Hi

324 22 2
                                    

Lama tidak bertemu.
Ini aku. Kalian masih ingat kan?
Aku akan benar-benar marah jika kalian mencoba menghapusku dari ingatan.
Sore ini, temui aku di Gangnam-gu I'Park Town 112.
Pastikan kalian akan datang.

Lee Hayi, your beloved friend.

***
Langkah cepat Ia ambil, hingga menciptakan suara gaduh dari sol sepatu tingginya yang bergesekan dengan dasar lantai. Perempuan dengan tinggi badan rata-rata itu berdiri di depan pintu setelah dirasa kakinya menginjak tempat tujuan. I'Park 112, sebutnya dalam hati. Apartemen paling berkelas di Seoul, dengan setiap tata seninya adalah keeleganan. Matanya menatap gusar, beberapa kali Ia menelan ludahnya sendiri dan berharap Ia juga kuasa untuk menelan beberapa jam yang akan datang tanpa terjadi sesuatu apapun.

Kini, kedua netranya ia arahkan pada pergelangan tangan, memandang jarum jam yang sedang berputar dan mulai merasakan betapa cepatnya benda itu membuat gerak melingkar. Pukul 05.49 p.m. fokusnya pada jam tangan, seseorang sudah berdiri di belakangnya. Sosok perempuan yang mengepalkan kedua tangan dengan kuku yang dicat penuh warna glittery shocking pink, wajahnya penuh riasan mewah tapi terhalang oleh rasa bias takut yang tercetak jelas.

"Hana, kau juga datang?" Perempuan dengan tinggi rata-rata itu sontak menoleh ke belakang dan memutar badan ketika namanya dipanggil. Jang Hana sedikit mengerenyitkan dahi sembari menahan kaget sebelum berkata, "Suhyun, kau juga datang?"
Suhyun tidak membalas pertanyaan itu dan hanya mengumpat dalam suara yang kurang jelas.

"Baiklah, sepertinya kita sama-sama telah berbohong dengan mengatakan bahwa tidak akan pernah datang ke sini." Tangan Hana hendak menyentuh tombol interphone, tapi gerakan itu diurungkan ketika daun pintu perlahan terbuka dan menampilkan lengkungan senyum simpul yang khas di baliknya.

"Hana, Suhyun, ternyata kalian datang." Sambut perempuan pada usia yang sama dengan mereka, dua puluh tujuh tahun. Ia tak henti menyunggingkan kebahagiaan pada rautnya. Berbeda kontras dengan ekspresi berantakan yang ditampilkan Hana dan Suhyun.

"Masuklah." Mereka berdua saling bertatapan lalu mengangguk bersama dan segera mengikuti langkah pemilik apartement mewah tersebut.

Atmosfer canggung meliputi mereka bertiga. Semilir angin sore menjadi pendukung latar dan penambah kegugupan. Hana dan Suhyun mengedarkan pandangan ke segala penjuru apartement, menilik dengan hati-hati setiap ukiran mural mewah pada dinding dan sedikit terkagum-kagum ketika mendapati barang ber-brend tingkat dunia berjejer rapih di almari kaca. Mereka sadar bahwa untuk tinggal di tempat seperti ini membutuhkan minimal biaya 620 milyar won.

"Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Sepuluh?..." Hayi termenung sebentar, menunggu respon lain dari kedua temannya yang fokus dengan pikirannya masing-masing "ah, sepuluh tahun kurasa." Nafas panjang Ia hembuskan cepat dan asal.

"Apa alasanmu ingin bertemu dengan kami, bahkan setelah sepuluh tahun berlalu?" Suhyun, satu-satunya orang yang sedari tadi tidak melakukan gerakan apapun, akhirnya membuka mulut dengan sedikit gaya sinis. Hayi yang seakan sudah menebak pertanyaan ini akan dilayangkan padanya, Ia terlihat begitu tenang.

"Satu-satunya alasanku adalah karena aku masih merindukan kedua sahabatku, bahkan setelah kejadian itu." Dua pasang mata itu sontak terperogoh atas pernyataan Hayi beberapa saat lalu. Mulut mereka terkunci. Lanskap memori tentang masa lalu kembali bersemayam di sekitar mereka bertiga untuk beberapa saat, sebelum kejadian yang terlewat kejam terjadi pada ketiga orang yang pernah bertaut di bawah sebutan sahabat. Dahulu sekali.

Hayi bangkit berjalan, meninggalkan kedua temannya yang terduduk manis di sofa beludru putih-kemerahannya, menuju jendela besar yang gordennya terayun-ayun lemah oleh angin. Ia berdiri dan mulai bercerita, "Ketika itu kita bertiga bahagia, dari siapapun kita sangat bahagia, Kan?" lagi, Hayi meminta reaksi dari kedua temannya yang tetap merapatkan bibir tanpa suara, "Aku si Penyindiri Miskin akhirnya menemukan dua teman yang baik hati. Kita selalu pergi bersama, berlajar kelompok, pergi ke bioskop, hingga ke kamar mandi, kita melakukannya bersama benar-benar seperti tiga sahabat tak terpisahkan. Tapi... kenapa hanya aku yang dibuang?"

"Saat malam perkemahan kalian ingat kasus Oh Jimin?" sebut Hagi, "kalian memberikan saksi palsu kepada polisi bahwa aku yang membunuh Jimin. Padahal kalian tahu kebenarannya, semua hanya kecelakaan yang tidak ada hubungannya denganku. Tapi kenapa kalian menyalahkanku? Kenapa hanya aku yang harus menanggung semuanya?" Gemetar suara Hayi dicampur emosi yang membuncah terdengar jelas. Perlahan matanya beruap dipenuhi bening air mata. Bahkan hanya dengan mengingatnya saja Hayi sangat tersayat. Kala itu Hayi yang miskin harus dikeluarkan dari sekolah dan memulai semuanya dari awal dengan tuduhan sebagai pembunuh Jimin. Melantung tanpa tujuan adalah pekerjaan masa muda Hayi. Hidupnya benar-benar miris setelah kejadian itu.

"Uang, kemewahan, kekuasaan. Hidupku benar-benar seperti langit dan bumi jika dibandingkan dengan keadaanku dulu, yang bahkan tidak mempunyai kekayaan apa-apa untuk membela diri." Lee Hayi yang dewasa, kini sudah mampu memasuki kawasan distrik Gangnam yang memiliki harga mewah atas setiap halnya. Semua itu seakan refleksi semu bagi masa remajanya, yang sangat berbanding terbalik dengan masa sekarang.

"Rumus megatakan, aksi sama dengan reaksi. Itu sama persis dengan sifat manusia. Karena Ia akan membalas dengan cara yang sama, sebagaimana Ia diperlakukan..." Hayi yang terus menerawang matahari terbenam lewat jendela besar itu menyempatkan untuk memutar badan dan menatap kedua bekas sahabatnya itu, lalu melanjutkan "apa kalian percaya?"

Hana dan Suhyun hanya mematung tak bersuara dengan seluruh tubuh yang bersimbah fluida merah. Aroma anyir menyeruak di udara. Hayi berpura-pura terkesiap ketika melihat kedua temannya yang sudah ditinggal sendiri tanpa nyawa. Sebenarnya, bau anyir darah sudah meluruh di lubang hidung Hayi sedari tadi, ketika Ia memulai bercerita atau lebih tepatnya saat Hayi berhasil menancapkan belati berlapis emas pada pusat kehiduapn Hana dan Suhyun, lalu bagain perut, mengoyak isi keduanya secara bergantian hingga dagingnya mengelupas dan memperlihatkan organ-organ dalam, seperti pankreas, jantung, dan dua ginjal yang berbentuk persis kacang merah ukuran besar.

Tidak ada suara pekikan sakit dari kedua temannya ketika menemui kematian, karena Hayi sudah berbaik hati untuk memberikan mereka campuran etena sebagai obat bius sebelumnya. Kemudian Hayi juga menuang habis satu botol senyawa (H2SO4) Asam Sulfat pada wajah kedua temannya hingga kulit indah mereka melepuh dan berubah postur lebih mendekati seni abstrak karena itu bersifat korosif. Hayi tersenyum puas melihat hasil karyanya dari dendam yang mewah. Bukankah Hayi cukup baik dalam memelihara dendam? Ia sudah memupuk dendam-dendamnya dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dan lagi mereka berdua diijinkan untuk mati di tempat elegan seperti Gangnam-gu ini. Ia berderap mendekati 'mantan' sahabatnya. Oh, ayolah! Kata selamanya itu tidak pernah benar-benar berlaku dalam kehidupan manusia, tidak ada yang namanya sahabat selamanya atau musuh selamanya, semuanya akan menemui akhir. Setelah menitihkan air mata kagum, Hayi berbisik lembut penuh senyum kemenangan, "Kalian tidak punya pilihan, selain percaya. Itulah sifat alami manusia."

Saat itu matahari berhasil turun ke titik terendah dan raib ditelan kelam malam, mengantarkan sebagian manusia kembali pada sifat lahir. Kematian, puncak dari segala siklus kehidupan.

(not) Everlasting FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang