Tempat itu berada di seberang danau, dan meski jarak memisahkan, tulisan itu sudah bisa terlihat dengan jelas dari tempat mereka berdiri. Hazel terperangah, matanya melebar penuh kekaguman saat ia melihat pemandangan di depannya.
Dewa berdiri di sampingnya, seolah menjadi pelindungnya, membuatnya merasa seperti seorang ratu di dunia yang terasa seperti dongeng saat ini. Di sana, di tengah keindahan alam, terpampang foto-foto dirinya bersama almarhum sang ayah, serta beberapa momen berharga bersama keluarganya. Namun, yang paling mencolok adalah foto dua bocah imut yang tersenyum lebar, merangkul satu sama lain dengan gigi yang terlihat jelas. Ya, itu adalah Hazel dan Dewa sewaktu kecil, kenangan yang takkan pernah pudar.
"Kak Dewa, masih nyimpen foto itu?" tanya Hazel, suaranya bergetar antara rasa rindu dan bahagia.
Dewa hanya bergumam, menatap foto-foto itu dengan tatapan nostalgia, sementara Hazel masih terpesona dengan pemandangan yang ada di depannya.
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, mengingat betapa berartinya masa-masa itu baginya. Ia merindukan tawa ceria dan kebebasan saat ia hanya bermain tanpa beban, jauh dari masalah yang kini membayangi hidupnya. Melihat senyum bahagia di semua foto itu membuatnya ingin kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana hidup terasa lebih sederhana.
"Eh, malah nangis. Tambah jelek lo," seru Dewa dengan nada mengejek, meski ia sendiri tak bisa menahan air mata yang mulai mengalir.
Hazel tersenyum di tengah tangisnya, merasakan kehangatan dari kehadiran Dewa di sampingnya. "Kak Dewa, jangan bilang gitu. Ini semua salah kamu bikin terharu aja," balasnya, berusaha menahan senyum di antara air mata yang mengalir.
Dewa mengusap air matanya dan berkata, "Gue cuma mau lo ingat semua yang indah, dan gue akan selalu ada buat lo, sama kayak dulu."
Tulisan itu saat ini sangat terlihat jelas, seolah-olah mengundang perhatian semua orang yang melintas. Hazel sekali lagi terkagum-kagum dengan kejutan ini semua. Ekspektasinya benar-benar tidak sampai ke sini.
Walaupun siang, lampu-lampu kecil itu tetap dinyalakan oleh Dewa, memancarkan cahaya lembut yang membuat tempat ini terlihat elegan, terutama dengan tulisan besar yang menghiasi dinding. Suasana terasa magis, seolah-olah dunia di sekitar mereka berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi momen ini.
Tiba-tiba, Dewa berdiri di belakang Hazel, suaranya menggema lembut di udara. "Sekarang lo bisa jawab pertanyaan gue tadi."
"Lo mau jadi gue? Hazel Tanaya?" tanyanya dengan nada menggoda, matanya berkilau penuh rasa ingin tahu.
Tanpa ragu, Hazel menjawab dengan semangat, "Iya, gue mau, Kak!" Suaranya bergetar, penuh antusiasme.
Hazel tertawa pelan, merasakan kedua pipinya memanas dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Saat dia menoleh ke arah Dewa, cowok itu juga tersenyum lebar, seolah-olah memahami perasaannya yang campur aduk.
"Senang?" tanya Dewa, dan Hazel tahu bahwa jawaban yang diharapkannya adalah sangat, sangat bahagia.
"Kak?" panggil Hazel malu-malu, suaranya hampir tak terdengar.
"Makasih ya," sambung Hazel dengan tulus. Entah bagaimana, sulit untuk menjelaskan perasaannya saat ini. Hazel merasa seperti terbang di awan, merasakan kebahagiaan yang belum pernah dialaminya sebelumnya.
Tiba-tiba, Dewa mengalihkan perhatian mereka. "Kayaknya ada yang kurang deh," celetuknya, membuat Hazel penasaran.
"Kenapa?" tanya Hazel, ingin tahu.
"Kurangnya. Terlalu romantis, kan?" ucapan Dewa itu membuat suasana menjadi lebih ringan, seolah-olah mereka sedang bermain-main dengan kata-kata.
"Ngak jadi romantis," jawab Hazel sambil menghela napas, sedikit percaya diri. "Emang bener sih, terlalu romantis, tapi nggak jadi. Coba aja nggak usah disebut, pasti lebih romantis lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
9 Eternity || END
Lãng mạn"Dan bodohnya gue jatuh cinta sama orang yang udah mau mati." ••• Hazel tanaya.... Gadis cantik berwajah pucat. Cerdik, namun picik. Memanfaatkan seorang demi mendapatkan kekuasaan dalam dirinya, dengan cara apapun. Tapi... Bagaimana jika dia melaku...