56.

1.3K 74 5
                                    

Amarah William tidak terkendali. Alih-alih mereda, pria itu malah semakin menjadi-jadi. Tak hanya barang-barang yang jatuh berserakan dan pecah menjadi serpihan, pria itu menghunus pedang ke arah salah satu prajurit, nyaris menyabetkan besi tajam itu ke leher salah satu prajurit yang sudah bersimpuh pasrah.

"Yang Mulia! Gawat, Yang Mulia!"

Mata pedang itu berhenti tepat beberapa senti di leher si prajurit yang sudah memejamkan mata erat, bersiap menerima kematiannya. Namun, rupanya hal itu tidak lekas terjadi karena sosok William yang membeku di tempat. Untuk sejenak, pedang itu berhenti di udara.

Pandangan William terangkat, mengeram marah karena kegiatannya terganggu. Mata bak elang itu menatap nyalang ke arah asal suara, siap menerkam mangsa hingga remuk. Di sana, Diego tampak lari tergopoh-gopoh. Entah apa pun berita yang Diego, yang jelas pria itu sudah berhasil membuat kepala William meledak di puncak amarah. Sang putra mahkota mengeraskan rahang, membanting pedang yang ia pegang ke sembarang arah.

"Aku akan memenggalmu atas kelancangan hari ini, Diego!"

Tersentak kaget, Diego langsung berlutut, bersimpuh tunduk pada William. "Ampun, Yang Mulia. Sesungguhnya tindakan hamba bukan tanpa alasan."

"Cepat katakan!"

"Gawat, Yang Mulia." Diego menelisik ke seluruh penjuru ruangan, di mana beberapa prajurit masih tampak berjaga di sekitar ruangan.

Lantas, Diego bangkit dan mendekati sang putra mahkota, berbisik di sisi telinganya dengan serius. Mendengar apa yang dibisikkan Diego, raut wajah muram William berubah seratus delapan puluh derajat. Kerutan di wajahnya tampak mengendur, menunjukkan emosi pria itu langsung dibanting keras.

"Apa?!" pekik William teramat terkejut dengan berita yang dikatakan Diego.

Rahang pria itu mengeras, bukan sekadar amarah, tetapi kalut dalam kekhawatiran yang teramat sangat. Segera saja, pria itu langsung berjalan dengan langkah terburu keluar dari ruangan. Diikuti Diego, William berjalan menyusuri lorong gelap menuju ruangan rahasia di mana Veronica berada.

"Veronica!" panggil pria itu langsung berlari mendekat ke arah ranjang di mana sosok wanita terbaring lemah di atasnya.

Sosok wanita bersurai perak itu tampak memejamkan mata. Agaknya, sepasang kelopak mata itu sedikit mengerjap tatkala mendengar suara asing mengusik lelapnya.

William duduk di sisi ranjang. Tangan kekarnya langsung menggenggam lembut telapak mungil yang terasa begitu dingin seolah tak dialiri darah. Tampak seperti mayat meski memang kenyataannya Veronica memang layak disebut mayat. Wanita itu sudah mati, secara lahiriah dan jiwa. Hanya saja, jasad yang sedang dalam proses pembusukan yang kini ditinggali Ramosha itu seolah masih hidup meski sebenarnya tidak.

"Yang Mulia," cicit Veronica dengan suara lemah.

Oh, jangan tertipu dengan suara yang terdengar begitu lemah mendayu itu. Semua yang ada di tubuh Veronica saat ini semata-mata hanya lah segala sesuatu untuk manipulasi.

"Veronica, Sayang, apa yang terjadi? Bagaimana keadaanmu?"

William berangsur mendekat, mendekap tubuh lemah Veronica. William terhenyak saat ia mencium bau busuk yang berasal dari tubuh wanita yang amat ia cintai. Tatapannya jatuh, tak sengaja melihat satu luka di bagian leher Veronica.

"A-apa yang terjadi? Kau terluka?"

"Yang Mulia, keadaan Nona tidak baik-baik saja." Diego datang, berdiri tak jauh dari ranjang. "Tubuh Nona Veronica berangsur membusuk, saya sudah berusaha semampu saya. Hanya saja, kekuatan saya tidak sebesar ketika saya di luar Kerajaan Imaginary."

I Choose The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang