Chapter (3)

3 0 0
                                    

"Patah hati"


Semua manusia di muka bumi ini, setidaknya pernah merasakan bagaimana perasaan ketika hati mereka seolah-olah remuk bagai tak berbentuk dihantam ombak. Tak terkecuali, diriku sendiri. Dari banyaknya rasa sakit yang pernah ku lalui, perasaan sakit akibat patah hati ini sepertinya yang paling membekas. Bagaimana dengan misteriusnya ia muncul, mengakar, menyayat hati secara jelas namun wujudnya tak pernah nampak.

Aku kira, aku mempunyai harapan. Iya, harapan dalam angan belaka. Kini aku paham mengapa agama melarang keras bagi lawan jenis untuk berinteraksi terlalu banyak, karena dikhawatirkan akan tumbuh rasa kagum dan ingin memilikinya. Rupanya, aku tak satu-satunya, melainkan salah satunya. Aku hanya bisa menghela nafas panjang ketika mengetahui bahwa seorang teman yang kukagumi ternyata tak lain telah memiliki dambaan hatinya.

Sesak, nyeri, ataupun hal lainnya terpaksa ku telan sendiri. Resiko saat mengagumi seseorang bukan? Ku kira, aku telah menutup pintu hati ini rapat-rapat ketika terakhir seseorang berhasil menghancurkannya. Namun aku salah, pintu itu perlahan terbuka dan membiarkan insan ini masuk, hanya sekedar tuk melihat-lihat.

Memang, sesuatu yang kita sukai, terkadang merupakan sesuatu yang buruk ataupun bertolak belakang dengan apa yang kita butuhkan. Bisa saja kau menyukai sesuatu, tapi itu buruk bagimu. Begitulah hidup. Kita harus terbiasa dengan statement bahwa "tak semua yang kita sukai, harus kita miliki," mungkin, dengan ku hanya menatap insan nya dari jauh sudah lebih dari cukup. Mungkin hanya dengan melihat senyum indahnya dari jauh sudah lebih dari cukup bagiku. 

Awalnya, aku tak menyangka bahwa aku kan terjatuh kembali. Terjatuh dalam senyumnya. Semakin dewasa, harus semakin paham bagaimana cara untuk mengendalikan perasaan, bagaimana membatasi interaksi dengan lawan jenis sehingga kejadian ini tak kan terulang kembali dengan ending yang sama. Oh ayolah, siapa manusia yang dapat menahan diri untuk tidak mengagumi seseorang? 

Pada akhirnya pun, untaian kisah asmaraku tidak akan pernah sama dengan siapapun. Sampai bab ini berhasil tertulis, menunjukkan bahwa, aku tak seperti orang lain yang memiliki kisah cinta bak semulus lantai porselen. Mungkin kali ini aku akan bergumam bahwa kisah ku ini seperti kertas yang terbakar-bakar-awalnya hangat namun berakhir membunuh--namun siapa sangka bila kelak aku kan memiliki kisah ku sendiri yang lebih dari sebelumnya? -minimal dengan spek ahn yujin, tolong--

Tuhan mengirimkan nya kepadaku hanya untuk kujadikan seorang teman, tak lebih. Tuhan hanya ingin, agar aku tak selalu merasa kesepian disaat orang lain bergerumul bak koloni semut. Sedari awal pun aku tersadar, bahwa ia memang pantas hanya ku jadikan sebagai seorang teman. Bukan seorang dambaan hati. 

Tuhan selalu mempunyai suatu alasan mengapa kita dipertemukan oleh orang-orang di hidup kita. Tak ada yang namanya suatu kebetulan, di balik itu semua, pasti akan ada secerik pembelajaran hidup yang dapat kita petik dan kita resapi. Terkadang, aku menyesal karena pernah dipertemukan dengan orang-orang yang pada akhirnya hanya menancapkan luka pada ku, namun di sisi lain aku termenung. Kehadiran mereka memang menyisakan luka dan trauma yang mendalam, namun lihatlah aku sekarang. Aku masih disini, dengan berbagai pondasi dan punggung yang lebih kuat dari sebelumnya.

Dari kutipan buku favorit ku, terdapat suatu kata-kata bahwa, "Suatu saat nanti, kita akan berterimakasih kepada rasa luka yang dihadirkan dala hidup kita. Bukan karena kita sudah mampu untuk melewatinya, tapi karena luka tersebutlah yang membuat kita bisa tumbuh dan berproses untuk bisa menjadi lebih baik lagi,"















"Maka aku berterimakasih kepada patah hati ini. Karena sejatinya rasa sakit ini merupakan langkah baru untuk membenahi, dan menambah kualitas diriku sebagai seorang hamba Allah yang taat pada aturan dan segala larangan-Nya,"





Loving you is easy. But, loving myself is the hardest thing to do.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang