Happily Ever After

45 12 12
                                    

Setiap yang hidup di bumi itu berhak atas kebahagiaan. Enggak selalu sama, tapi setiap orang pasti memiliki bagiannya masing-masing.”

Sepanjang dua puluh lima tahun eksistensinya di dunia, Nala tak pernah benar-benar paham dengan cinta yang digembor-gemborkan banyak orang. Keluarga—yang sering di klaim sebagai sarana belajar pertama—tempatnya tumbuh dan dibesarkan biasa-biasa saja, tak ada hal romantis atau pun yang harus dijadikan tolok ukur sebagai keluarga harmonis. Sebab itu, ia sedikit buta menafsirkan hal yang begitu diagungkan semesta.

Apakah benar kebahagiaan sejenis itu ada untuknya? Apa kakaknya tak berbohong padanya? Kalaupun benar, mengapa yang ia harap bisa menjadi salah satu kebahagiaannya pergi? Jauh. Jauh sekali hingga ia tak mampu lagi untuk menjangkaunya. Bukan lagi ke luar kota yang masih bisa bersua beberapa minggu sekali, pun ke luar negeri yang bisa bersapa lewat video suara.

Namun, beberapa tahun belakangan, ada seorang laki-laki yang selalu saja merecoki hidupnya.

Namanya Garda. Tubuhnya tinggi, tetapi perawakannya tak terlalu besar. Kulitnya kecokelatan seperti kebanyakan orang Jawa. Matanya berwarna cokelat, dan tatapannya seringkali menghantarkan kehangatan. Senyumnya menawan, bukan sinis atau pun arogan.

“Permisi, boleh saya ikut duduk di sini?” Garda bertanya sembari menunjuk kursi kosong di samping kanan Nala. Pakaian laki-laki itu tampak kusut, serta tas punggungnya terlihat begitu penuh dan berat. Entah isinya apa, Nala tak begitu ingin tahu. Mungkin laki-laki itu ingin pergi menginap di suatu tempat, atau bisa jadi pulang dari acara bermalam.

Sore itu hujan turun tanpa ampun, mungkin sengaja membuat pepohonan bersorak kegirangan. Halte bus yang biasanya ramai, hanya dinaungi empat orang termasuk Garda dan Nala di dalamnya.

“Boleh, silakan,” ujar Nala. Ia sedikit bergeser ke kiri, guna memberi ruang lebih luas.

Angin bertiup kencang, membawa tetes air hujan yang mulai membasahi tubuh mereka. Nala menggigil, ia hanya mengenakan kemeja putih panjang yang tak terlalu tebal. Sialnya, ia lupa membawa jaket untuk sedikit menghalau dinginnya udara. Seperti sadar, laki-laki di sebelah Nala  menggeledah isi tas yang sedari tadi bertengger di pundaknya.

“Pakai ini.” Garda mengulurkan sepotong baju hangat yang masih terlipat rapi. Aroma dari wewangian laundry menguar begitu diletakkan di pangkuannya, yang sejujurnya membuat Nala sedikit pusing (ia tak terlalu suka dengan wangi-wangian semacam itu).

“Wajahmu sudah hampir pucat, bibirmu juga mulai membiru. Saya nggak mau diwawancarai karena jadi saksi korban kehilangan nyawa yang disebabkan hipotermia,” seloroh laki-laki itu.

Nala tersenyum, mengambil baju hangat itu dengan senang hati, kemudian mengenakannya agar mendapat sedikit kehangatan.

“Terima kasih.” Gadis itu bukan figur yang tak tahu tata krama. Ketika menerima kebaikan, sebagai manusia yang beradab, sebaik-baiknya mengucapkan terima kasih; meminta maaf ketika berbuat kesalahan; mengucapkan tolong ketika membutuhkan bantuan.

Selama lima belas menit tenggelam dalam keheningan, bus yang sedari tadi Nala tunggu akhirnya tiba. Sang kondektur membuka pintu, membiarkan penumpang di dalam keluar satu per satu, setelah memastikan tak ada satu barang pun yang tertinggal. Kemudian, la menyilakan penumpang baru untuk masuk dengan berhati-hati, sembari memeriksa tiket penuh teliti.

Nala duduk di dekat pintu bus, itu adalah tempat favorit untuknya. Beruntungnya ia, karena saat hujan, jarang sekali orang menggunakan transportasi umum. Jadi, ia bisa leluasa menempati kursi sesukanya.

“Ingin pergi ke mana?” Garda membuka sebuah obrolan, entah sengaja atau tidak, mereka berdua duduk saling berhadapan.

Merasa tak ada orang lain di dua deret kursi yang mereka tempati, Nala bertanya ragu dengan menunjuk dirinya sendiri. Laki-laki itu mengangguk, membenarkan apa yang diisyaratkan Nala.

H A P P I L Y  E V E R  A F T E R Where stories live. Discover now