Happy Reading!
Dahulu, dia percaya bahwa ujung setiap kisah adalah akhir yang bahagia. Bahwa setiap afeksi, setiap kasih, setiap debar, pantas untuk mencapai titik dimana kedua lakon berdua sampai mati. Padahal dunia ini begitu kejam dan tak berperasaan―oh, betapa naif bocah laki-laki dengan kisah dongeng dari sang kakak tertua, betapa naif kala dia belum tahu rasanya dilunta-luntakan takdir.
Hingga umur dua puluhan, kenyataan menampar wajah. Dia tidak menyesal percaya pada kakaknya yang kemudian hangus ditelan cintanya sendiri, dia menyesal percaya pada kasih kedua orang tuanya yang ternyata begitu semu dan fana―dia menyesal sudah berpikir bahwa mereka berdua lebih dari sekedar teman berbagi dosa.
Tapi bibirnya tetap memeta. Tidak peduli sudah berapa banyak lidah yang telah menyusuri kulit pucat itu. Tidak peduli sudah berapa banyak deret gigi yang menuai ruam di sana. Tidak peduli sudah berapa kali ia diduakan, Taehyung tetap mencumbu dengan segenap cinta, sepenuh hati.
Taehyung terus menyusuri bibir hingga ke rahang dan membuahkan satu desah. Tangan mendekap punggung telanjang berbalut peluh, menyusuri inci demi inci kulit lembab tanpa penghalang sedang kepalanya berkinerja ekstra merekam detik demi detik bagaimana malam ini berjalan. Celana di lantai hanya satu, punyanya. Yang sedang sibuk bergerak itu membiarkan tergantung di lutut kanannya.
Taehyung kembali menggigit. Satu umpatan menyusul keluar, pundak dicengkram erat. "Taehyung bangsat."
Raut wajahnya mengeras begitu yang di dalam sana otomatis mengejang dan melepaskan satu hasrat lagi. Entah sudah berapa banyak hingga bercecer di paha dan seprai, namun tiada yang mau berhenti. Dua-duanya sama-sama saling terbuai sebelum esok akan merenggut kebahagiaan ini.
Rambut hitam agak ikal disibak ke belakang, gerah dengan basah yang mengganggu di dahi. Padahal Taehyung lebih suka melihat wajahnya tertutup helai rambut saat mencapai titik surgawi. "Gantian."
"Apa?"
"Lo yang gerak. Gua capek, goblok." Dengusnya.
Taehyung tahu jelas bahwa posisi mereka saat ini adalah favorit mereka berdua. Bahwa sejak awal bertemu, saat mereka mulai mencari bekas luka satu sama lain, Yoongi selalu suka memegang kendali. Taehyung pun tak keberatan―karena nyatanya, ada banyak hal lain yang dapat ia lakukan selama laki-laki itu mencari kesenangan di bawah. Ada banyak hal yang bisa ia kerjakan. Ada banyak hal yang bisa ia renungkan.
Yoongi seharusnya tidak pernah bosan. Yoongi seharusnya kembali bergerak seperti yang ia lakukan sebelum-sebelumnya. Yoongi seharusnya membiarkan Taehyung tetap dalam penyesalan.
"Anjing, malah ngelamun." Sebuah pukulan mendarat di bahu. "Cepetan."
Taehyung menggigit lidahnya sebelum berucap. "Udahan aja yuk."
"Haah?"
"Udahan. Katanya lo capek?" Dia kembali mendaratkan satu kecupan pada rahang Yoongi. Kali ini begitu hangat, penuh cinta dan inosen. "Kalo capek mah istirahat."
Taehyung mengangkat pinggang Yoongi dari pangkuannya, melepas semua penyatuan yang telah mereka lakukan berjam-jam, mendorong reflek yang lebih mungil untuk segera mendekap dan membaui leher itu dengan hidungnya.
"Gua gak mau istirahat. Maunya lo." Tangan itu bergerak ke tengkuk, seduktif. "Ayo, lagi. Kita lakuin lagi, sampai kita berdua jadi gila satu sama lain."
Taehyung tidak tahu sudah berapa banyak orang yang ia bisiki seperti itu. Taehyung tidak tahu sudah berapa banyak orang yang segera menindih Yoongi sesaat setelah mendengarnya. Yang Taehyung tahu, ia sama sekali tidak bisa menolak.
Kadang, pernah terlintas di kepalanya untuk berhenti, untuk membebaskan dirinya sendiri―karena sejauh apapun dia mengusahakan, mendobrak pintu-pintu lain yang bukan miliknya, yang Taehyung temukan hanya jalan buntu berduri. Tidak akan ada ujung, tidak akan ada habisnya. Noda hitam pada catatan Yoongi bukan hanya milik Taehyung seorang.
Yang tidak mau berkerjasama adalah tubuhnya. Yang tidak rasional adalah hatinya. Gigi roda kepalanya mulai tidak sinkron. Taehyung tidak bisa menjauhi Yoongi, menghilangkan keberadaannya, meski laki-laki itu sendiri cepat sekali lupa. Pada kisah mereka, pada malam-malam yang mereka lalui bersama. Yoongi cepat sekali lupa dan menemukan tambatan yang baru.
Kekehan kasar terdengar. "Dasar bajingan."
"Hm." Dia melenguh. "Iya."
Taehyung tidak bisa tidak menahan nafas saat jemari itu mulai menggelitik selatan tubuhnya. Lewat hanya beberapa sentuhan di sana, dia benar-benar mengeluarkan semuanya, yang ia tahan-tahan sedari tadi, yang menjadi pertanda bahwa ia memang tidak ingin lepas.
"Lemah banget, dipegang dikit aja langsung kayak gini."
Taehyung tidak tahu berapa banyak orang yang pernah melihat Yoongi seperti ini. Dia tidak paham dengan mereka berdua. Dia tidak mengerti sama sekali perihal situasi yang tengah mereka hadapi saat ini.
Nyatanya, walaupun Taehyung menciumi kakinya berulang kali, walaupun Taehyung menyembahnya sehari semalaman, liquid putih yang pernah mengotori wajah Yoongi bukan hanya milik Taehyung seorang.
Fin.