01

3 3 0
                                    

Rumah no. 77 itu selalu kosong. Disebelahnya juga. Dan hal itulah yang menjadi alasan aku yakin untuk tinggal di area ini, karena sangat sepi.

Aku... membenci berinteraksi dengan orang lain. Mereka menyebalkan, menjijikkan, dan terlalu buruk bahkan untuk menerima senyuman tipisku.

Sembari membersihkan bagian belakang tv yang sudah penuh sarang laba-laba, aku menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali. Entah mengapa acap kali mengingat mengenai kata 'interaksi', dadaku selalu bergemuruh dan aku merasa panik.

Padahal tidak ada siapa-siapa disini.

"ALIA!"

Ya... kecuali dia.

"ALIA BUKA PINTUNYA! AKU TAHU KAMU ADA DIDALAM!"

Teriakan itu tidak aku gubris. Mau bagaimana lagi, bahkan meresponnya pun memerlukan keberanian yang cukup banyak, sehingga alih-alih menyiksa diri, aku memilih untuk diam dan pura-pura menjadi tak kasat mata.

"ALIA!" Hembusan napas orang dibalik pintu itu sangat keras, hingga terdengar di ruang tengah tempatku berada. "JIKA KAU TIDAK MEMBUKA PINTUNYA, AKU AKAN MEMBUNUH KUCINGMU!" Ancamnya dengan suara kejam.

Lagi-lagi, itu tak berpengaruh banyak padaku. Karena...

Bunuh saja, Drey. Bunuh saja kucing itu. Aku sama sekali tidak menginginkannya, dan tidak bisa mencintainya.

Lagipula... kucing itu miliknya sendiri. Dia yang membesarkannya, mencintainya, dan merawatnya dengan sepenuh hati. Sayangnya, satu hal bodoh yang dia lakukan adalah meninggalkan kucing itu di rumah sosiopat akut sepertiku, yang bahkan tidak memiliki keberanian untuk berbicara pada pengemis lewat.

"Alia..." Drey berbicara lagi, tapi kali ini suaranya terdengar seperti ratapan. "Tolong maafkan aku..."

Aku tidak mengerti kali ini apa alasannya meminta maaf.

"Kucing itu——aku tidak mungkin membunuhnya. Dia temanmu. Aku tidak akan setega itu, Alia."

Sejujurnya, aku ingin kabur dan berhenti mendengarkan ocehan tidak bermutu Drey. Tapi entah mengapa kakiku malah terpaku di lantai, dan kepalaku tertoleh pada pintu yang masih tertutup, seolah menunggunya lanjut bicara.

"Dan, ya. Aku yakin kau sudah menduganya." Dia berhenti bicara, dan aku sudah bisa membayangkan senyum getir kini tersungging secara menyedihkan di bibirnya yang telah menghitam karena terlalu banyak merokok. "Kedatanganku kali ini adalah untuk membuat pengakuan dosa. Lagi."

Gemuruh di dadaku semakin menghebat. Bulu kudukku berdiri seiring dengan suaranya yang terus kudengar. Bahkan saat ini, keringat dingin mulai membasahi punggung tanganku, membuatku makin gugup.

"Untuk sebelumnya aku minta maaf, Alia. Maaf karena tidak bisa menghiburmu. Dan kali ini aku akan meminta maaf lagi, karena akan mengulangi hal yang sama." Dia terkekeh. "Aku bodoh, aku tahu. Kau yang dulu pasti akan mengumpat dan memarahiku habis-habisan. Aku bahkan masih mengingat setiap kalimat kasar yang kau berikan padaku, kau tahu."

Kau memang bodoh. Bajingan terburuk yang membuatku ingin mencekikmu sampai kehabisan napas, lantas membakar jasadmu sampai tidak ada satupun yang tersisa. Untuk apa kau menggangguku setiap hari begini, ha?

Tapi aku sekarang tidak lagi mungkin melakukan itu, Drey.

Lebih tepatnya, aku tidak mungkin lagi berani melakukannya. Alia yang kau kenal telah menjelma menjadi orang sakit jiwa seperti ini.

"Alia, aku merindukanmu."

Dasar bodoh.

"Untuk kejadian di mall dua tahun lalu, aku memang terlibat——seperti yang telah kau duga. Aku yang membawa satpam untuk melerai perkelahian kalian, tapi aku juga yang mengompori Daniese untuk menjambakmu. Aku adalah orang yang merencanakan itu semua, dan yang paling menyesalinya sekarang." Suara Drey begitu berat saat mengungkapkannya.

Ya... memang Drey pelakunya.

Tubuhku bergetar hebat hingga kakiku kesulitan menopang tubuh. Aku meluncur jatuh ke lantai, lantas memejamkan mata kuat-kuat. Seperti yang aku duga. Memang Drey pelakunya. Pria brengsek itu tidak pernah absen untuk menghancurkan diriku di masa lalu, dan membuatku makin rapuh hari demi hari.

Bahkan saat aku sudah sepayah ini pun, dia masih tidak berhenti untuk menghancurkanku.

Apa gunanya dia datang seminggu sekali untuk menceritakan dosa-dosa yang bahkan terlalu mengerikan untuk diingat itu?

Bayangan akan kejadian yang Drey sebut terngiang-ngiang di otak. Membuat serangan panik yang aku alami bertambah, dan kebencianku padanya semakin mengakar.

Drey... kau brengsek.

Terdengar helaan napasnya yang berat. "Aku berharap kau bisa memaafkanku, Alia. Meski itu sulit."

Aku tidak bisa memikirkan ucapannya lagi. Kepalaku sudah ribut, penuh, dan terasa sesak hingga memaksaku untuk mengeluarkan jeritan menyakitkan.

Aku tersiksa sendirian disini.

Karena dia.

Drey, yang kini langkah kakinya terdengar semakin menjauh itu. Orang yang menyiksaku, dan menghancurkan hidupku tanpa berperasaan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tetangga Psikotropika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang