Just a simple project. I did for a school assignment and decided to publish hereHappy reading 😍❤️
✨✨✨✨✨
THE LIGHT FOR MY DREAM
Aku melihat lagi poster itu, di papan pengumuman, sebelah ruang BK. Setiap pagi mungkin, hanya untuk melihat poster olimpiade matematika di Universitas Merdeka. Universitas unggul di kotaku. Universitas yang aku harapkan bisa aku tempati selesai SMA nanti. Universitas yang sepertinya hanya ada dalam daftar keinginanku.
Aku memandang lagi poster itu. Terdiam dan merenung. Haruskah? Aku tidak memiliki keberanian untuk mengikuti kegiatan seperti itu. Setiap kali universitas yang aku impikan itu membuat kegiatan olimpiade, aku selalu berharap aku bisa turut serta di sana. Namun, aku tidak memiliki cukup kemampuan pada diriku sendiri. Ketakutan mengalahkan harapanku. Bagaimana jika aku memaksakan diri dan justru membuat almamaterku tercoreng?
Sebenarnya aku hanya ingin mencoba bagaimana rasanya berpartisipasi di kampus idamanku itu. Karena aku tahu, hampir sangat tidak mungkin aku melanjutkan pendidikanku di sana. Aku memiliki banyak keterbatasan.
Akhirnya kembali seperti biasa. Aku hanya akan berjalan melaluinya begitu saja. Dan mungkin aku akan kembali esok hari, hanya untuk menuai sekaligus mengubur keinginanku di sana.
***
"Khansa! Sumpah lo harus lihat!"
Aku mendongak ketika mendengar suara Neira, teman sekelasku yang baru masuk ke kelas dan tiba-tiba duduk di bangku samping dengan heboh.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Gila, Sa! Jaden lagi main basket! Bayangin dulu aja! Sumpah keren banget! Pokoknya lo harus nemenin gue nonton." Setelah itu Neira menyeretku ke lapangan basket. Aku hanya bisa pasrah ditarik-tarik olehnya.
Jaden Pratama. Salah satu jenius di SMA Siliwangi. Sering menjuarai olimpiade matematika. Tampan dan menjadi favorit di antara kaum hawa. Hanya saja aku tidak benar-benar mengenalnya.
Aku merasa lapangan basket cukup ramai. Mungkin karena Jaden di sana. Siapa yang menyangka Si Jenius yang hobinya berkutat dengan soal ternyata mau bermain basket.
"Keren kan?" tanya Neira seperti bangga melihat idolanya bertanding.
Aku hanya tersenyum kemudian melihat bagaimana Jaden bermain dengan timnya. Sesaat, aku tertawa dalam hati. Menertawakan diriku sendiri. Atau mungkin, sedikit mengapreasiasi diri karena pandai sekali menyembunyikan sesuatu. Aku tidak pernah memberitahu siapapun jika aku sering memperhatikannya. Jaden maksudku. Aku mengaguminya. Aku gadis normal yang tidak mungkin tidak tertarik pada lawan jenis yang pintar dan menarik dalam segi penampilan. Namun aku cukup tahu diri, aku dan segara problematika kehidupanku, tidak akan pernah berani menyentuh hal lebih daripada ini. Cukup dengan mengaguminya seperti ini, aku akan tetap baik-baik saja.
***
Sudah dua minggu, lembar persetujuan orang tua untuk mendaftar ke perguruan negeri masih tergeletak di meja belajar kamarku. Aku selalu tidak memiliki waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini dengan Mama dan Papa. Seperti saat ini, ketika aku ingin mencoba berbicara pada Mama. Lagi-lagi aku harus mengurungkan niatku.
Melihat Mama berdiam diri di kamar, merenung sambil menatap kosong jendela membuatku hatiku sesak tiba-tiba. Aku tidak suka melihat Mama seperti ini. Aku benci melihat Mama yang bersedih menyimpan semuanya sendirian. Aku ingin Mama berbagi denganku. Aku tidak ingin dia berpura-pura baik-baik saja di depanku ketika aku tahu Mama merasakan kehancuran yang sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONESHOT LOVE STORIES
Short StoryBerisi kumpulan cerpen yang akan dipublikasi sewaktu-waktu.