Hidup di salah satu kota besar cukuplah sulit bagiku. Terlebih lagi adikku sedang sakit-sakitan sekarang. Sudah cukup ayah dan ibu meninggal dalam kejadian yang sama -- aku tidak mau membahasnya, terlalu menyakitkan untukku. Sebenarnya bisa saja aku dan adikku tinggal bersama bibi, tapi kenangan di rumah ayah dan ibu terlalu banyak.
Ayahku dulunya seorang dosen di salah satu universitas swasta,sementara ibuku membuka toko roti di halaman rumah kami. Penghasilan mereka berdua bisa dibilang lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga ini.
Bisa saja aku memanfaatkan warisan ayah dan ibuku, namun aku tahu suatu saat harta warisan itu akan habis. Lagipula jika memanfaatkan bagian harta warisanku saja pasti akan habis, memakai harta warisan adikku juga bukan hakku.
Enam bulan setelah kepergian kedua orang tuaku, kondisi adikku semakin memburuk. Sickle cell disease -- Anemia sel sabit -- yang ada di dalam dirinya membuatnya keluar-masuk rumah sakit untuk mengonsumsi obat secara teratur. Paman yang mengantar adikku berobat mengatakan jika umurnya cukup ia akan menjalani operasi transplasi sumsum tulang belakang.
Hal itu membuat paman membeli mobil ayah untuk menambah uang perawatan adikku. Aku juga sempat beberapa kali berpikir untuk meneruskan usaha ibuku. Tapi berbagai macam kesibukan di sekolah mengekangku. Apalagi dengan jabatanku sebagai sekretaris dalam organisasi Islam di sekolah.
"Cuy," seseorang menepuk kencang punggungku, "assalamualaikum. 'Pakabar nih?"
Aku hanya tersenyum dengan kelakuan temanku ini. "Waalaikumussalam, laper nih, mau jajanin ane ga 'Syah?"
"Apa nih? Alhamdulillah mumpung ane dapet uang lebih nih, hehe," jawab temanku itu seraya cengengesan. Aisyah, ketua keputrian Rohis. Aku mengenalnya ketika diriku mulai aktif di organisasi ini sekitar kelas delapan awal. Mungkin pada awalnya aku mengira Aisyah adalah anak yang kalem, namun rupanya aku salah besar. Aisyah itu.. Yah, begini lah adanya. Justru ia terlalu aktif dan begitu jahil. Sampai-sampai aku bertanya-tanya mengapa aku bisa tahan dengannya.
"Gorengan boleh."
"Sip, sip!"
Aisyah menggandengku menuju tempat penjual gorengan. Kelihatannya ia justru membeli bakwan kesukaannya lengkap dengan sambal kacang. Selanjutnya ia memesan tahu isi di platik bening yang lain. Ia menyerahkan gorengan tahu isi kepadaku.
"Syukron 'Syah," ucapku seraya menerima bungkusan tahu isi itu.
Aisyah mengangguk menjawabnya. "Yok, afwan."
Kami berdua melangkah menuju kursi terdekat untuk menghabiskan gorengan sambil sesekali berlontar cerita."Mau sholat dhuha 'ga?" tanyanya dengan mulut penuh dengan gorengan.
Aku mengangguk menyetujui seraya menelan kunyahan terakhir tahu isiku.
Kami berpindah tempat lagi menuju masjid sekolah. Kuletakkan sepatuku dengan rapi -- sementara Aisyah hanya perlu melemparkan sepatunya sembarangan -- di rak sepatu. Kami berdua mulai melepas kaus kaki dan memasuki tempat wudhu. Kugulung kemeja putihku dan menyalakan keran air. Aku mulai mencuci tanganku seraya mengucapkan niat wudhu. Air wudhu yang dingin namun menenangkan itu mulai membasahi bagian tubuhku.
Kuhabiskan satu menit untuk wudhu. Berharap wudhuku itu sempurna. Wudhu memang selalu menenangkan hati di kala perasaan gundah gulana ini datang. Aku melafalkan doa sesudah wudhu. Kuturunkan lengan kemejaku. Ketika aku sedang menikmati udara sejuk tempat wudhu yang sepi ini, Aisyah tiba-tiba menarik lenganku dengan paksa dan membawaku ke lantai dua masjid sekolah. Sekali lagi, aku hanya bisa tersenyum dengan tabiat temanku yang satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
jangan menyerah
Short Storymenceritakan seorang anak yatim piatu yang harus mengurus adik nya