9 ETERNITY • 16

153 54 0
                                    

Dewa terbaring di kasur yang empuk, merasakan kenikmatan luar biasa dari bantal-bantal yang mengelilinginya. "Ah, surga langit ketujuh," gumamnya, sambil menggeram kecil. Rindu rasanya dengan suasana nyaman ini, padahal baru beberapa jam yang lalu ia meninggalkan tempat itu. Hari ini cukup melelahkan, pikirnya.

Ia teringat lagi pada Hazel. Kejadian itu sudah berlalu satu minggu yang lalu, tapi masih saja terbayang oleh Dewa sampai saat ini. Ia menghela napasnya, barusaha melupakan hal tersebut dari ingatannya.

Dewa baru saja memejamkan matanya, menikmati keheningan yang seolah menjadi miliknya, ketika tiba-tiba pintu kamar diketuk dengan keras. "Akh, baru juga mau tidur!" gerutunya dalam hati, rasa jengkel mulai merayap.

"Dewa," suara lembut ibunya terdengar dari luar, memecah keheningan yang ia nikmati. Dewa menghela napas, merasa malas untuk berurusan dengan orang lain. "Ck," umpatnya pelan, tetapi ia tahu ia tidak bisa mengabaikannya. "Ya?" jawabnya dengan nada setengah hati.

Pintu itu terbuka, menampilkan mama yang membawa nampan berisi makanan dan... obat? Untuk apa itu? Dewa merasa bingung.

"Mama mau ngomong sebentar, boleh?" tanya mamanya dengan lembut.

"Itu obat buat siapa? Kenapa dibawa ke kamar Dewa?" Dewa bertanya, merasa curiga.

"Ya, buat Dewa lah," jawab mamanya dengan nada tenang.

"Mama mau nanya, sekarang kamu punya pacar, kan?" tanya mamanya tiba-tiba, membuat Dewa terkejut. Dari mana mamanya tahu soal ini?

"Tau dari mana, Mama?" Dewa menjawab, nada suaranya mulai tidak tenang.

"Ngak perlu tahu, kamu. Tapi mama cuma mau ngingetin, jangan terlalu baik sama orang," peringatan mamanya membuat Dewa bingung. Di mana-mana, orang tua mengajarkan kebaikan kepada anaknya. Ah, mungkin ini karena dia bukan orang tua kandungnya, batin Dewa.

"Mama tahu kamu anak yang dermawan dan baik hati. Tapi kalau sampai orang lain memanfaatkan kamu secara berlebihan, itu juga nggak bagus buat kamu, Dewa," sambung mamanya lagi.

"Mama cuma mau peringatin hati-hati sekarang sama orang, ya nak." Setelah itu, mamanya berdiri dan hendak pergi dari kamar Dewa.

"Obat sama makanannya jangan lupa dimakan, ya," pesan mamanya sebelum menutup pintu.

***

Hazel, dengan seluruh keberaniannya, memanjat tiang yang menghalangi antara tembok sekolah dan bangunan perumahan. Motifnya jelas: ingin mengintip aktivitas Dewa. "Benar-benar cari masalah, ya?" gumamnya dalam hati, meski rasa ingin tahunya sudah mengalahkan keraguan.

Dengan perlahan, ia mengintip ke bawah, berusaha melihat keadaan di sana. Namun, begitu matanya menangkap pemandangan, jantungnya berdegup kencang.

Di bawah sana, seekor anjing besar sedang menatapnya dengan tatapan tajam, tidak menggonggong, tetapi aura menantangnya cukup untuk membuat nyali Hazel menciut.

"Ya Rabb, ini gimana turunnya?" pikirnya, merasa terjebak antara rasa takut dan rasa ingin tahunya.

Sekolah Dewa tampak modern dan terawat, dengan sistem keamanan yang ketat. Anjing-anjing ini, sepertinya, adalah penjaga yang ditugaskan untuk menjaga kedisiplinan siswa-siswi.

"Pantas aja kak Dewa jarang bolos," pikir Hazel, menyadari bahwa ada banyak hal yang tidak diketahuinya tentang kehidupan Dewa di sekolah itu.

Dengan hati-hati, Hazel mulai mencari jalan untuk turun. Ia tahu bahwa jika ia tidak segera kembali, bisa-bisa ia terjebak di atas tiang ini selamanya. "Harus cepat nig," bisiknya, bertekad untuk menemukan cara yang aman untuk kembali ke tanah. Dalam hatinya, ia berdoa agar Dewa tidak menyadari kehadirannya dan, lebih penting lagi, agar anjing itu tidak berubah menjadi ancaman.

9 Eternity || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang