Bukan Akhir

2 1 0
                                    

Aku berjalan dengan langkah pelan, tangan kanan ku membawa bunga ikat yang sudah ku beli di perjalanan. Hari ini, aku akan mendatangi seseorang yang sangat amat spesial dan berharga dalam hidup ku, yang tak lain adalah Bunda ku sendiri. Bunda adalah orang yang baik dan lemah lembut. Aku sangat menyayangi nya, tapi ternyata Tuhan lebih menyayangi Bunda, sampai memulangkan Bunda lebih cepat ke tempat-Nya yang lebih indah.

Aku berhenti dan berjongkok di depan gundukan tanah coklat, menaruh bunga yang ku bawa di depan batu nisan yang menancap di tanah. Aku menghela napas, "Bunda, ini Nala.." kata ku dan langsung menunduk.

Sejak hampir 1 tahun yang lalu, Ini ke-4 kali nya aku mengunjungi 'rumah baru' Bunda. Tapi, rasanya aku masih belum percaya bahwa Bunda sudah pergi meninggalkan ku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang, hidup sendiri menghadapi dunia yang tak lagi sama semenjak Bunda pergi. Lebih menyedihkan nya lagi, aku hidup tanpa sosok ayah sejak 9 tahun yang lalu, tepat nya di umur 10 tahun sejak kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Aku tinggal dengan Bunda sejak saat itu, sementara Ayah membawa saudara kembarku keluar kota. Namun, sampai sekarang aku tidak tahu mereka dimana.

Aku merasakan pipiku basah, karena lagi dan lagi aku tak kuasa menahan air mata.

"Apakah Bunda tahu? Nala selalu berdoa dan berharap semoga Bunda tenang dan bahagia di sana," kata ku berusaha tersenyum.

"Bunda tidak merasa sakit lagi 'kan di sana?"

"Nala di sini baik-baik saja, Bun." Senyum ku pudar setelah mengatakan kalimat kebohongan itu.

"Jika Nala memutuskan untuk menemani Bunda di sana, boleh?"

Lengang.

Aku terkekeh, "Maaf, Bunda. Nala terlalu putus asa.."

Jika saja Bunda melihat kondisi ku sekarang, mungkin ia akan menangis. Kondisi mental dan fisik ku terguncang. Hampir setiap hari di tengah malam aku menangis. Mimpi ku untuk kuliah juga sirnah karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Kesiur angin seperti menjadi iringan musik di tengah kesunyian, membuatku terdiam menunduk sembari memejamkan mata. Mencoba membayangkan apapun yang menyenangkan dalam pikiran ku. Tak lama, suara derap langkah tiba-tiba terdengar. Ah, mungkin pengunjung lain.

Tapi, kenapa rasa nya seperti langkah itu sedang berjalan menghampiriku?

Aku membuka mata sembari mendongak. Dan benar saja, seseorang telah berdiri di seberangku. Aku menatap wajah nya yang terasa familiar.. Tubuh nya tinggi, wajah nya tampan dan rahang nya tegas. Seperti nya ia sebaya dengan ku. Tiba-tiba, ia membuka secarik kertas dari saku nya, seperti membaca tulisan singkat disana lalu beralih menatap batu nisan Bunda. Kemudian, pria itu berjongkok lesu, menutup mata nya dengan tangan.

Ia menangis.

Kedua alis ku saling bertautan, menunjukkan ekspresi bingung. Siapa orang ini? Apakah ia kenal dengan Bunda?

"Maaf, kau kenal Bunda ku?" Tanya ku hati-hati. Ia mendongak sembari menyeka air mata. Wajah nya mengernyit menatap ku, "bunda? Maksudnya?"

Aku tersenyum tipis, "ini makam ibuku. Jika aku boleh tau, kau kenal Bunda dari mana?"

"Nala? Kau Nala?" Ia bertanya dengan nada yang lebih tinggi dari sebelum nya. Aku sontak mengangguk pelan, "kau kenal diriku?"

Ia tersenyum, mata nya berkaca-kaca. Tiba-tiba, pria itu menghampiri dan langsung memelukku. Erat sekali, rasanya seperti di peluk oleh seseorang yang sedang menumpahi rasa rindu nya.

Namun, tentu saja aku menggeliat tak nyaman berusaha mundur. Siapa yang mau di peluk tiba-tiba oleh orang yang tak di kenal. Menyadari itu, Ia kemudian melepas pelukannya, beralih memegang kedua pundak ku, "Ala.."

Deg.

Astaga! Nama itu... Tidak, Ini tidak mungkin!

"Bagaimana kabar mu? Sudah lama sekali, bukan?" Ucap nya tersenyum sendu.

Tubuh ku seakan membeku, jantungku seperti berhenti berdetak, tanganku bergetar dan mataku memanas menahan air mata. Aku menatap wajah pria di depan ku. Guratan wajah dan mata nya persis sekali seperti seseorang yang kukenal 9 tahun yang lalu. Ya, aku tidak mungkin salah. Karena aku sangat mengenal nya, dia adalah saudara kembar ku, "Nathan."

Pria itu mengangguk seraya tersenyum. Melihat itu, aku sontak memeluknya dengan erat. Melepas segala kerinduan dan kesedihanku. Air mata ku sudah sempurna mengalir.

"Hey, jangan menangis!" Ucap nya, ia menepuk-nepuk punggungku. Padahal, aku yakin sekali, ia juga sedang menahan nangis sekarang. Aku memukul punggung nya pelan, "kau juga menangis tadi, Nath!"

Nathan tertawa kecil, "tadi itu aku hanya terkejut, loh!"

"Sama saja!"

Nathan melepas pelukanku pelan. Ia beralih menatap tumpukan tanah di hadapan nya. "Bunda, maaf Nathan terlambat.." Ia menghela napas lirih, "Nathan tidak tahu Bunda dan Ala dimana selama ini. Ayah bilang, dia akan memberi tahu tempat tinggal Bunda dan Ala saat Nathan berumur 19 tahun. Dan 3 hari yang lalu, Nathan berhasil menemukan rumah Bunda. Tapi, orang-orang bilang Bunda sudah..."

Aku menoleh dan memegang lengan Nathan. Memberi kode agar tidak melanjutkan kalimat nya.

"Tapi Bunda tenang saja, mulai hari ini ada Nathan yang akan menjaga Ala. Ala tidak akan kesepian lagi, karena Nathan akan selalu menemani Ala seperti layaknya 9 tahun yang lalu." Nathan menatap ku.

Aku tersenyum, hatiku menghangat. Aku percaya, Tuhan memang selalu punya rencana terbaik untuk setiap makhluk nya. Karena siapa sangka, hari ini di hadapan Bunda, aku bertemu saudara kembarku sendiri setelah 9 tahun lamanya. Kehadiran Nathan membuatku yakin, bahwa kepergian Bunda bukanlah akhir dari segalanya.

— Tamat —

Cerpen by : Dini Mulya Sahida
Kelas : XI MIPA 1
Absen : 09
SMAN 1 CAWI

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang