1# PENEBANG

46 3 1
                                    

     Awan kelabu mulai menutupi langit. Burung burung terbang kembali ke sarang mereka. Matahari sudah berada diujung barat, menandakan sebentar lagi waktu akan berganti malam. Kira kira malam ini akan terjadi hujan salju. Aku harus pulang cepat. Cukup untuk hari ini. Aku memasukan kayu bakar yang kukumpulkan ke dalam tas kayu bakar, dan menyarungkan kapak kedalam kolong sabuk.

     Aku berjalan mendaki lereng gunung. Tempat tinggal ku berada disana. Trek yang ku lalui lumayan menyusahkan karena salju-salju tebal mulai memadati permukaan tanah. Aku menghela nafas. Keluar nafas dingin dari hidung ku. Itu menggelikan. Angin dari barat sudah mulai menyapu lintasan. Ugh, aku harus cepat.

     Disisi lain hari ini aku sangat senang. Pasalnya adik ku - Shuna akan bertambah umur menjadi lima tahun. Dia begitu menggemaskan. Selepas dari kota tadi siang aku membeli sepaket alat menjahit dari uang yang kukumpulkan bulan lalu. Aku yakin dia pasti senang. Malam ini akan menjadi yang menyenangkan dimusim ini.

     Tepat ketika matahari mengeluarkan remang lemah aku telah sampai di depan rumah. Aku menghela nafas sekali lagi. Jujur ini melelahkan. Tapi aku bahagia. Aku beralih menyalakan lentera depan rumah. Lalu berjalan ke arah belakang rumah untuk meletakan hasil tebangan ku. Ya aku disini bekerja menjadi penebang kayu. Finansial kami tidak kurang dan tidak lebih. Cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Diumurku yang sekarang dua belas tahun ini aku sudah masuk kriteria test masuk akademi sihir di pusat kota kerajaan. Tapi pastinya itu akan memakan banyak sekali biaya dan aku tidak mau merepotkan ibuku yang mudah kelelahan. Lebih baik aku disini dan berkumpul dengan saudara-saudaraku dan juga ibuku.

     Aku meregangkan otot dan berdehem pelan. Setelah mencuci kaki aku masuk lewat pintu belakang. Terlihat sosok anak kecil sedang membuat sebuah kerajinan tanah liat menggunakan pahatan. Meskipun kecil tapi dia sangat terampil. Sesuatu yang sudah diajarkan dulu sewaktu ayah masih hidup dan itu salah satu peninggalannya.

     "Hai Sera. Kau terlihat kotor dengan peralatan itu. "

     Sontak dia menoleh. Lalu tersenyum lebar ketika dia tahu kalau aku yang datang.

     "Kakak! "

     Aku tertawa pelan lalu duduk disamping nya yang masih fokus mempoles tanah liat nya.

     "Hey sudah lah. Lanjutkan besok saja. Malam ini kita akan adakan makan malam yang spesial. Kau tidak melupakan itu kan? " Tanyaku.

     "Heh... Tentu saja tidak. Aku disini juga ingin memberikan sesuatu untuk Shuna. Lebih baik kakak pergi saja bersihkan dirimu. Kakak bau salju. "

    Sontak aku mencuil pipinya dengan tanah liat. Ekspresi nya berubah terkejut.

    "Iya-iya aku mandi. Kau juga jangan lupa. Bau tanah. "

    Sebelum aku terkena lemparan tanah liat aku sudah berlari masuk ke arah dapur.

    Aku melepas mantel dan syalku. Lalu menggantungnya di paku dinding. Terlihat ada ibu dan adikku lagi-Hera sedang membuat sesuatu di dapur. Aku menghampiri mereka lalu menepuk pundak Hera. Sontak di terlonjak saking kagetnya.

     "Kakak ini jangan jadi kayak hantu. Kaget aku jadinya. " Ucapnya sambil mengusap dadanya.

      Aku tertawa puas

     "Eh Hara sudah pulang. Bagaimana tebangannya? " Tanya ibu. Sontak membuatku kembali tenang.

     "Lancar dong. Hasil hari ini banyak dan besok sudah bisa kita jual. Aku sangat bersemangat hari ini. " Ucapku sambil tersenyum lebar.

     Ibu dan Hera tertawa pelan.

     "Sudah. Ibu sudah menyiapkan air hangat untukmu. Cepat bersihkan dirimu. " Aku mengangguk pelan

Missed Hope : The Beginning Of All BeginningsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang