"Penyesalan itu selalu ada, bersenang-senanglah terlebih dahulu untuk saat ini hingga kamu bertemu penyesalan sesungguh nya."
Panglima Ravenendra Arrasyid
┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄
Bulan bersinar dengan indah di atas langit gelap ditemani taburan bintang yang membuat nya semakin memukau. Seorang pemuda berambut hitam pekat menatap bulan yang tengah bersinar dari kejauhan. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit yang menghasilkan rasa dingin. "Indah tapi sayang sedikit jatuh dari pada mentari" menolog pemuda tersebut pada dirinya sendiri.
"Aven, masuk" menoleh kebelakang dimana sosok wanita berumur lima puluhan tengah berdiri didepan pintu masuk dengan jaket rajut yang membungkus bagian atas nya. Raven, pemuda yang baru saja dipanggil mengangguk dengan sorot mata lembut. Ia melangkahkan kaki jenjang nya menuju wanita berumur tersebut.
"Iya bunda, ayo masuk. Udara malam ga baik untuk kesehatan bunda" Raven merangkul pundak Layla dan menuntun nya ke dalam.
Layla tak bereaksi apapun hanya diam dan menuruti putra tengah nya. Mereka berjalan hingga menuju ruang tengah dimana dua pemuda yang berumur sama dengan Raven tengah bermain ponsel. Raven tak mempedulikan kedua nya dan tetap menuntun sang bunda untuk duduk di sofa single.
Hening, tak ada suara yang terdengar dari empat manusia yang tengah duduk berhadap-hadapan. Raven menghembuskan nafas merasakan suasana canggung.
"Bunda, Aven mau ke kamar dulu ya." Layla mengangguk memberikan izin kepada pemuda berambut hitam.
"Bass juga mau ke kamar ya bun. Bunda jangan terlalu larut untuk tidur" pemuda bergigi kelinci mengikuti saudara kembar nya menuju kamar yang terletak di lantai dua.
"Theo juga bun. Bunda kalau mau masak, besok aja jangan sekarang ya!" Bukan lagi ucapan melainkan perintah seorang pemuda berkacamata yang tengah berjalan santai menuju kamar nya. Tak ada rasa takut didalam dirinya karna sudah memerintahkan sosok wanita yang ia jaga dengan sepenuh jiwa raga nya.
Layla mengulas senyum hangat mendengar ucapan ketiga anak kembar yang sudah berada di dalam kamar. Seperti kebanyakan ibu, harapan Layla kedepan nya hanya ingin melihat anak-anak nya sukses dan meraih cita-cita yang mereka impikan. Layla berdiri dari single sofa dan berjalan menuju kamar yang terletak di lantai dua yang bersebelahan dengan kamar anak-anak nya.
"Dunia bukan lagi tentang takut pada sang pencipta melainkan nafsu manusia yang terus berkembang setiap hembusan nafas" secara tiba-tiba Raven berujar di tengah keheningan antara mereka bertiga dengan mata yang tak lepas dari buku yang ia genggam, mata sipit itu menelisik buku yang entah dari mana ia dapat kan.
Bass, pemuda bergigi kelinci itu menatap Raven dengan tatapan datar, "dunia itu sudah tua dan sudah hidup beribu-ribu tahun. Jika melihat sepintas jawaban yang dirimu berikan memang tepat tapi tidak kah kamu melihat seribu tahun yang lalu?" Mata nya bergulir ke arah buku yang Raven genggam kuat.
"Lantas bagaimana dengan sosok yang memerangi umat nabi ku? Atau mungkin kamu mengingat kisah yang terjadi di perang uhud, dimana umat nabi ku kalah saat itu?" Tak mendapat kan respon dari orang yang menatap nya dengan datar, Raven membuka halaman pertama buku yang ia pegang.
"Dari keterdiaman mu sepertinya kamu ingat saudaraku. Aku tak menyalahkan opini mu tentang dunia ini, hanya saja cobalah untuk terbuka sedikit saja dengan apa yang kamu lihat! Apa kamu tidak memperhatikan manusia sekitar mu, Bass?!"
Theo menghembuskan nafas lelah melihat pertikaian yang terjadi antara dua kakak beradik ini, "dunia memang tua hanya saja semakian ia tua maka semakin banyak dosa yang ia lihat."
Bass mengalihkan tatapan nya menuju Theo, "tentu! Bukan kah begitu menyedihkan bagi sang bumi? Lihat saja keadaan nya yang mulai perlahan mati dan sudah mulai memunculkan pertanda ia lelah dengan apa yang manusia lakukan" Bass beranjak menuju meja belajar yang terletak di ujung kanan kamar.
"Dimana bumi itu mati mungkin disanalah lolongan tangis manusia mulai terdengar, kepanikan mereka akan hal yang selama ini menjadi mimpi buruk bagi mereka terjadi didepan mata. Tepat disanalah manusia melihat negara nya terbenam oleh tangisan bumi dan hanya menyisakan satu negara yang pernah dicintai nabiku. Tapi, bisa saja ribuan manusia itu akan bertemu dengan satu sosok yang paling berbahaya dan akan diberikan pilihan antara api atau air. Atau bisa saja bertemu dengan satu makhluk yang mirip dengan kelajengking yang lebar nya dari utara hingga selatan ke panjang antara barat ke timur" Ucap Raven dengan raut wajah santai seolah-olah ia tak panik dengan apa yang ia ucapkan.
Theo bergedik ngeri mendengar ucapan Raven dan mengalihkan pandangan nya menuju Bass yang tengah membaca surat Al-Mulk, "sepertinya ia akan tidur" batin Theo.
Keheningan menyelimuti ketiga nya setelah ucapan yang Raven sampaikan, hanya terdengar lantunan irama Al-Qur'an dari mulut Bass.
"Dilihat dari wajah mu yang santai, sepertinya kamu sudah mendapatkan jalan keluarnya" ujar Bass setelah melipat kain sarung yang ia pakai.
Raven mengangguk, "bukan hanya aku saja, tapi semua umat nabiku sudah diberikan persiapan. Tapi sayang mereka seolah-olah buta dengan apa yang akan menjadi bekal mereka nanti nya dan mereka masih terlena dengan dunia yang fana ini. Miris bukan? Tapi itu lah hidup, tidak asik jika tidak ada gemericik dosa didalam nya."
Bass menyerngit dahi begitu pula dengan Theo yang tidak mengerti maksud dari ucapan Raven, "membuat ku pusing saja dengan kata-kata mu itu" Bass langsung merebahkan dirinya di kasur dan menghadap ke arah kanan sebagimana sunnah nabi.
"Malam Aven" Theo mengikuti apa yang Bass lakukan tak lupa dirinya membaca do'a sebelum tidur.
Raven tak bergeming dari tempat nya dan masih melanjutkan acara nya untuk membaca buku, hingga bertepat pada pukul sebelas malam baru lah dirinya merapatkan kedua kelopak mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kata Bunda
Short Story"Bunda ku itu lebih penting dari pada kamu." "Kamu memang ratu bagi ku , tapi bunda ku lebih dari sekedar ratu didalam hidupku." "Aku memang seorang bajingan, namun untuk membuat bunda ku menangis. Aku siap menerima cambukan di badanku."