Aku tak pernah membenci hujan. Meski ia turun sepanjang hari atau sepanjang minggu. Meski ia harus mengguyurku sekali sehari atau dua kali sehari. Yang aku benci adalah harus pulang di tengah derai air mata angkasa dengan kecepatan kayuh 3km/jam. Berkejaran dengan rintik-rintik yang seakan runtuh. Di atas sepeda tuaku yang karatan, terlalu ringan sehingga dipermainkan jalanan yang rompal, dan remnya yang blong dan sudah tak bisa diperbaiki.
Aku tak pernah membenci hujan yang membuatku basah dan kedinginan. Yang kubenci adalah guyuran kenyataan yang menimpaku bahwa aku hidup sendirian, basah dan kedinginan. Tanpa teman yang mengeringkanku ketika aku basah, menghangatkanku ketika aku menggigil, memberiku makan ketika aku kelaparan, membukakan pintu ketika aku tak punya tempat pulang, dan memberiku pakaian ketika aku telanjang.
Mereka mengaku-ngaku, tapi tak pernah membuktikan. Seperti langit yang mendung tanpa sedikitpun tanda-tanda gerimis. Mereka memarahiku yang selalu berambisi untuk menjadi mandiri. Tetapi akan menolakku dengan alasan yang penting, tidak terlalu penting, maupun yang sama sekali tidak penting. Apakah orang yang ingin menyalin tugasmu lebih penting daripada seorang lain yang meminta tolong karena terkena serangan jantung?
Aku membenci kenyataan, harus berkompetisi di jalan raya dengan sepeda-sepeda motor, mobil-mobil, truk-truk bahkan bus-bus. Dengan kendaraan tanpa mesin, usang, karatan, dan remnya blong. Aku membenci kenyataan bahwa aku takut pada kematian yang berseliweran di bawah roda-roda kendaraan bermesin itu. Apakah jika aku mati terlindas, dan dagingku tercabik-cabik, kalian yang mengaku-ngaku akan tetap mengenaliku? Aku yakin kalian akan memalingkan wajah.
Kutegaskan bahwa aku tak pernah membenci hujan. Yang kubenci adalah tamparan dan bentakan ketika aku pulang dalam keadaan basah kuyup.
"Kenapa kamu tak mau meminta tolong? Apa kamu tak pernah menganggap aku TEMANMU?"
Tetapi kamu membetengi dirimu dengan kata-kata:
"Aku sibuk."
"Aku sekarang punya kekasih."
"Aku tidak ingat."
"Aku lelah."
Dan 'aku'-'aku' lainnya. Serta menutup pintu dengan frasa :
"Sedang hujan."
Tapi itu tak pernah membuatku membenci hujan. Yang aku benci adalah kamu yang terlalu pengecut untuk mengatakan,
"Kenapa kamu tak bisa melakukannya sendiri?"
Prinsipmu yang berubah secepat pelangi memudar sesudah hujan,
"Sahabat lebih penting dari kekasih. Karena kepada mereka aku akan datang ketika kekasihku pergi. Tetapi ketika sahabatku pergi, aku tak bisa pergi kepada kekasihku. Karena ia takkan memahami."
Aku penasaran apakah kau hanya berusaha menghias-hias kata-katamu pada saat itu. Berusaha terlihat bijak, dan tidak mengikuti kelaziman.
Aku tak pernah membenci hujan. Meski ia membuatku ingin menangis tanpa ada yang bisa keluar dari mataku. Meski ia membuatku meratap pada dinding karena tak punya seseorang untuk berbagi.
Meski hujan membasahi pakaianku yang baru saja selesai kucuci. Atau membusukkan akar tanaman anggrek yang kupelihara. Membuat sepedaku yang usang makin usang karena berkarat. Dan membuat usahaku untuk mencuci rambut dan mandi sia-sia. Aku tak pernah membencinya.
Yang kubenci adalah kamu yang terus menerus membuatku mengatakan :
"Ya sudahlah."
Tanpa mau tau betapa sakit rasanya ditolak, dikhianati, dan berhenti berharap akan setiap hal yang ingin kubagi dengan orang lain.
Aku takkan pernah membenci hujan. Karena hanya dalam naungannya bisa kutumpahkan segala kesah. Saat aku tak percaya lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial. Karena basah kuyup dan kedinginan jauh lebih baik daripada harus menangis di bawah gelap, bergelung dalam selimut dan menyumpal mulut dengan apapun yang bisa kutemukan, berharap akan tercekik hingga mati. Hanya hujan, yang sanggup meluruhkan segala kekalutan.
Hanya hujan, yang bisa memahami seorang yang cacat dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya, tanpa memaksanya untuk bicara seperti orang lain. Hanya hujan yang bersedia mengakrabi makianku di jalan raya. Hanya hujan yang mau memahami bahwa aku tak suka jas hujan pengendara sepeda motor yang membuatku tampak konyol di atas kendaraan purbaku. Hanya hujan.
Hanya hujan.
Sungguh-sungguh hanya hujan.
Makanya, aku bersumpah, tak akan pernah membenci hujan.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Tak Pernah Membenci Hujan
Short StoryEpik High – Let It Rain Sawung Jabo & Sirkus Barock – Apa Yang Kutahu Ternyata Semu Naskah ini awalnya kutulis hanya untuk konsumsi pribadi n teman-teman sesama pecinta fiksi di FB. Tapi sejak kenal Wattpad jadi pengen menjajal peruntungan juga di s...