Prolog

12 6 6
                                    

Song fiction reference by Green Day song, Last Night On Earth.
Enjoy.

Kupikir menjadi dewasa itu menyenangkan. Dulu, ketika aku masih kecil aku selalu membayangkan enaknya menjadi orang dewasa yang bisa bebas melakukan apa saja, mereka bisa sesuka hati menyuruh anak-anak yang berada di bawah umur mereka seperti kacung.

Ternyata aku salah besar! Menjadi dewasa tak semenyenangkan apa yang aku bayangkan saat ini. Benar-benar deh, aku bahkan rela melalukan apa saja jika aku bisa memutar balikkan waktu kembali ke masa dimana aku masih menjadi bocah biasa yang polos dan bebas dari masalah sentimental.

Sudah dua tahun berlalu sejak aku wisuda, tetapi hingga saat ini aku belum juga mendapat pekerjaan. Berbagai cara sudah kulakukan, menyebar Curiculum Vitae sana-sini, tetap saja tak ada yang berhasil. Terkadang aku berfikir, apakah ada yang salah dengan caraku membuat proposal itu? Pokoknya aku benar-benar yakin jika semuanya sudah kupastikan sempurna sebelum berada di tangan HRD. Tetapi tetap tak ada hasil.

Aku merasa menjadi orang yang tak berguna, terlebih aku ini anak laki-laki, calon kepala rumah tangga nantinya. Rasanya serba salah, apalagi ketika mulut ibuku sudah mulai berbusa menceramahiku, rasanya benar-benar ingin menenggelamkan diri ke Bikini Botom!

Aku sudah lelah disindir sebagai orang malas, mereka tidak tahu saja perjuanganku selama ini, rasanya ingin menyerah saja. Namun, jika aku terus lari dari kenyataan dan pasrah aku akan selamanya menjadi orang yang tak berguna. Seperti kata Rhoma Irama, banyak jalan menuju Roma bukan?

Pada akhirnya aku terjun ke dalam dunia kepenulisan, menjadi seorang penulis di berbagai platform online yang menjanjikan royalti yang lumayan untuk membeli jajan. Namun, otakku menjadi taruhannya, setiap hari harus memikirkan ide segar dan tidak membosankan sampai otakku terasa mengepul. Bilang saja jika aku mata duitan, memangnya aku peduli? Tidak, hehe. Lagipula menulis dan membaca memang tak lepas dari diriku sejak aku mulai mencintai dunia sastra ketika aku remaja.

Aku melirik jam yang tertera di sudut layar laptopku, aku hanya bisa meringis panik karena angka sudah menunjukkan pukul 04.36 pagi. Aku terlalu sibuk menulis hingga tak sadar waktu. Buru-buru kusimpan naskah yang baru saja ku edit dan mematikan laptop dan langsung menghamburkan diri ke kasur, sebelum ibuku memergokiku begadang lagi kali ini. Beberapa menit kemudian, aku belum juga bisa memejamkan mata hingga suara adzan berkumandang.

Mantap, besok aku akan terkena semburan lambe nyinyir ibuku lagi karena bangun kesiangan. Yah, mau bagaimana lagi, inilah keseharian seorang pengangguran sepertiku setiap harinya, bisa-bisa aku mati muda jika seperti ini terus.

Beranjak dari kasur, lebih baik jika aku mengerjakan ibadah subuh terlebih dahulu, sekalian menenangkan pikiranku yang tak keruan. Sebelum aku tidur lagi. Kumohon jangan tiru kebejatanku yang satu ini. Manusia sesat.

***

Siangnya, aku bangun ketika jam sudah menunjukkan pukul 10.00, entahlah itu masih pagi atau sudah masuk kategori siang. Ketika aku beranjak keluar dari kamar, dari ambang pintu aku sudah dapat mendengar kegaduhan yang tiap hari tak pernah absen di rumahku. Ditambah hari ini adalah hari minggu.

Setelah menunaikan hajat di kamar mandi, aku melihat ibuku berada di dapur tengah menyeduh sirup rasa jeruk yang aku beli seminggu yang lalu.

Aku pura-pura tak menghiraukan keberadaannya, tetapi tentu saja itu mustahil karena baru sedetik aku berpikir demikian, beliau sudah lebih dulu mencegatku.

"Kai, begadang lagi?" tanyanya. Aku menghela napas, aku siap kok untuk diomeli.

Aku mendekat dan berdiri di sampingnya, mengambil mug dan segera menuangkan air putih kedalamnya. "Iya, Bu. Aku lagi dikejar deadline nih, aku enggak mau ngebebani editorku." Ucapku setelah dalam sekali tegukan air dalm mug mengalir dalam tenggorokanku.

"Berapa kali Ibu bilang sama kamu jangan kebanyakan begadang? Enggak kapok bolak-balik puskesmas ngeluh masuk angin?" aku terkekeh dan menggelayuti lengan ibuku dengan manja.

"Perhatian banget sih, sayang. Jadi makin cinta," jawabku jahil.

Sebuah sentilan jari ibuku mendarat di dahiku. Dia berujar, "Mau sampai kapan kamu kayak anak kecil begini? Enggak capek apa nguntit ibu mulu? Sedangkan di luar sana teman-teman kamu udah pada punya gandengan, sebar undangan, bahkan gendong bayi!"

Hadeh! Aku salah tusuk. Lagi-lagi ibuku menyinggung hal yang enggak ingin aku bahas. Di umurku yang sudah pertengahan duapuluhan, pertanyaan seperti ini agak mengganggu kewarasanku.

"Ibu pengen aku punya gandengan dan sebar undangan?" Tak ku sangka reaksi ibu selanjutnya akan seserius itu, beliau mengangguk serta wajahnya seketika bersinar menanggapi ucapanku. Aku yang tadinya hendak bercanda malah mendapat perasaan bersalah jika aku menjawab asal.

Kalau sudah begini aku tak bisa apa-apa, jika dipikir-pikir memang aku jarang sekali bisa membahagiakan wanita di hadapanku ini. Ibuku bukan orang yang suka menuntutku untuk ini dan itu, dan dari sekian banyak keinginannya itu adalah dia ingin agar aku segera menikah.

"Hufft, kalo gitu bantu Kaisar doa supaya cepet nemuin jodoh Kai ya, Bu." Beliau hanya mengangguk lemah. Aku mengecup pipi beliau singkat sebelum beranjak untuk meninggalkan dapur.

Namun, suara ibuku lebih dulu mencegatku. "Kai, anterin minuman ini ke depan sana." Ibu menyerahkan nampan dengan dua gelas air sirup di atasnya. Aku mengernyitkan dahi sejenak sebelum bertanya, "Ada tamu, Bu?"

"Iya, calon istrimu lagi main kesini," ucap ibuku sambil terkekeh.

Ha? calon istri katanya? pacar saja aku tak punya!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MetanoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang