Rumah Sakit

2 0 0
                                    

Arga menghentikan mobilnya tepat di depan pintu IGD rumah sakit yang tidak jauh lokasinya dari rumah Kesya. Lengan kekar Arga sudah membopong tubuh adiknya yang semakin terkulai. Terasa dingin waktu indra perabanya menyentuh lembut kulit kuning langsat tersebut. Kesya langsung masuk ke dalam ruang gawat darurat untuk memanggil petugas jaga.

Dua orang paramedis membuntuti langkah Keysa, mendorong brankar,  menyongsong Arga yang membawa tubuh adiknya, wajah ayu Nara semakin memucat. Badannya juga semakin dingin. Brankar dengan alas berwarna biru tua itu gegas didorong menuju ruang tindakan. Arga dan Kesya menunggu di luar bilik dengan dominasi warna salem tersebut.

Dokter jaga cekatan melakukan tindakan terhadap Nara yang perlahan mulai tersadar. Tidak lama, masuk seorang paramedis dengan membawa boks, seperti tempat pendingin. Rupanya petugas laboratorium yang akan mengambil sampel dara Nara untuk tindakan pemeriksaan lebih lanjut. Arga mendekat waktu melihat petugas perempuan tersebut membuka tutup tube untuk menampung darah adiknya.

"Maaf permisi, adik saya sakit apa, kok sampai harus dicek darah segala?" Arga meminta penjelasan.

"Hanya untuk memastikan saja, apakah diagnosa saya benar atau tidak. Kalau dilihat dari gejala-gejala yang timbul, kemungkinan pasien kekurangan sel darah merah. Oleh karena itu, kita pastikan dengan pemeriksaan laborat. Bagaimana, Pak. Apa Bapak keberatan?" Dokter jaga yang menjawab pertanyaan Arga. Karena memang kewenangan beliau dan bukan petugas laboratorium.

"Oke, Dok. Lakukan yang terbaik untuk adik saya. Maaf mengganggu," balas Arga lalu kembali ketempatnya. Supaya para petugas medis bisa bekerja dengan leluasa menolong adiknya.

Cukup lama Arga dan Kesya saling diam duduk di bangku ruang tunggu depan IGD. Dari arah pintu keluar, terdegar suara derap langakah tergesa-gesa mendekat ke tempat kedua anak muda tersebut. Arga menoleh ke sumber suara, demi mengetahui apa yang terjadi. Tubuh tegap pemuda berwajah tampan dengan garis rahang keras itu langsung berdiri, begitu tahu kedua orang tuanya berlarian menuju arahnya.

"Ga, ada apa? Nara kenapa?" berondong Bu Anggun, walau jarak dengan putranya masih tersisa dua meter.

"Nara pingsan, Bun. Dokter sedang menanganinya. Kita tunggu saja hasilnya, Bunda sama Ayah tenang dulu. Duduk dulu, sini," terang Arga lalu membawa ibunya untuk duduk. Kesya langsung memberi salam pada kedua orang tua Nara.

"Key, tadi di sekolah Nara kenapa? makan apa? cerita sama Bunda, nggak usah takut," pinta Bu Anggun sambil menggenggam tangan Kesya.

"Nggak ada yang mengkhawatirkan, Bund. Tadi Nara makan bekal yang dibawa dari rumah juga, nggak ada jajan di kantin. Cuma tadi Nara memang latiha basket, Bund. Mungkin kelelahan," terang Kesya.

"Anak itu, kalau sudah basket memang susah untuk diingatkan. Kayak hidupnya nggak semangat kalau nggak main basket," keluh Bu Anggun.

"Bunda tenang dulu, sabar. Semoga Nara segera membaik dan tidak ada yang memgkhawatirkan," hibur Kesya.

"Aamiin, makasih ya, Key, sudah selalu ada saat Nara butuh teman," ucap Bu Anggun tulus dan memeluk Kesya erat.

"Sama-sama, Bund. Nara juga keluarga Bunda justru yang selalu ada untuk Kesya dan keluarga," jawab gadis berambut panjang tersebut.

Suara pintu terbuka membuat keempat orang yang tengah duduk di ruang tunggu menoleh ke sumber suara. Dokter yang menangani Nara terlihat menengok ke kanan dan ke kiri, seperti mencari seseorang atau sesuatu yang hilang. Mungkin hatinya yang dibawa mantan. Arga, Bu Anggun, Pak Damar, diikuti Kesya cepat-cepat mendekat sebelum dokter tersebut benar-benar mengejar mantannya. Bahas apa coba ini malahan.

"Dok, bagaimana kabarnya? eh, maksud saya, keadaan adik saya?" tanya Arga yang tetiba berasa gugup.

"Pasien atas nama Nara, ya? alhamdulillah sudah siuman, kita tunggu hasil laboratnya keluar, ya. Orang tua pasien apa sudah datang? saya ingin bicara sebentar," ucap dokter tersebut.

"Kami orang tuanya, Dok. Ada apa ya dengan anak Kami?" jawab Pak Damar.

"Mari ikut ke ruangan saya, silahkan!" balas dokter berkacamata tebal tersebut. Lalu mendahului menuju ruangan yang tidak jauh dari IGD. Arga dan Kesya ingin ikut. Namun, dilarang oleh Bu Anggun.

"Kalian di sini saja, takut kalau-kalau Nara membutuhkan sesuatau terus keluaraganya nggak ada, bagaiaman?" saran Bu Anggun.

"Iya, Bund, kami tunggu di sini, " balas Kesya kembali duduk di bangkunya. Dua anak muda itu hanya memandang kepergian sepasang suami istri yang hatinya diliputi keresahan, khawatir dengan kondisi anak gadis satu-satunya.

"Key, tunggu sini dulu, ya. Aku mau beli minuman, kamu mau minum apa?" kata Arga.
"Apa aja yang bisa bikin melek, biar nggak ngantuk," jawab Kesya sambil membetulkan kuncir rambutnya.

"Kopi?" tanya Arga lagi.

"Terserah, Bang!" jawab Kesya sewot.

"Ck, cewek kalau udah bilang terserah ujung-ujungnya bikin pusing. Udah cepetan mau apa?" Arga memang tipe pemuda yang penuh kepastian. Kalau A ya harus A. Jangan bilang A ternyata B, paling anti dengan sesuatu yang abu-abu.

"Americano!" bentak Kesya kesal.

"Yakin? berat lo itu cafeinnya, entar ka...."

"Jadi beliin enggak? kalau enggak nggak udah bawel!" potong Kesya, dengan suara yang sudah meninggi.

"Jadi lah, tunggu di sini jangan kemana-mana. Kalau ada apa-apa cepet hubungi aku!" pinta Arga.

"Iya, cerewet!"
Arga gegas meninggalkan sahabat adiknya, sebelum gadis berlesung pipi itu berubah jadi singa kelaparan yang mengamuk.

Sementara itu di ruangan dokter, Bu Anggun dan Pak Damar saling menggenggam erat tangannya. Menunggu penjelasan dokter tentang kondisi bungsu mereka sama teganggnya ketika Bu Anggun harus melahirkan Nara secara normal, padahal posisi bayi perempuan itu sungsang.

"Bu, Pak, begini. Sebelumnya saya minta Ibu dan Bapak bisa menerima penjelasan ini dengan lebih iklhas dan siap. Setelah menjalani pemeriksaan dengan saksama, saya menemukan tanda-tanda adanya gejala kurangnya sel darah merah pada pasien Nara. Beberapa bagian tubuhnya terdapat ruam dan lebam. Waktu saya tanya apakah habis terjatuh atau kepentok benda, pasien mengatakan tidak. Posisi lebamnya juga tersebar merata di beberapa bagian tubuhnya. Apalagi tadi pasien juga sempat mimisan. Gejala ini hanya ada pada penderita Leukimia atau kanker darah," terang dokter perempuan dengan tag name Dewi Murti.

"Apa, Dok, leukimia?" ucap Bu Anggun tidak percaya dengan penjelasan sang dokter.

"Itu diagnosa awal saya, semoga ini tidak seperti dugaan saya. Kita tunggu hasil laboratnya keluar. Dan pasien harus menjalani rawat inap, supaya bisa kami observasi." Kembali Dokter Dewi memberikan penjelasan secara rinci.

"Apa itu sangat berbahaya, Dok?" Kali ini Pak Damar angkat bicara.

"Untuk mengetahui stadium dan tingkat bahaya atau tidak untuk kondisi pasien, tetap harus melalui serangkaian tes. Yang pasti akan memakan waktu yang tidak sebentar. Saya hanya ingin Ibu dan Bapak bersabar. Selalu menguatkan pasien supaya bisa lekas sembuh," ucap Dokter Dewi dengan senyum yang menyejukan.

"Permisi, Dok, ini hasil laborat atas nama Nara Attila." Seorang perawat masuk ruangan praktek Dokter Dewi dengan membawa amplop berwarna putih. Bagian atas tertulis kepala surat bagian laboratorium rumah sakit tersebut.

"Terima kasih, Sus. Tolong kalau sudah siapkan kamar rawat untuk pasien Nara Attila. Mau di rawat di bangsal apa, Pak, putrinya?" ucap Dokter Dewi sambil tangannya mengeluarkan lembaran kertas dari amplop yang diterimanya.

Noted.
Jangan lupa like, komen, ya. Maaf baru bisa up lagi, semoga bisa konsisten

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang