“Dengan disaksikan kedua orang tuamu, mulai malam ini gugur sudah kewajibanku sebagai suamimu, Kinanti Selomitha. Kau ku talak! Talak! Talak!” ucap Arya dengan sekali tarikan napas, wajahnya menyiratkan tengah menahan amarah.
“Tidaaak! Tolong, jangan ceraikan aku, Mas! Aku mengaku salah dan khilaf, maaf!” jeritan Kinanti terdengar memenuhi sudut ruangan dalam rumahnya.
Kedua orang tua Kinanti yang menyaksikan kejadian itu pun tak mampu melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan pernikahan putrinya. Mereka hanya bisa memejamkan kedua mata disertai gurat kesedihan jelas terlihat diwajah tuanya. Tetesan air mata terlihat membasahi wajah keriput wanita tua yang telah melahirkan Kinanti, meski begitu tak mampu menggoyahkan pendirian seorang Arya Hendrawan untuk menarik kembali keputusannya,
Kinanti terlihat menangis terisak sambil duduk bersimpuh memegang kedua kaki suaminya. Sesekali wanita itu menciumi kaki Arya, sebagai tanda bahwa ia benar-benar meminta maaf. Namun sayangnya pintu maaf untuk wanita itu telah tertutup dengan tingkah lakunya yang membuat Arya merasa tak bisa memaafkannya kembali.
“Sudah cukup, Kinanti! Keputusan sudah kubuat, maaf jika selama ini belum bisa menjadi suami yang baik untukmu. Pak, Bu, maafkan Arya. Kukembalikan putri kalian, semoga kelak Kinanti mendapatkan pendamping seperti yang diinginkannya. Aku permisi, Assalamualaikum!” Lalu pria itu pun segera beranjak meninggalkan rumah kedua orang tua Kinanti dengan perasaan yang masih diliputi amarah.
Arya segera masuk ke dalam mobilnya, kemudian melajukan kendaraannya tanpa arah tujuan. Ditemani semilir angin malam yang berhembus dari sela kaca mobilnya yang terbuka, air mata pria itu lolos di pipinya. Rasa sakit itu semakin terasa, saat bayangan bagaimana Kinanti menodai janji suci pernikahan mereka beberapa tahun yang lalu. Semakin kuat Arya menepis bayangan itu, semakin kuat kepedihan itu dirasakannya.
Mobil yang dikendarai Arya berhenti dipinggiran pantai yang cukup sepi. Pria itu terlihat keluar dari kendaraanya, kemudian berjalan menuju bibir pantai. Langkahnya yang goyah, seakan menggambarkan suasana hatinya saat itu. Gulungan ombak seolah menggoda Arya untuk terus menghampirinya, seperti mengajaknya untuk bermain petak umpet disana.
Arya menghampiri ombak yang berdebur kencang, tak dipedulikannya teriakan penduduk yang melihatnya dengan tatapan was-was. Namun sebuah cekalan ditangannya, membuat langkah Arya berhenti seketika dan menolehkan kepalanya ke belakang.
“Hentikan kegilaanmu ini, Arya! Ingat Ibumu yang masih membutuhkan perhatianmu!” kata seorang pria. Kemudian menarik lengannya dengan sekuat tenaga, membawa Arya ke pinggir pantai yang dipenuhi kerumunan warga. Pria itu pun kemudian membubarkan kerumunan itu seraya mengucapkan terima kasih dan permintaan maafnya.
“Apa yang hendak kau lakukan barusan, Arya? Mau bunuh diri karena istrimu selingkuh?” cecar pria itu seraya menatap Arya dengan pendangan menyelidik.
“Dari mana kamu tahu aku ke sini, Han?” Arya balik bertanya menatap pria dihadapannya, dari sorot matanya terlihat sedang bingung. Mereka berdua kini duduk berdampingan diatas hamparan pasir, semilir angin menemani mereka berdua.
“Aku mengikutimu sejak kau keluar dari rumah mertuamu, Aku bermaksud mengantarkan titipan ibuku ke rumahmu. Tapi tetangamu bilang jika kamu membawa Kinanti pergi setelah terdengar keributan dari rumah kalian. Lalu berinisiatif menyusulmu, begitu sampai kamu baru keluar dari sana seperti orang kalut. Firasatku gak enak, dan akhirnya kamu tahu sendiri selanjutnya gimana,” beber pria yang dipanggil Han, singkatan dari Hanung Sudiro sambil memberikan air mineral untuk Arya.
Terlihat Arya meminumnya sedikit, lalu meletakannya kembali di sampingnya.
“Hhh … Aku sendiri pun gak ngerti, kenapa melakukan hal konyol seperti itu. Mungkin karena terlalu lelah menghadapi sifat dan sikap Kinanti belakangan ini,” kata Arya mulai mengeluarkan isi hatinya.
Hanung diam menyimak setiap kata yang keluar dari mulut sahabatnya sejak kecil. Dalam hatinya pria bermata sipit itu tak habis pikir dengan jalan pikiran dari seorang Kinanti. Arya dikenalnya sebagai sosok seorang pria yang bertanggung jawab, memiliki cinta yang begitu besar sehingga mampu memaafkan kesalahan istrinya berulang kali. Namun semuanya itu seolah tak pernah cukup untuk wanita berparas cantik itu, selalu menghancurkan pintu maaf yang diperolahnya berkali-kali.
“Sebenarnya, Aku sudah tahu apa yang dilakukan Kinanti saat jauh darimu. Namun Aku tak ingin mencampuri urusan pribadimu, maafkan Aku untuk itu, Ar. Kita memang bersahabat sejak sekolah menengah, tapi Aku sangat menghargai privacy masing-masing.” tukas Hanung, dari nada suaranya seperti ragu menyampaikan hal tersebut.
Arya yang mendengar penuturan sahabatnya itu mendongak, menolehkan kepalanya ke arah Hanung.
“Jadi …?” tanya Arya menatap sahabatnya itu dengan pandangan yang menuntut penjelasan.
“Ya, Aku tahu semuanya. Bahkan sempat mendokumentasikan setiap kali melihat istrimu berulah, tadinya akan kuberikan padamu suatu hari nanti. Tapi rupanya, semua terbuka dengan sendirinya,” beber Hanung.
“Aku curiga saat melihat sebuah jam tangan pria di kamarku, saat itulah Aku langsung memasang kamera tersembunyi di beberapa tempat. Baru tadi sore aku melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri, Kinanti tengah bercumbu dengan pria lain di atas peraduan kami.” Arya mengungkapkan kecurigaannya.
Terlihat Arya mulai sedikit menahan emosinya, sigap Hanung pun menepuk pelan punggung sahabatnya itu. Seolah memberikan kekuatan pada pria yang tengah diliputi gejolak amarah dalam dirinya.
“Aku ngerti! Sudah larut malam, pulanglah ke rumah ibumu. Aku mengikutimu dari belakang!” ucap Hanung sambil berdiri kemudian mengulurkan tangan kanannya pada Arya. Pria itu pun mengikuti arahan Hanung, kemudian ikut berdiri dan mulai melangkahkan kakinya menuju kendaraan masing-masing.
Belum sampai langkah keduanya di mobil, terdengar dering ponsel milik Arya. Terlihat nama ibu mertuanya yang sedang menghubunginya. Dengan malas, Arya pun menjawab panggilan tersebut.
“Assalamualaikum, Bu,” sapa Arya.
“Nak, tolong Kinanti! Dia berusaha bunuh diri, sekarang di rumah sakit.” Suara panik seorang wanita terdengardari seberang sana.
“Tapi Arya kini berada jauh dari rumah, perlu waktu sekitar dua jam.” Pria itu berusaha menghindar.
“Tolonglah, Nak. Untuk terakhir kalinya, Ibu, meminta tolong,” kata wanita yang merupakan mantan ibu mertua Arya menghiba.
“Baiklah, Aku usahakan sampai secepatnya.” Dengan terpaksa Arya mengiyakan.
Klik!
Sambungan telepon itu pun terputus, Arya terlihat menghela napas berat.
“Ada apa, Ar?” tanya Hanung.
“Kinanti mencoba bunuh diri, Han. Apa yang harus kulakukan?” Terlihat Arya semakin bingung.
“Menurutmu?” Hanung balik bertanya.
Tanpa menunda waktu lagi, Arya segera masuk ke dalam mobilnya. Lalu tancap gas, berharap secepatnya bisa sampai ke tempat yang dituju. Hanung pun terlihat mengikutinya dari belakang, khawatir terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.
Setibanya di sebuah pelataran rumah sakit, Arya segera berlari menuju sebuah ruangan. Namun baru saja hendak bertanya letak ruangan yang dimaksud, tak sengaja ekor matanya melirik sebuah brankar yang baru saja masuk membawa seorang pasien. Meskipun orang itu dalam keadaan tak sadarkan diri, tapi Arya sangat mengenali sosok tersebut.
Sejenak pria itu tertegun tak bisa berkata apa-apa, pikirannya mendadak kosong. Matanya nanar melihat ke arah brankar yang didorong para perawat dengan cepat menuju ruang tindakan. Kedua kakinya mendadak lemah seperti tak bertulang, lalu ambruk dengan tangannya terulur seolah hendak menggapai brankar tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parfum Pengikat Cinta
RomanceSebuah kecelakaan telah menyebabkan seorang pria mengalami amnesia, hal ini dimanfaatkan oleh seorang wanita yang memiliki dendam pada pria tersebut. Tanpa disadarinya jika yang dilakukan wanita itu telah menyebabkan banyak orang terluka dan menderi...