3. Lembaran Baru

9 0 0
                                    

*Flashback*

Beberapa hari sebelumnya.

"Kamu yakin? Mau ngebesarin Ryan disana?"
Langkah Elang terhenti saat mendengar suara ibunya yang berbicara lewat handphone.

"Ya... Sebenarnya kondisi kami memang sedang tidak baik sekarang, tapi... Sepertinya aku harus bicarakan lagi dengan Mas, untuk ambil keputusan."

Elang kebingungan, adiknya yang paling dia sayangi akan apa?

"Maksud ibu apa? Yayan mau diapain?!"
Elang langsung menghampiri ibunya. Peluh keringatnya masih penuh disejur tubuh, karena Elang baru saja pulang dari kerja serabutan.

Ibu Elang nampak kaget. Dan buru buru mengakhiri telponnya.
"Vanya, nanti aku telpon lagi. Kabari saja kalau kamu mau kesini. Assalamualaikum...."

Elang menyerngit merasa tidak asing dengan nama tersebut.

"Duh Elang pasti capek, ayo duduk dulu. Udah minum?"
Lanjutnya berbicara pada elang.

"Siapa tadi Bu? Tante Vanya? Trus apa yang ibu maksud mau membesarkan Yayan?"
Tuntun elang seraya mengikuti ibunya untuk duduk di ruang tamu mereka.

Sang ibu kemudian menyuguhkan air dalam cerek kedalam gelas dan memberikannya pada anak sulungnya yg gagah itu.

Tatapan sedih, iya sadar jika Elang sangat menyayangi adik-adiknya. Terutama Ryan.

"Jadi nak, tadi tente Vanya beberapa Minggu yang lalu menghubungi ibu dan bapak, dengan alasan ingin meminta ijin mengadopsi Ryan."
Ucap sang ibu akhirnya.

Elang kaget, mulutnya langsung terbuka.
"Trus, ibu dan bapak mau kasi Ryan ke Tante Vanya?"
Tanyanya.

Sang ibu menarik napas panjang. Sekarang ia tidak berani menatap mata tajam si Sulung.

"Awalnya ibu tidak setuju, tapi bapakmu mengatakan setuju. Jadi ibu minta untuk diberi waktu untuk memikirkannya, dan setelah melihat ekonomi kita saat ini...."

Elang tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Tidak percaya kedua orang tuanya tega melakukan itu pada Ryan.

"NGGAK ! ELANG GA SETUJU ! RYAN GA BOLEH DIKASI KE ORANG LAIN!"
Tiba tiba suara Elang meninggi. Baru kali ini lagi dia begitu marah, ibunya sampai terkejut karena perkataanya dipotong.

"Ada apa ini ribut-ribut?"
Suara sang ayah yang baru saja tiba dirumah terdengar.

"Bapak, Elang ga setuju Yayan dikasi ke orang lain. Kalau masalahnya ekonomi kita, Elang bisa bantu kerja lebih keras lagi." Tuntut langsung Elang pada bapaknya yang baru saja tiba.

Sayang ayah hanya menarik nafas dan melihat kearah istrinya yang sudah memberikan tatapan pasrah.

"Elang, dengarin Bapak. Kita sekarang benar-benar diposisi yang sulit. Ingat itu, Bapak kerja, Kamu kerja, ibu mengurus Lya. Pekerjaan ayah dan kamu hampir tidak cukup untuk hidup kita tiap harinya, apalagi untuk sekolah Ryan. Coba pikir, kamu mau adik kamu putus sekolah?"
Jawab Sang Ayah ikut duduk.

"Kan Ryan pintar, dia sering dapat beasiswa. Elang yakin-"

"Mau sampai kapan? Lang? Kalau hanya mengandalkan beasiswa? Apakah kebutuhan sekolah Ryan akan terpenuhi? Dijaman yang semakin modern ini, fasilitas dari pemerintah seperti beasiswa aja tidak cukup. Adikmu berhak mendapatkan apa yang anak-anak seusianya dapatnya, agar dia kelak bisa sukses. Seperti kata kamu, Ryan anaknya pintar tapi kita juga harus mensupport itu, lagi pula Ryan sudah besar. Dia tau siapa keluarga aslinya, Tante Vanya juga adalah orang yang kita kenal dengan baik. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan nak." Sang Ayah memotong telak ucapan Elang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

That Day (Hari Itu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang