Part O 1

52 13 14
                                    

━━━━━━ ◦ ❖ ◦ ━━━━━━

Aku punya sahabat yang tampan, jadi banyak cewek yang mau jadi pacarnya.

━━━━━━ ◦ ❖ ◦ ━━━━━━

Sudah banyak yang mengatakan soal jatuh cinta dengan sahabat sendiri itu payah sekali. Aku jadi salah anak bandel yang tidak mau mendengarkan petuah bijak itu.

Aku jatuh cinta dengan Hadrian, yang sering kupanggil Iyan.

Kami memasuki tahap hanya saling kenal sewaktu kelas empat sekolah dasar. Dia menolongku yang kecebur selokan—jangan tanya kenapa bisa begitu, aku sendiri terlalu malu buat mengingatnya. Pokoknya, selepas kejadian itu, kami jadi dekat.

Tahapan kami adalah teman kami masuki tak lama kemudian. Dia jadi sering ke kelasku atau sebaliknya dan mulai makan bersama di kantin. Kami juga mulai berangkat dan pulang sekolah bersama. Ternyata, rumahnya cuma beda satu tikungan lebih jauh dari rumahku.

Tidak butuh waktu lama buat kami memasuki tahap,

"Loh, Hadrian mana? Tumben gak bareng." Dan juga sebaliknya. Saat itu kami kelas enam. Hadrian di kelas B dan aku di kelas A. Kelas kami bersebrangan.

Tahapan selanjutnya adalah KAMI ITU SAHABAT! Sengaja aku cetak besar dan tebal supaya kalian tidak lupa.

Kami mendaftar di sekolah menengah pertama yang sama. Ikut tes di kelas yang sama. Yang akhirnya juga berada di kelas yang sama.

Mau tahu sejak kapan rasa itu tumbuh membunga? Aku tidak tahu, tiba-tiba saja aku merasa tarikan tidak enak di hati sewaktu Hadrian diberi naskah skenario begini,

"Hadrian-nya ada?"

Saat itu sedang istirahat pertama, suasana kelas agak sepi karena penghuninya telah berhamburan di kantin. Aku dan Iyan sengaja tidak ke kantin karena Mama membawakan kami bekal.

Di sampingku, Iyan meletakan sendok plastiknya, berdiri sambil mengangkat tangan.

"Saya, Kak?"

Kami baru kelas sepuluh, batu selesai melakukan Masa Orientasi Siswa seminggu lalu.

"Aduh, ganteng banget."

"Adek kelas sekarang kenapa bening-bening."

Aku mau bilang mereka—dua antek-antek dari kakak kelas yang memanggil Hadrian—tidak tahu malu. Bisa-bisanya mereka berbicara seperti itu di depan ruang kelas tujuh? Meski samar, hanya sekedar bisikan belaka, itu tetap memalukan.

Aku merengut tidak suka, tapi Iyan malah tertawa kering mendengarnya. Dia mungkin gugup, tapi dari senyuman yang ditarik sampai aku melihat tulang pipinya terangkat sedikit, aku berani bertaruh kalau dia suka dipuji begitu.

Bodohnya, aku merutuki diri sendiri. Siapa yang tidak suka kalau dipuji tampan?

"Begini, aku mau tanya sesuatu ke kamu."

Aku tidak tahu kapan pastinya, tapi kakak kelas itu tiba-tiba menyelonong masuk kelas. Hitungan detik, dia sudah berdiri di hadapan Iyan. Yang secara harfiah, berarti juga di depanku. Soalnya posisi kami begini :

Kakak kelas berdiri di samping meja kami, aku duduk di dekat kakak kelas itu, dan Iyan duduk di sampingmu.

"Oh, iya, ada apa, ya, Kak?" Iyan masih mencoba mempertahakan kesopanannya.

"Begini, kamu sudah punya pacar?"

Mataku membelalak sampai aku takut bolaya bakal jatuh menggelinding. Pertanyaan macam apa itu? Yang benar saja, kami ini bocah bau kencur, baru lulus sekolah, baru selesai MOS. Lembar daftar ekstrakurikuler saja belum sempat aku pikirkan, tidak tahu harus masuk ke ekstrakurikuler yang mana.

FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang