Part 2

18 3 4
                                    

"Kamu mau ke mana, Jim?" tanya Fayra sekali lagi ketika dilihatnya Jimmie menyurutkan langkah dan duduk kembali di sofa seperti tadi.

Fayra pun ikut duduk berhadapan dengan lelaki itu, dengan punggung yang sedikit ditegakkan dan dagu terangkat. Ia memasang posisi angkuh, membentuk ruang pertahanan untuk mengantisipasi serangan yang mungkin datang. Ada sesuatu yang tidak seperti biasanya. Sikap Jimmie bukan seperti serdadu yang siap berperang, atau seperti kucing yang kelaparan, tetapi tampak seperti politisi yang ingin bernegosiasi demi sebuah kesepakatan.

Jimmie memangku sikunya di atas paha sambil memutar-mutar ponsel. "Fay," panggil Jimmie di antara desahan napasnya yang terdengar berat. "Saya nak bicara tentang kita." Ia menjeda beberapa saat.

Fayra berusaha diam sambil tetap menjaga jarak.

"Fay, pernikahan kita, masalah kita yang saya rase sudah terlalu lama berlarut-larut. You know, sulit sekali kita berbicara. Sulit sekali kita sepaham. Saye keras and you pun sama, jika bicara rasanya serupa batu berjumpa batu. Kita saling menyakiti. And Fay ... I've think a lot. And I think ... I have to go." Jimmie menghela napas lebih panjang, lalu terdiam.

"Jim, kamu pikir pergi dari rumah, berhenti bicara, akan membuat komunikasi kita semakin baik? No! Tidak, Jim! Justru sebaliknya, hubungan kita akan semakin renggang." Fayra menekan suaranya.

Jimmie mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat bahwa ia tidak ingin diinterupsi. "Fay, I do not now how to talk to you! Aku sudah mencoba, dan kurasa aku gagal."

"Jimmie. Oh, Tuhan ...," kata Fayra dengan menekan emosinya kuat-kuat. "Ok, Jim. So, apa yang kamu inginkan sekarang? I mean, kamu pingin aku bagaimana? Aku akan mendengarkan. Kita cari solusinya, sekali lagi."

Seperti tekadnya, Fayra memang ingin memperbaiki rumah tangganya yang tak tentu arah empat tahun terakhir ini. Semenjak kariernya menanjak, semenjak kesibukannya bertambah, dan semenjak Jimmie dirumahkan akibat pandemi. Semenjak itulah masalah demi masalah seakan tak mau enyah. Tetapi, Fayra masih tak ingin menyerah, tidak ingin menyia-nyiakan bangunan yang telah ia dirikan susah payah. Ia mencintai lelaki ini.

"Tak ada Fay. Tak ada lagi. I sadar banyak hal. I sudah pikirkan banyak hal. Bahwa, tak mungkin you lepaskan karier. Egois buat saya jika memaksa. Tak mungkin you tinggal di Serawak juga, tak ada kerjaan you di sana. Dan Ibu ... Ibu pun masih juga bertanya tentang ... baby," kata Jimmie dengan suara sangat lirih ketika menyebut kata 'baby'.

Fayra mendesah lemah. Dua perkiraannya tepat: anak dan karier. Dan itu memang inti dari segala pertengkaran mereka selama ini.

"Jim, apakah kita bisa pakai bayi tabung? Mungkin kita bisa mencobanya, Jim?" Opsi ini pernah ditolak mentah-mentah oleh Fayra di tahun ketiga pernikahan mereka ketika tak juga ada tanda-tanda kehamilan. Fay merasa dirinya baik-baik saja, sehat, dan segar. Haid pun teratur selama ini. Namun memang janin itu belum mau singgah di rahimnya. Tetapi, kali ini ia ingin mengubah pendapatnya tentang itu.

Jimmie menggeleng. "I can't ...." Ia menunduk, sambil memutar-mutar ponsel di tangannya, lalu tatapannya mengarah ke luar seperti mencari suasana baru yang membuatnya lebih kuat untuk bisa kembali berbicara.

Sementara Fay semakin bingung melihat sikap Jimmie.

"Fay," kata Jimmie tegas, "saya nak ... kita berpisah."

Halilintar seakan baru saja mengguncang ruang tamu itu, membuat telinga Fayra tiba-tiba berdenging panjang dan ia tak mampu mendengar apapun. Bahkan suara desah napasnya sendiri pun hilang. Hanya detak jantungnya yang berdentam menguasai ruang-ruang di dadanya.

"Apa katamu? Berpisah?" tanya Fayra yang suaranya tenggelam di antara detak jantungnya. "Jimmie, come on .... Semudah itu kamu bicara, seolah tidak ada lagi solusi buat kita. Hei, Jim! Kamu tak dengar apa yang aku katakan tadi? Aku siap mendengarkan apa yang kamu mau. Aku siap memperbaikinya."

"Come on, Fayra! Masalah kita bukan baru kemarin ke. Dah bertahun-tahun kita bertengkar hal yang sama. Dan kita selalu berkata hal yang sama 'memperbaikinya', but nothing happen. Kesibukan you yang tak bisa direda, tak bisa juga kita punya keturunan, punya anak. I tahu. You tak mau karier terganggu karena anak."

"No!!" sergah Fayra spontan."Kamu tahu itu salah. Aku tak begitu, Jim! Kamu tahu itu!" Fayra tak kuasa lagi untuk tidak meninggikan suaranya, sementara air mata mulai berjejalan di pelupuk matanya.

"Aku kerja karena kita belum punya anak, itu juga tak terlalu sibuk. And you know that." Suara Fayra mulai serak. "Hanya selama kamu dirumahkan, aku lebih sibuk dari sebelumnya. Itu juga untuk menopang rumah tangga kita, Jim!"

"Ya ... ya ... aku memang tak bisa menghidupimu, Fay. Pemberianku tak pernah cukup buatmu! Sudahlah, ini hanya pembicaraan berulang yang tak akan ada selesainya." Jimmie mengibaskan tangan di depan wajahnya.

Mereka akhirnya terdiam, hanya isak Fayra yang masih tersisa. Mereka membiarkan hening mengambil alih suasana karena pembicaraan tadi memang hanya mengulang-ulang pertengkaran yang sama.

Langit di luar mulai lebam, angin berembus lebih kencang, dan dingin menjalar serupa cengkeraman kepedihan. Detak jarum jam terdengar lebih tajam, seolah setiap detik memberi waktu menghitung seberapa banyak luka yang akan kembali menghujam ke dada mereka.

"Are you sure?" tanya Fayra lirih setelah isaknya reda. Ia masih tidak ingin mempercayai kata-kata yang tadi menusuk gendang telinganya.

Kali ini Jimie menatap tajam ke arahnya, dan mengangguk dengan mantap. Bagi Jimmie, lebih cepat lebih baik. Ia tak ingin melukai perempuan di depannya lebih banyak dari yang ia kira. Ia sebenarnya berada dalam posisi yang tidak bisa mengelak dari rasa bersalah yang berkelindan di dadanya, semakin lama menyimpan kenyataan itu, ia yakin akan semakin dalam luka yang ia torehkan.

"Apa yang membuatmu seyakin ini?" tanya Fayra lagi. Ia masih butuh kepastian.

Jimmie hanya menghela napas panjang, benaknya mempertimbangkan apakah ia harus bicara atau membiarkan Fayra mengetahuinya nanti-nanti. "I tak ingin kita saling menyakiti."

"Jim, aku masih berharap kamu masih bisa berubah pikiran. Kamu tahu, aku masih menyayangimu. Aku ...." Fayra tertunduk. Kali ini ia membiarkan air matanya meluap.

Jimmie menahan diri untuk tidak mengubah keputusan, meski sebenarnya ia pun masih sangat menyayangi Fayra. Namun, ia tak bisa berkelit. Ia harus tegas dengan keputusannya kali ini. Jimmie berdiri, mendekati Fayra, dan mendekap kepala Fayra ke tubuhnya. "I am so sorry. Sorry for everything."

Ia megusap kepala Fayra dengan lembut, dan rasanya Fayra ingin terjatuh kembali dalam pelukan lelaki itu, tetapi dari tatapan dan anggukan Jimmie yang tegas itu, Fayra tahu keputusan itu telah dipikirkan matang-matang.

"Is there ... is there anyone else?" tanya Fayra di antara isak tangis yang kembali datang. Ia hanya bertanya untuk sekadar 'bertanya'. Untuk menguatkan hatinya bahwa keputusan itu murni karena masalah di antara mereka, bukan karena campur tangan pihak ketiga. Fayra merasakan detak jantungnya sendiri membuat ritme lebih cepat dari yang ia kira ketika Jimmie hanya diam saja.

Jimmie menghela napas berat tanpa bicara apa-apa. Tangannya yang tadi mengelus kepala Fayra, mendadak berhenti dan dimasukkan ke saku celananya.

Fayra mendongak, menatap lelaki yang berdiri di depannya. Mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Dan, ia hanya menemukan mata yang juga berkaca-kaca, menemukan kebisuan yang nyata. Kebisuan yang menjelaskan segalanya.

"Jimmie ...."

Gerimis di luar mulai melumuri teras membentuk bulatan-bulatan kecil pada tepi keramik. Jimmie hanya menatap genangan-genangan kecil itu tanpa bisa menguraikan mengapa mereka membuat pola di sana? Padahal pola itu membuat teras menjadi licin, dan ia bisa tergelincir.

"I am sorry," kata Jimmie lirih.

Dan sesak mendesak dada Fayra seketika. Oksigen lenyap disekitarnya. Ia menatap Jimmie dengan pertanyaan, "Kapan? Sejak kapan?" Namun, kalimat itu tersangkut di tenggorokannya.

(*)

Karena Cangkir Kopi Kita RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang