Aku menatap wajah ku di pantulan kaca. Hari yang begitu melelahkan. Apa sudah waktunya aku pergi, orang yang aku cintai tidak mengharapkanku, orang yang melahirkan ku tidak menginginkan kehadiran ku. Lalu buat apa aku bertahan?, aku mungkin bisa bertahan tapi jika hidup ku tak damai, buat apa aku hidup. Karena jika aku masih bertahan itu sama saja aku tak menyayangi hidupku sendiri. Dan jika kehadiranku tak di hargai, dan dia anggap menganggu buat apa aku masih tetap bernafas. Karena lebih baik pergi membawa semua rasa sakit, daripada hidup memberikan rasa sakit.
Darah mengalir di area aspal, membuat orang berkerumun sambil menatap orang itu, bau darah itu terasa begitu pekat membuat semua orang berkedip merinding saat melihat darah yang tak berhenti mengalir.
“Tolong,tolong! Panggilkan ambulans!” Teriak orang itu, remang-remang masih ku dengar. Tatapan mataku kian melemah tapi masih terbuka. Angin sore hari, serta matahari yang kian meredup menjadi saksi bisu kalau aku menyerah akan semuanya.
“Ma-maaf” Ucapku dengan nafas yang sulit di atur, tapi aku masih terus bernafas. Mataku tak mau terpejam. Dadaku semakin sesak, air mataku jatuh, bahkan di akhir hayat saja aku masih kesulitan karena kesendirian yang aku alami.
“Tolong apakah kalian bisa kirimkan ambulans!”, Teriak seseorang masih sanggup ku dengar. Tapi kali ini pendengaran ku mulai hilang, aku bisa melihat orang berteriak tapi tidak dengan suara ku.
Aku menatap ke arah langit, yang sudah teduh. Aku terdiam sejenak lalu berucap dalam hati.
“Maaf telah menyerah secepat ini” Ucapku untuk diri sendiri, lalu nafas ku mulai mengebu tak beraturan, mataku seakan tak bisa melihat satu titik lagi. Aku tersenyum lalu mataku, dan nafasku beriringan berhenti. Angin semakin kencang dan di situ aku mulai tersenyum, melihat kearah langit teduh yang siap menyambut ku.
“Ma-maaf”
Aku menyerah akan semuanya.
END