Cerpen

11 8 1
                                    

   
  Aku Bintang, hidup di bumi untuk menghiasi langit yang gelap menjadi lebih indah. Mempunyai misi membawa kehangatan siapapun yang melihatku. Aku akan membawa cahaya yang selalu menjadi dambaan semua orang kala kelam. Keceriaan, kebahagiaan bahkan senyuman yang terlukis di wajah mereka.

  Aku Bintang, bukan bulan atau matahari. Orang bilang bintang datang kala malam, tapi aku tidak. Aku ada kala siang dan malam, melewati hari-hari dengan bahagia tanpa harus takut pada dunia. Aku suka menatap langit, warnanya biru kala siang, jingga bila sore dan hitam pekat jika malam. Langit sangat indah kala bintang menghiasinya, membawa kehangatan kala mata memandang. Hampa, langit hampa tanpa awan di siang hari dan dia juga kosong tanpa bintang di malam hari.

  Malam ini, seperti biasanya aku duduk di atas rumah pohon menjuntaikan kaki dengan tenang sembari menatap langit yang dihiasi bintang. Aku suka benda langit itu, namanya adalah namaku.

  Waktu kecil ibu pernah berkata, "Bintang adalah benda langit yang mampu memancarkan cahaya dan memproduksi energi sendiri. Ibu harap kamu bisa seperti bintang, menjadi seorang yang membawa cahaya kehangatan dan kedamaian di bumi ini. Suatu saat nanti ibu ingin kamu bisa menjadi seorang yang hidup mandiri, tanpa menyusahkan orang lain serta akan selalu tampak ceria walau gelap datang. Sama seperti bintang yang bersinar di langit malam."

  Ibu tersenyum cantik ketika dia masih muda dulu. Aku masih mengingatnya, saat itu aku berusia 5 tahun. Anak perempuan yang selalu membawa boneka beruang kecil berwarna pink di manapun dan kapanpun. Sekarang usiaku telah memasuki 16 tahun, boneka itu tak akan kubawa ke mana-mana lagi. Kusimpan baik-baik di dalam sebuah peti kecil seukuran boneka itu yang kini masih ada di dalam rumah pohonku. Rumah pohon ini sudah seperti rumah sendiri, setiap malam aku selalu mengunjunginya. Ayah dan ibu tak pernah melarang, sebab rumah pohon tak jauh dari rumah kami.

  Sejak kecil aku suka berimajinasi dengan duniaku, menghitung bintang dengan antusias, bertanya pada langit tentang kabarnya, bahkan menerbangkan balon gas yang terlilit oleh surat terkhusus untuk langit. Aku masih ingat kalimat yang kutulis untuknya dan sampai sekarang pun aku masih mengirim surat itu dengan isi surat yang sama. Surat itu hanya sekadar ungkapan rindu, bukan permintaan atau permohonan. Sebab langit bukanlah Tuhan, ia ciptaan-Nya yang nyata. Terima kasih Tuhan, karena Engkau telah menciptakan langit dan bintang.

  Kenyataan kalau dirinya dan seseorang itu memang harus berpisah saat mereka masih anak- anak. Ada titik di mana ia tahu bahwa dirinya harus berhenti berharap kalau langit akan kembali. Hanya saja satu kata yang dijanjikan untuk bertemu kembali yang sebenarnya menjadikan harapan dan cita-cita nya itu seolah tidak pernah berakhir.

  "Apa kabar langit? Semoga gelap tak membuatmu muram, semoga malam tak membuatmu gundah. Lihatlah ke angkasa ada benda langit yang begitu indah. Bintang, cahayanya terpancarkan kala malam. Tersenyumlah langit, bintang tak ingin melihatmu selalu murung."

 
  Seorang gadis remaja bernama Bintang menatap langit malam, berharap berjumpa kembali dengan teman lelaki kecilnya bernama Langit. Mereka terpisah oleh jarak, namun Bintang selalu yakin bahwa Langit membutuhkan dirinya untuk menghiasi gelap dan kelam kehidupan. "Bagaimanakah cerita selanjutnya? Nantikan episode berikutnya teman-teman."

  Semua menatapku heran, lalu beberapa detik kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal mendengar diriku bercerita dengan semangat membara bak tengah bercerita kepada anak-anak kecil layaknya seorang pendongeng.

  "Dongeng apa lagi ini? Langit, Bintang. Tidak adakah nama yang lebih bagus dari itu?"  tanya Fiki salah satu teman di kelasnya nada suaranya terdengar samar, sebab masih berusaha mengehentikan tawanya. Namun, setelah itu dia kembali tergelak sembari memukul-mukul kursi yang didudukinya.

Bintang dan Langit Menghiasi Semesta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang