpiademu kacau. Setidaknya ada sekitar 5 zombie yang mungkin masuk ke olimpiademu. Habis itu, orang-orang kalang kabut. Mereka keluar dari gedung. Dan dilihat dari mobil ini, pasti ada polisi yang coba evakuasi orang-orang itu. Lee Jeno, kamu salah satunya. Dari situ..." Haechan menggantungkan analisanya.
"Dari situ aku curi mobilnya. Aku dorong polisinya keluar. Aku kasih dia buat makan siang zombie-zombie jalanan."
Chenle yang semula tidak tertarik, menegakkan tubuh. Matanya membulat kecil.
"Haechan, kalau kamu bawa satu penumpang dan dia minta pertolongan sementara kamu punya kewajiban—oke, sebut aja tugas atau pekerjaanmu—apa yang bakal kamu lakuin? Bantu penumpangmu dulu atau profesional sama pekerjaanmu?" Jeno menarik nafas. Haechan baru sempat menggumam tapi lucunya Jeno tidak butuh jawaban kawannya. "Aku marah. Ibuku butuh pertolongan. Aku tahu dia ada di dalam bangunan, dia aman tapi nggak sepenuhnya. Ada di dalam bangunan nggak menjamin dia bakal bisa bertahan sampai aku datang. Hukum rimba. Aku jadi kayak binatang. Tamat. Itu ceritanya."
Sekarang Haechan mengerti. Jeno mulai terbiasa dengan kejamnya dunia. Jeno yang biasanya gampang tersenyum manakala dunia mencuranginya, berubah menentang keras. Terpojok. Terdesak. Dunia tidak memberikan pilihan. Maka, lahirlah Lee Jeno yang sekarang.
"Ibumu..."
"Aku terlambat." Jeno memotong pertanyaan Haechan yang rasa-rasanya menyakitkan bahkan sebelum rampung terucap.
Ada sendu yang bertamu. Haechan tidak tahu kisah hiro Jeno rupanya terselip banyak pengorbanan dan sesal. Dia mengetuk-ngetuk kaca mobil. Menciptakan irama acak yang fungsinya merobek kesunyian. Di depan sana, ambulan Mark masih memimpin. Tiba-tiba Haechan jadi penasaran. Percakapan macam apa yang tengah diungkit?
Lee Haechan yang merasa harus bertanggung-jawab atas pengungkitan kepiluan Jeno, menjajah barang-barang di dalam mobil. Sebetulnya tidak ada yang menarik. Kosong. Mobil polisi ini kelihatannya tidak menyimpan sesuatu yang patut diperebutkan.
Haechan dan tangannya yang hobi berkeliaran, membuka dashboard. Ada bunyi gemelontang kecil. Lewat itu, Haechan lantas mengerti ada beberapa benda yang terkurung di dalamnya. Selepas ditengok, rupanya benar. Sebuah revolver menggeletak tidak terurus. Haechan meraihnya.
"Kamu tahu ada pistol di sana?"
Jeno mengangguk. Membiarkan Haechan menelisik benda baru yang tergenggam di tangannya. Jisung di belakang, melongok penasaran sembari meringis ngeri. "Itu beneran pistol? Maksud aku, berfungsi? Bukan mainan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/309361454-288-k472236.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
End of Us [discontinued]
Fiksi PenggemarTepatkah bila semua kekacauan ini Mark simpulkan sebagai kiamat? Orang-orang kehilangan jati dirinya. Makhluk-makhluk mengerikan yang kehilangan lengan kanannya, pembuluh darah pecah meletup-letup, geramannya yang seakan musik pengiring kematian, at...