Satu pohon baru saja menggugurkan lembar-lembar daun yang beberapa jatuh memeluk bumi, sebagian masuk ke kolong-kolong jembatan, dan sisanya hampir tumpah pada puncak kepala seseorang. Samudra namanya. Ditepisnya helai daun yang tinggal beberapa milimeter lagi dapat merasakan harum aroma rambutnya itu. Yang kemudian beralih tersapu ke pangkuan kaki dengan balutan celana jeans hitam polos yang dipadukan dengan flanel motif kotak-kotak. Tangannya sibuk berpindah dari satu tombol ke tombol lainnya. Terkadang menari di atas alat mirip tikus di samping kanannya.
"That's so him of himself." Ucap seorang gadis dari seberang kursi yang Samudra duduki. Yang pada bangkunya telah penuh oleh dedaunan yang ia hiraukan. Matanya menangkap objek yang jutaan kali lebih cantik daripada namanya sendiri: Azura. Ia bersumpah, Samudra adalah semesta paling indah yang bisa ia saksikan bahkan tanpa harus susah payah menggunakan teleskop. Baginya, Samudra adalah mahakarya yang dipamerkan Tuhan secara cuma-cuma.
Sepertinya sudah lebih dari lima menit gadis itu terus-menerus memandangi Samudra. Namun, si empunya nama tak kunjung jua merasa. Ia seperti tuli pada kebisingan dunia padahal tak ada penyumbat pada telinganya. Samudra terlalu fokus pada pekerjaannya, ia sibuk pada dunia yang ia ciptakan. Padanya ia menaruh seluruh usaha dan ambisinya dengan maksimal. Ia sangat mencintai pekerjaannya. Dan Azura senang memperhatikan detail yang demikian.
Tak lama dari itu, salah satu dari mereka beranjak, sepertinya hendak pergi meninggalkan yang lain. Kaki kecil yang mulai menapak menjauh itu adalah milik Azura. Yang sadar bahwa keberadaan tidak terdeteksi radar milik Samudra. Namun, baginya tak apa, begini saja sudah cukup. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat. Ia takut mengganggu Samudra dan dunianya.
♪♪♪
Langkah-langkah mungil itu tengah beradu dengan kombinasi air tanah yang menjadikannya becek dimana-mana. Dengan hati-hati, ia lompati genangan demi genangan yang membawanya pada sebuah kemalangan. Akibat salah perhitungan, ia melompat tepat pada seloyang kubangan basah. Coklat sudah pakaian bagian bawahnya. Untungnya ia selalu membawa sandal dan kemudian lekas berganti agar dapat melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Jaraknya masih satu jam lagi tetapi perempuan satu ini sangat menikmati tiap perjalanan yang ia lalui. Dan Samudra adalah perjalanan terpanjangnya.
Azura menunggu sebuah bis pada halte yang telah berdiri kokoh entah sejak tahun berapa. Ia menunggu sambil bermain ponsel dan membaca cuitan-cuitan di media sosial. Terkadang ia tertawa, tetapi harus ia sembunyikan. Tak seperti tahun-tahun lalu, sekarang tidak perlu lagi memakai masker karena pandemi telah usai sejak lama. Kehidupan berjalan normal dan semesta terus berputar semestinya. Tinggal gadis itu sendiri yang masih terjebak pada kehidupan awal kepala duanya.
Kamarnya belum banyak berubah terlihat dari buku-buku yang selalu tersusun pada meja belajarnya, poster idolanya yang masih tertempel di sebelah pintu, dan catatan-catatan kecil pada samping tempat tidurnya. Matanya tertuju pada rangkaian foto di atas buku-buku koleksinya. Momen itu syukurlah terekam dalam citra karena Azura adalah manusia paling pelupa. Tidak banyak orang yang menghabiskan waktu dengannya. Tetapi, untuk sebagian orang, Azura rela memberikan hampir seluruh waktunya. Dan ia tidak pernah menyesal melakukan hal itu. Orang-orang hebat itu pantas menerima 'waktu' Azura.
Kini tangannya terulur mengambil sebuah buku usang berukuran kecil dengan cover berwarna biru, kuning, merah muda, dan mungkin putih. Dibuka buku pertama berwarna kuning cerah dengan halaman berwarna merah muda. Pada halaman pertama tertulis tanggal 11 Juli dengan uraian mimpi gadis itu hampir dua puluh tahun lalu. Bagi dirinya yang sekarang, mimpi itu sangat tidak masuk akal, namun juga terasa begitu membahagiakan. Ia rindu dengan masa itu. Ia rindu dirinya yang dulu.
Masa dimana ia mengerahkan segala-galanya demi Samudra, sang kelabu yang dingin. Yang pada matanya penuh dengan kecanggungan. Yang pada bibirnya berucap keraguan. Tapi, jauh di dalam diri Samudra, Azura melihat ketulusan dan kegigihan. Mungkin Samudra tidak menunjukkannya, tetapi Azura dapat merasakannya. Perempuan ini sangat peka dan pengertian terhadap sekitarnya.
Bagi Azura, Samudra adalah definisi dari samudra itu sendiri. Kelamnya tidak dapat ditembus oleh seseorang yang tidak bisa berenang seperti gadis itu. Gelapnya tidak dapat diraih seseorang yang takut kegelapan seperti gadis itu. Luasnya tidak dapat dijangkau oleh seorang gadis pelupa. Dan dalamnya tidak dapat diukur hanya dengan memandanginya setiap saat.
Azura sendiri bingung harus mengenal Samudra dari mana lagi. Samudra kelihatannya tidak begitu suka memposting hal-hal pribadinya. Mungkin pada beberapa tahun pertama sekolah menengah ia masih sedikit banyak membagikan hidupnya. Namun, semakin beranjak dewasa, Azura tak lagi dapat menemui foto terbaru dari Samudra. Samudra itu terlalu tinggi, terlalu dalam, dan terlalu jauh untuk Azura.
Dalam setiap gerak-gerik yang diperhatikan Azura, gadis itu tidak pernah menemui hal buruk yang dapat membuatnya membenci Samudra. Setiap hal yang dilakukan Samudra selalu istimewa di mata Azura. Setiap gerakan dan perpindahan Samudra, Azura mengaguminya. Ia benar-benar jatuh pada pesona laki-laki itu. Ia jatuh pada dalamnya lautan yang tidak pernah bisa ia renangi. Sendirian.
Tapi, Azura tidak pernah menyesal. Ia bersyukur dapat jatuh dan bertahan sedalam ini tanpa bantuan siapapun. Namun hingga kalimat ini, ia masih terjebak pada kumpulan gelombang air yang mulai membiru itu. Tak seperti sebelumnya, kali ini ia ingin pulang, ingin lepas dari sekat abu-abu Samudra. Ia ingin keluar, kembali ke daratan tempatnya bernapas bebas. Ia ingin berhenti menyelami luasnya Samudra yang tidak akan pernah mampu ia jangkau.
Setelah lelah mengarungi samudra, sepertinya perempuan itu akan mengambil beberapa hari cuti dari kehidupan. Ia mau mengistirahatkan segenap beban yang terpikul pada kepala cantiknya. Ia mau membersihkan rumput laut yang memeluk jari-jari kakinya. Ia mau mengingat hal-hal indah pada kedalaman Samudra yang berhasil ia saksikan. Yang karenanya, ia tetap kuat menjadi dirinya hingga saat ini.
Samudra menyumbang banyak hal bagi Azura tanpa ia sadari sendiri. Samudra menjadi kekuatan dan motivasi Azura untuk menghadapi besarnya semesta dan seisinya ini. Azura takjub pada karya-karya Samudra yang tidak pernah terbayang olehnya. Dari tangannya, muncul banyak langkah-langkah yang juga membuat Azura ingin berubah. Azura mau menjadi sepintar Samudra. Azura mau menjadi sehebat Samudra. Azura mau menjadi sekuat Samudra.
"Terima kasih banyak, Samudra. Kamu sudah membantuku bertahan di dunia yang mengerikan ini. Semoga semestamu tidak sejahat punyaku, ya. Keep shining this bright!" Tutupnya pada buku harian merah mudanya.
♪♪♪
Pada kilau coklat itu aku bermunajat, mengabaikan segala pasal dan ayat. Dapatkah sebentar saja kilaunya menangkap adaku? Jika tidak, tolong ajarkan aku lepas dari jerat mata indah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azura: Sang Biru dan Kelabu
Teen FictionKeduanya biru dengan cara yang beda. Salah satunya milik langit dan yang lainnya milik lautan. Begitu jauh dan luasnya sama-sama tak terkira. Saling bersinggungan namun tidak melintasi satu garis takdir yang sama. Dengan segala cita yang dipunya, me...