Episode 17 Heat Waves

339 70 16
                                    

"Terima kasih, Dipta. Cuman gue nggak yakin kalo ... gue siap buka hati gue lagi. Sekarang yang gue pikirin adalah gue secepetnya mapan dan bisa beli rumah." 

Neiva membuka suara ketika mereka berada dalam naungan taksi online yang membawa mereka kembali ke kantor Tanudja Law Firm. Mereka memutuskan untuk tidak mengganggu aktivitas yang dilakukan oleh Renata dan Badai di sana. 

"Gue ngerti, kok. Tapi kalo lo butuh rebound atau seseorang yang bisa lo andalkan pas lagi sedih, jangan sungkan buat telepon gue." Dipta memamerkan deretan giginya. Neiva mengusap matanya, lalu menyunggingkan senyum. 

"Thanks." Gadis itu menyugar rambut. "Tapi sekelas lo dijadiin rebound kok, apa nggak sayang sama titel dan semua kemewahan yang lo punya?" selorohnya. 

Dipta terkekeh. "Gue nggak masalah kalo buat lo, ya. Tapi kalo buat cewek lain, ya ogah banget." 

"Kenapa? Jadi rebound itu bukannya malah menyakitkan? Karena lo cuma pelarian, sementara sampe sakit hati ilang. Dan belum tentu gue bisa nerima lo." 

"Gue udah bilang, cuma buat lo doang. Karena gue tahu, lo udah terlalu sering menderita. Papa sering cerita kalo lo tuh sebenarnya punya potensi, dan sempat cerita sedikit mengapa lo mesti cabut dari Tanudja. Padahal papa udah seneng banget sama kinerja lo." 

"Emang pak Bagas bilang apa?" 

Lelaki itu menarik napas panjang. "Ya, karena lo nggak bisa kerja bareng Badai, sementara mamanya nggak bisa merestui kalian. Papa juga tahu latar belakang keluarga lo, kan dia juga lihat akte segala macem." 

"Yah, emang gue juga nggak pernah permasalahin hal itu. Gue udah tahu gue nggak punya bapak, sempet bikin sedih waktu gue kecil. Tapi sekarang udah biasa sih. Nggak masalah nggak punya bapak, nggak bikin gue lebih baik juga. Jadi ya, gue biasa aja. Dan saat sama Badai, gue kira juga nggak akan jadi masalah. Ternyata ... yah, gitu lah." Neiva menyandarkan punggung, lalu mengembuskan napas panjang. 

Dipta menyarangkan tangan ke jemari Neiva. "Lo kan bisa ngomong ke Badai dan cari solusi bersama. Apa bener dia butuh cewek dengan latar belakang keluarga yang jelas? Atau gimana? Kalian berdua kan bukan anak SMA yang kekanakan. Gimana kalo ternyata Badai nggak peduli dengan semua itu, dan mau nerima lo apa adanya?" 

"Dia mungkin nerima gue, tapi gue nggak mau dia dikucilkan sama keluarganya gara-gara gue. Gue tahu, banyak yang bisa berhasil mendapatkan restu pada akhirnya, tapi ada juga yang nggak. Gue nggak mau saat kita beneran nikah nanti, kemudian Badai merasa sakit karena harus terbelah memilih gue atau keluarganya. Dan gue sayang sama keluarga Badai, jadi gue ngehargain mereka," papar Neiva. "Mungkin ini adalah kehendak semesta, yang emang nggak bisa mendukung gue." 

"Semua itu cuma pikiran negatif lo, Va. Coba pikir dengan cara lain, misal ternyata setelah tiga tahun, lo ketemu lagi sama Badai. Mungkin semesta ingin lo menyelesaikan masalah lo sama dia, sehingga nggak akan ada yang mengganjal lagi. Setelah itu terserah lo, mau balikan atau nggak. Tapi kalian berdua udah puas mengungkapkan isi hati kalian tanpa ada yang ditutupi." 

Neiva tertunduk kemudian ia menoleh ke Dipta dan tersenyum manis. Kali ini, ia tak lagi digelayuti emosi. "Kok gue nggak bisa jatuh cinta ke lo aja, ya?" 

Dipta melepaskan genggaman tangannya dan menyentuh dadanya seolah sakit. Lelaki itu meringis dan berseloroh, "Itu dia, lo udah bikin gue patah hati, lo mesti tanggung jawab, Va." 

****

Renata mendaratkan bibirnya ke milik Badai, tetapi lelaki itu bergeming. Ia tak membalas atau menolaknya. Renata menjauhkan kepala dan menunduk. Dalam hatinya ia merasa malu, karena merasa terlalu murahan dengan menyodorkan dirinya kepada lelaki mana saja. 

UnEXpected [Terbit Di Karos Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang