Chapter 1 Arcta

11 0 0
                                    

Di ujung lembah yang diselimuti kabut tipis, tersembunyi sebuah desa bernama Arcta. Tempat para wanita dibesarkan dengan satu tujuan–menjadi calon pengantin yang sempurna bagi para bangsawan iblis. Desa ini dipenuhi oleh keindahan ladang bunga yang mekar sepanjang tahun, aliran sungai jernih yang membawa gemericik menenangkan, serta rumah-rumah berukir yang berdiri megah di sepanjang jalan. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan sebuah kenyataan pahit.

Para wanita di Desa Arcta tidak memiliki pilihan atas takdir mereka. Sejak kecil, mereka dilatih, dididik, dan dibentuk agar layak menjadi pasangan para pria bangsawan iblis. Kecantikan dan keanggunan adalah nilai utama di desa ini. Sementara cinta tidak pernah menjadi bagian dari pelajaran yang mereka terima. Jika dalam perjalanan pernikahan itu mereka akhirnya mendapatkan cinta, itu hanyalah sebuah keajaiban.

Seperti akhir sedih yang terjadi pada Tara Samara. Wanita cantik dari desa Arcta, yang menikahi Hemish Damon.

Tidak semua pria bangsawan iblis memilih calon pengantinnya dengan cara menandai–seperti Karin dan Erna. Beberapa memang dipilih langsung dari desa kecil yang magis ini. Apalagi para pria yang lahir dari klan tertinggi, seperti Damon. Yang lebih banyak memilih calon pengantinnya dari desa Arcta.

***

Angin sore yang lembut berhembus di lapangan latihan desa Arcta. Membelai rambut Serena saat dia meraih busur dan menarik anak panah ke belakang. Mata birunya fokus pada sasaran di kejauhan, sebuah lingkaran kayu yang dipasang rapi di tengah lapangan. Panahan adalah salah satu pelatihan yang diajarkan kepada setiap wanita di desa itu—bukan sebagai alat bertahan, tetapi sebagai lambang keanggunan.

Anak panah melesat dengan kecepatan angin, menusuk tepat di tengah sasaran. Serena menarik napas dalam-dalam, menikmati sejenak kepuasan kecil itu. Namun, suasana berubah saat seorang pelatih mendekat.

"Serena," panggil sang pelatih.

Serena menurunkan busurnya dan menoleh, menatap pelatih yang kini berdiri di sampingnya. "Ada apa?"

"Kepala sekolah ingin bertemu denganmu. Sekarang,"

Serena membuka pintu ruang kepala sekolah dengan sedikit gemetar. Udara di dalam ruangan terasa lebih dingin dibandingkan udara di lapangan tadi. Matanya langsung tertuju pada lima wanita yang sudah berdiri di tengah ruangan, mengelilingi meja besar yang berkilauan.

Di antara mereka, sosok yang paling dikenal Serena—Raeya Mae, sahabat dekatnya—tersenyum kecil, memberikan tatapan gelisah sekaligus penuh harapan. Serena melangkah maju dengan hati-hati, perutnya berdesir aneh.

Kepala sekolah mereka, seorang wanita paruh baya dengan rambut perak yang disanggul rapi, menatap mereka satu-persatu dengan mata tajam penuh wibawa. Seperti patung marmer hidup, ekspresinya nyaris tak terbaca. Raeya melirik ke arah Serena. Senyumnya tipis. Mereka tidak perlu bicara untuk tahu bahwa sesuatu yang penting tengah terjadi.

"Aku yakin kalian sudah mendengar tentang pemilihan besar yang akan segera dilaksanakan," Suara kepala sekolah menggema. "Lima bangsawan telah datang ke Desa Arcta untuk memilih calon istri mereka. Dan kalian adalah wanita-wanita terpilih,"

Serena menelan ludah. Pemilihan. Kata yang sudah dia dengar berkali-kali, sebuah keputusan yang tidak bisa dihindari oleh setiap wanita di desa ini.

"Besok, kalian akan diperkenalkan kepada mereka. Bersiaplah untuk menunjukkan bahwa kalian adalah yang paling layak," lanjut kepala sekolah.

Tatapan Serena teralih pada Raeya, yang menatapnya dengan senyum tipis. Raeya menggenggam tangan Serena sekilas, memberi dukungan tanpa suara.

***

"Aku dengar, akan ada dua anggota klan Damon yang datang," ujar Raeya pada Serena.

Mereka berdua tinggal di asrama yang sama, di kamar yang sama pula. Setelah tadi sore mendapat arahan langsung dari kepala sekolah, baik Serena maupun Raeya tidak bisa tenang.

"Klan Damon?" Serena mengerutkan kening.

"Kamu tidak pernah dengar?" Raeya menganga. "Mereka adalah klan yang menyumbang banyak uang untuk kemajuan sekolah kita,"

Serena manggut-manggut. Dia memang pernah mendengar tentang klan Damon. Tapi tidak benar-benar mengerti kenapa klan itu begitu ditakuti–sekaligus dihormati.

"Tapi kalau boleh jujur, aku lebih suka menjadi pengantin klan Bagaskara," Raeya merebahkan tubuhnya di ranjang. "Mereka ... sangat menawan," Mata Raeya nanar menatap langit-langit.

"Bukankah klan Bagaskara tidak pernah memilih calon pengantinnya dari sini?" tanggap Serena.

Raeya mendesah kencang. "Mereka lebih suka memilih manusia secara acak,"

Serena tertawa lirih mendengar celotehan Raeya. Dia sesungguhnya tidak peduli. Meski pada akhirnya dia dipilih oleh klan yang tidak berpengaruh, Serena tetap senang. Dia hanya mendambakan keluar dari desa ini dan melihat dunia bangsawan iblis.

***

Hari yang dinanti tiba dengan cepat. Serena menatap bayangannya di cermin kamar, mengenakan gaun sutra berwarna gading yang terbuat dari bahan terbaik dan dipilih khusus untuk hari ini. Rambutnya diatur dengan rapi, membingkai wajahnya yang tampak lebih pucat dari biasanya.

Di luar, suara lonceng dari menara desa terdengar, menandakan para bangsawan telah tiba. Serena menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Matanya teralih pada Raeya yang berdiri di sampingnya—juga mengenakan gaun serupa, tetapi dengan ekspresi yang lebih tenang.

"Kau siap?" bisik Raeya.

Serena hanya mengangguk, meski hatinya ragu. Mereka berdua tahu, siap atau tidak, mereka harus melangkah maju. Ini adalah bagian dari takdir yang sudah digariskan untuk setiap wanita di Desa Arcta.

Saat pintu besar aula utama terbuka, Serena dan Raeya—bersama tiga wanita lainnya melangkah masuk. Aula itu dihias megah, dengan tirai beludru merah, bunga-bunga putih yang menghiasi setiap sudut. Di ujung aula, berdiri lima pria bangsawan iblis yang tampak begitu digdaya. Mereka berdiri tegak, menilai setiap langkah wanita yang berjalan mendekat.

Saat tiba saatnya untuk memilih, Serena merasakan dadanya sesak. Lima wanita itu berdiri berjejer di hadapan lima bangsawan yang telah dipersiapkan untuk mereka. Tetapi hanya satu pria yang menarik perhatian Serena dengan cara yang membuatnya tidak nyaman.

Pria itu memiliki mata cokelat tajam yang menusuk, seolah menelanjangi jiwa Serena. Tindik menghiasi telinga dan wajahnya, menambah kesan liar pada sosoknya. Pria itu berdiri di ujung ruangan, namun tatapan dan seringai di wajahnya membuat Serena merasa seolah dia sedang berada dalam ancaman yang tak kasat mata. Detak jantung Serena semakin cepat ketika dia melihat pria itu mendekat, dengan senyum yang sama sekali tidak bersahabat.

Tanpa sadar, Serena menggenggam tangan Raeya dengan erat. Raeya otomatis melirik Serena, berusaha menenangkan sahabatnya itu meski dalam diam.

"Kamu ... Serena Liyne?" tebak pria itu. Kini dia ada di depan Serena.

Serena gugup luar biasa hingga tidak bisa bersuara. Sementara Raeya melepaskan genggamannya karena dipanggil oleh pria lain.

"Ah, Tuan Hendery!" seru kepala sekolah yang buru-buru mendekat. "Suatu kehormatan Anda datang ke sini," Dia menunduk hormat dihadapan pria berandalan itu.

Hendery tidak menjawab. Dia hanya menyeringai dan sekali lagi melirik Serena.

"Aku ingin wanita ini. Dia yang akan jadi calon pengantinku," tandasnya. 

The Abandoned HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang