ExChange part 38.
TW// MATURE CONTENT 21+ MANIPULATIVE ACTION, SENSITIF CONVERSATION, FINGERING, DIRTY TALKS.
PLEASE BE WISE.
Kane diam duduk diatas sofa dalam kamarnya. Benar-benar diam, hening. Maniknya sejurus menatap Hazel tajam. Sedangkan Hazel, duduk dibibir ranjang Kane sambil menunduk, menunggu Kane memulai pembicaraan. Karena Hazel terlalu takut untuk bersuara lebih dulu.
“Pindah sini.” Pinta Kane sambil menepuk sisi sofa dengan salah satu tangannya. Hazel menurut, lalu bergerak untuk duduk disisi Kane.
“Kenal Lanaya dari mana?” tanya Kane akhirnya.
“dia model di salah satu project ku.” Jawab Hazel.
“Dia yang ajak kamu mabuk atau kamu yang ajak?” tanya Kane, setelah pertanyaan ini suasana berubah suram.
“Dia yang ajak, aku yang mau.” Jawab Hazel lagi, masih berusaha tenang.
“Kamu tahu kan saya gak suka kalau kamu mabuk? Kamu juga enggak kabarin saya sebelum pergi.” Suara Kane terdengar rendah, menekan Hazel untuk mengikuti permainannya.
“Jangan pakai pronouns saya-kamu dong, Kane seram tau!” Hazel masih mencoba untuk bercanda. Tapi Kane malah diam, sorotnya semakin tajam mendominasi Hazel.
“Mau kamu apa?” tanya Hazel akhirnya.
“Minta maaf.” Jawab Kane singkat.
Kini giliran Hazel yang diam. Egois, manipulatif, nyebelin.
“Kamu tau alasanku mabuk?” tanya Hazel.
“Karena saya terlambat balas chat kamu?” ucap Kane. Dia tahu dia salah, tapi malah meminta Hazel yang meminta maaf.
“Delapan tahun kita pacaran, kamu masih mempermasalahkan hal kecil seperti itu?” lanjut Kane, kali ini membuat Hazel geram.
Bukan hanya itu. Janji yang sudah jarang ditepati, beberapa kebohongan kecil, juga prioritas yang sudah berganti. Hazel marah karena Kane menganggap hubungan delapan tahun mereka sebagai permainan tarik ulur sekarang.
“Kamu yang bikin aku pengen mabuk, kamu juga salah!” Jawab Hazel, kini nada bicaranya meninggi.
“Hazel, jangan kekanakan. Kalau dibandingkan salah kita gak setara. Kamu enggak pengertian sama saya yang harus bekerja, hidup saya gak cuman tentang kamu sekarang.”
“Aku di nomer berapa kalo gitu? Aku udah enggak ada di proritas kamu sekarang?” tanya Hazel.
“Kamu ngerti enggak sih? Kita lagi ngobrol tentang salah kamu yang pergi tanpa kabar dan pergi mabuk tanpa saya? Bukan tentang prioritas.” Jawab Kane membuat Hazel sukses bungkam.
Manik Hazel menatap milik Kane bergantian. Lelaki ini bukan lelaki yang yang selalu bertutur lembut pada Hazel. Laki-laki ini bukan lagi Kane yang Hazel kenal.
“Hazel mau pulang.” Kata Hazel lalu beranjak dari duduk.
“Bagus, kabur, sesusah itu kamu bilang maaf?” ucap Kane membuat amarah dalam hati Hazel bergejolak.
“Ngaca! sesusah itu juga kamu ngaku salah?” Hazel balik bertanya. Kakinya sudah melangkah untuk keluar kamar.
Belum sempat Hazel memutar tuas pintu, geraknya sudah disergah Kane, pria itu memutar tubuh Hazel untuk berbalik menghadapnya, mengunci Hazel di tembok hingga sulit bergerak untuk meloloskan diri.
“Mau kamu apa?” tanya Hazel, air mata sudah bergumul di pelupuknya, tangis kecil sudah mencicit dari bibirnya.
“Saya mau kamu minta maaf.” Kane mendekatkan wajahnya pada Hazel, pria itu bicara dengan jarak sehelai kertas. Tapi Hazel tetap bersikeras tidak mau minta maaf, dimatanya Kanelah yang jadi penyebabnya mabuk semalam, apa salahnya mabuk untuk melepaskan penat akan hubungannya dengan Kane?
“Saya mau bibir ini bilang maaf sekarang.” Ucap Kane, salah satu tangannya terangkat, meraba lembut bibir Hazel dengan sentuhan jemari. Tubuh Hazel sudah bergetar sekarang, Kanenya menyeramkan dan mendominasinya begitu kuat.
“Bilang maaf, setelah itu saya biarkan kamu pergi.” Lanjut Kane kini menangkup pipi Hazel lembut. Nada bicaranya, kalimatnya, dan sorot mata Kane seolah bertolak belakang. Terdengar lembut ditelinga namun menyakitkan hati saat diterima.
“Kane jahat.” Ucap Hazel, suaranya gemetar.
“Jahat.” Katanya lagi, kedua tangan di sisi tubuh Hazel sudah meremat kuat.
“Playing victim.” Cicit Hazel dalam tunduk. “Jahat.”
Di detik berikutnya, tanpa izin Kane membawa wajah Hazel untuk mendekat kearahnya, membuat pertemuan dua ranum terjadi begitu saja. Kane meraup ranum Hazel rakus, tanpa kesan lembut malah terkesan buru-buru.
Kane benci Hazel mabuk, Kane benci Hazel bersikap semaunya, Kane benci Hazel tak menurut padannya, dan Kane juga benci Hazel menangis karenanya.
“Lepas.” Cicit Hazel ketika Kane bergerak untuk menjamah rahang hingga lehernya. Bukanya tak mau melepaskan diri, tapi kukung Kane lebih kuat, kedua tangan Hazel di genggam dalam satu tangan, sementara tangan lain menekan pundak Hazel agar diam, tak bisa berontak.
Kane tak bergeming, pria itu terus menjamah leher, telinga, hingga tulang selangka Hazel, membuat Hazel lemas dalam tangis dan ketidakberdayaan.
Tubuh mungil Hazel yang dibalut sweater kebesaran milik Kane juga ikut disentuh. Tangan Kane lagi-lagi tanpa permisi sudah menelusup kedalam, menyapu perut hingga buah dada Hazel, membuat Hazel mendesah karena salah satu titik sensitifnya disentuh dinginnya jemari Kane.
“Ssshh… jangan berisik, nanti yang lain denger.” Bisik Kane tepat ditelinga Hazel membuat Hazel merinding oleh sapuan napas hangat dari belah bibir Kane.
“Kane… please…” rintih Hazel.
“Please apa? Kamu tahu kenapa saya marah? Saya marah karena kamu pergi enggak ngabarin saya, saya tunggu kamu di depan kos kamu, kamu malah suruh saya pergi.” Kane bicara diatara kegiatannya mengecup pipi dan leher Hazel.
“Saya marah, karena kamu mabuk. Kamu kalau mabuk enggak bisa kontrol diri kamu sendiri. Kamu sadar saat kamu mabuk semalam di kos saya? Kamu buka baju didepan saya, kamu sentuh-sentuh saya. Saya enggak bisa bayangin kalau orang yang didepan kamu itu orang lain… bukan saya.”
“mmh…Kane…” demi Tuhan, Hazel sudah kehilangan tenaga untuk berdiri sekarang. Seperti disengat listrik, sentuhan tangan dingin Kane membuat saraf tubuh Hazel seperti mati total.
“Saya tahu saya salah, saya mau minta maaf sama kamu semalam tentang chat kamu yang terlambat saya balas, tapi kamu malah pergi untuk mabuk sama teman baru kamu itu…sejak kapan kamu jadi pacar yang nakal Hazel?” lanjut Kane, kini salah satu tangannya mengangkat salah satu kaki Hazel agar melingkar di pinggang Kane. Dalam berdirinya, Hazel bisa merasakan bahwa pusat Kane sudah menegang dan timbul dari balik celana pendek yang ia kenakan. Kane bahkan sengaja menggerakan panggulnya agar pusatnya bisa bersentuhan dengan pusat Hazel.
“Sekarang bilang sama saya, siapa yang salah?” tanya Kane lagi tepat didepan wajah Hazel. Rasanya Hazel ingin mengubur diri sekarang juga! Tak ingin berada disini, di depan Kane dengan dominasi sekuat ini.
“Saya tunggu kamu semalaman… kamu enggak tahu kan?” ucap Kane lagi, kali ini dibarengi satu telapak tangan yang menerobos masuk ke celana training milik Kane yang sedang Hazel pakai.
Dan Hazel meloloskan desahan ketika jari tengah Kane yang sedingin es menyentuh klistorisnya, bagian paling sensitif dari tubuh Hazel.
“Ah… kamu menolak untuk tahu kan semalam… kamu menolak untuk bicara sama saya lewat pesan, telepon saya juga tidak kamu angkat…” Satu jari. Satu jari menelusup lebih dalam, bergerak naik turun dari klistoris hingga labia Hazel. Dan satu jari itu sukses membuat kaki Hazel lemah hingga Kane harus menopang tubuh Hazel dengan tangan yang lain.
“Saya khawatir sama kamu Hazel…cuman itu. Tapi kamu lebih sibuk frustasi karena saya telat balas pesan kamu?” Dua. Dua jari kini sudah menusuk lebih dalam, membuat Hazel memekik diantara nikmat dan kesakitan.
Rematan di kedua pundak Kane menjadi tanda bahwa Hazel kini tengah kepayahan. Keningnya jatuh diatas dada Kane.
“Kane… please stop… sakit.” Cicit Hazel.
“Saya enggak akan berhenti sampai kamu bilang maaf.” Bisik Kane lagi diatas pucuk kepala Hazel. Sementara di bawah sana dua jemarinya semakin bergerak asal, naik turun, keluar masuk, memutar, memporak porandakan pusat Hazel hingga Hazel lemas di depan Kane.
“Stop, please…”
“Say sorry first.”
Dan ketika dua jari Kane semakin gencar bergerak dibawah sana, pelan-pelan Hazel menyerah. Bersamaan dengan lenkungan dada yang tinggi, rematan yang menguat di pundak Kane serta kejutan di perut dan pusat Hazel, Hazel merapalkan maaf saat putihnya sampai.
“maaf… maaf Kane… Hazel minta maaf akh-”
Dan Hazel ambruk di pundak Kane, lemas dengan suara napas yang terdengar berat.
“Maaf… maafin Hazel.”
“Good girl.” Ucap Kane sambil mengecup pundak Hazel lembut.