Prolog but Epilog

2 1 0
                                    

10 Agustus kembali datang di tahun ini. Menyapa luka yang bahkan masih terasa sama basahnya, ibarat malam yang kehilangan bintang, maka seperti itulah jiwa mereka yang telah ditinggalkan sang cahaya malam.

Gelap dan gulita...

Lelah dirundung perih yang mendalam, namun iklas juga hanya sekedar omongan, dan tabah hanya sekedar kata menguatkan.

Dua tahun sudah raga itu tak pernah ditemukan, jiwanya telah pergi bersama sang pemilik dan meninggalkan rasa sesak yang mendalam.

Masih sering Vazril dengar suara tangis yang memekakkan di tengah malam...
Suara tangis mama begitu mendominan, tapi suara lirihan papa jauh lebih menyakitkan. Tangisnya tak terdengar, tapi air matanya tak berhenti untuk tak merindukan.

Dan masih sering Vazril lihat buket bunga mawar merah kesukaan 'dia' tergeletak tepat di bawah batu nisan di setiap minggunya, lalu akan terganti dengan bunga baru yang lebih segar.

Siapa lagi jika bukan Carval pelakunya.

Laki-laki yang begitu dicintai adiknya itu telah begitu bucin ternyata.

"Yahh gantian bucin juga lo Val?!" ledek Vazril pada sore temaram itu. Mereka bertemu tanpa janjian, dan dipertemukan tepat di makam sang bintang.

Carval tertawa hambar. Namun matanya tak bisa menyembunyikan gurat kesedihan yang masih sama terlihat pada satu tahun lalu. Tangannya terjulur meletakkan buket bunga mawar merah sama seperti sebelumnya.

"Iyanih, kangen juga." balas Carval lirih. "Ternyata gini ya rasanya bucin sama seseorang? Dan 'dia' ngerasain itu lama banget dulu," sambungnya.

"Gue kejem banget yah dulu?"

"Enggak. Kejeman 'dia' malah,"

Carval menyeringit bingung. "Kenapa lo bilang gitu?"

"Karena udah biarin lo bucin sendiri sama 'dia' yang udah nggak pernah kembali. Nggak adil sama bucinnya 'dia'. Dulu'dia' bebas meluk lo, bebas mau ngeliat lo kapan aja, tapi sekarang? Lo mau nyari raganya sampe kemana? Dan ngasih nisan buat kita peluk?"

Carval paham perkataan Vazril sore itu. Bucin sama raga dan jiwa yang telah hilang itu sama saja seperti seni luka yang dibuat sebagai jebakan.

Tapi bagaimana ia menghapus ini semua?

Disaat rasa menyesal pun tak pernah memudar untuk sekedar memberi kesempatan bernafas normal.

Sang bintang telah sampai diakhir lembar buku halaman. Lalu bagaimana bisa kau mau memulai di awal halaman?
Menulis sendirian tanpa ada kehadiran dari sang tokoh utama pemeran, mengingat segala hal luka untuk ditulis disatu buku nyata.

Meneteskan air mata karena ia telah pergi, dan tersenyum atas segala syukur karena ia pernah bersama sebelum menjadi luka.

Kasihi yang tersayang, dan hormati yang tertinggal. Pergi bisa kapan saja direncanakan, namun pulang siapa yang bisa menentukan?









Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PERGI TAPI TAK PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang