Rosé POV
Bunyi bip alarmku yang mengganggu itu adalah hal pertama yang kudengar saat aku menatap ke dalam kegelapan total. Satu-satunya sumber penerangan redupku berasal dari bulan yang hampir tidak bersinar melalui jendelaku. Aku membenamkan wajahku kembali ke bantal, mengerang karena aku harus menghadapi hari sekolah yang lain.
Menjadi senior di sekolah menengah juga datang dengan rasa lelah yang luar biasa yang sepertinya tidak kunjung hilang. Tidak peduli berapa banyak istirahat yang aku dapatkan, aku masih lesu.
Aku menggosok mataku dan menyisir rambutku dengan tangan, dan melepaskan erangan ketika aku menabrak ujung meja.
"Aduh."
Aku menggerutu, dan mendesah sebelum duduk.Aku meraih ponsel ku, dan aku hampir membutakan diri karena kecerahannya sangat tinggi. Ini baru pukul lima pagi, dan mulailah rutinitas sehari-hariku sebagai senior di sekolah menengah.
Aku berjalan dan menyalakan saklar di dinding, dan kamarku menyala, dan aku harus menyipitkan mata agar bisa melihat. Aku mengemas pakaian olahraga ku di tas cheer karena aku ada latihan sepulang sekolah hari ini.
Aku sudah cukup lama menjadi anggota cheerleader, dan terkadang hal itu membuatku terus maju. Memiliki persahabatan yang erat dengan gadis-gadis luar biasa ini selalu mencerahkan suasana hatiku.
Cheerleader adalah sesuatu yang aku pikir tidak dapat aku lakukan hanya karena fakta bahwa aku tidak memiliki pengalaman, tapi bertekad untuk belajar, dan karena aku agak tertutup, jadi berada dalam tim dengan banyak gadis akan membuatku tidak nyaman.
Appa adalah orang yang mendorongku untuk mencoba cheerleader karena dia memperhatikan betapa tergila-gilanya aku dengan ide itu. Aku sangat pemalu, dan aku tidak percaya bahwa aku akan masuk tim, tapi aku melakukannya.
Semua karena appa mendorongku untuk melakukan yang aku inginkan.
Sesuatu yang sangat sederhana seperti beberapa kata penyemangat membawa aku ke pengalaman sekolah menengah yang akan aku hargai selama sisa hidupku.
Appa selalu menjadi orang yang membuatku percaya pada diri sendiri dan mendorongku untuk melakukan hal-hal yang akan membuatku bahagia. Dia adalah suara alasan, dan dia adalah orang yang selalu tahu bagaimana menghiburku. Aku masih bisa melihat senyum lebarnya kadang-kadang muncul di pikiranku, yang bisa membuatku senang, tapi bisa juga membuatku sedih.
Setiap kali dia menghadiri pertandingan, aku selalu melihatnya di antara kerumunan, bersorak gembira untukku, dan aku selalu merasa bangga karena aku membuatnya bangga. Tidak ada perasaan yang lebih baik saat dia memelukku erat dan memujiku atas kerja kerasku, dan aku tahu tidak ada satu detik pun dia tidak bangga padaku. Cintanya tidak bersyarat.
Terkadang aku masih melihat ke penonton, berpikir bahwa aku akan menemukannya, tapi dia tidak pernah ada di sana. Sebagian dari diriku masih berjuang untuk menghadapi kenyataan bahwa dia telah pergi, dan separuh lainnya mencoba untuk move on dan menemukan cara untuk sembuh.
Appa, pria terpenting dalam hidupku, meninggal dalam kecelakaan mobil ketika aku baru berusia tiga belas tahun. Kakakku, Alice, sudah lulus sekolah menengah, dan adik laki-laki kami Soobin dan Beomgyu masih balita.
Memikirkannya saja membuat hatiku sakit.
Eomma menerima telepon dari rumah sakit, dan sorot matanya begitu menghantui. Aku tahu bahwa gravitasi dan keparahan situasinya besar, dan bahwa keluarga kami mungkin tidak akan pernah pulih darinya. Segala sesuatu dalam diriku berhenti begitu aku mendengar bahwa dia memiliki peluang tipis untuk bertahan hidup.
Begitu banyak hal berbeda yang berkecamuk di benakku saat kami bergegas ke rumah sakit hari itu, dan beberapa pemikiran yang masih dapat aku ingat dengan jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Healer
RomanceRoséanne Park tidak menyangka lututnya akan terkilir selama latihan cheerleader. Begitu dia dibawa ke rumah sakit, dia disambut dengan kejutan. Park Jimin adalah seorang pria muda yang sangat menarik yang mengabdikan diri untuk menjadi seorang dokt...