Saya, seseorang yang tidak pernah tau cara membahagiakan dirinya dengan benar.
Bapak saya meninggal ketika usia saya masih 7 tahun, saya punya saudara perempuan 3 tahun dibawah saya dan kakak laki-laki 4 tahun usianya lebih diatas saya.
Ibu saya sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak bapak pergi, dia tak pernah mengeluhkan betapa sulit hidupnya membesarkan 3 orang anaknya. Ibu saya pernah berkata kepada kami bahwa kemampuannya hanya sebatas kami lulus SMA. Tapi betapa bebal diriku meminta untuk lanjut kuliah mengambil gelar sarjana teologi. Kupikir ini gampang, ternyata tahun-tahun yang kulewati begitu sulit..
Banyak kejadian yang mengharuskanku memendam keinginan untuk memenuhi setiap hal yang kubutuhkan dan kuperlukan. Buku yang seharusnya dibeli tapi ku fotokopi atau malah hanya ku minta bentuk software nya saja. Sabun mandi yang harus ku campur dengan air, sampo satu saset bisa tiga hari, pasta gigi yang harus ku potong untuk bisa digunakan sampai benar-benar habis. Aku tidak begitu perduli dengan kondisi wajahku yang penuh dengan noda jerawat, kupikir itu hal yang lebih tidak berguna jika uang yang ku miliki dipakai untuk membeli skincare. Aku mengambil jurusan Teologi, ada jadwal pelayanan mimbar yang harus ku penuhi.. ketika aku tak memiliki dresscode yang sesuai maka keputusan yang dapat ku ambil adalah meminjam milik orang lain, aku harus menahan sakit ketika orang katakan "bukannya itu baju si ..... dsb"
Tahun terakhir kuliahku dilewati dengan begitu banyak air mata mengingat adikku juga sudah lulus SMA. Dia begitu dewasa, bahkan lebih dari pada aku kakaknya. Malu pasti tentu itu, tapi mau bagaimana lagi, tempatku menuntut ilmu mengharuskan ku untuk menetap di asrama. Jadi, tidak ada kesempatanku untuk bekerja. Setiap bulan kami harus berbagi jatah uang bulanan, aku sadar beban ibuku di usianya yang ke-50 ini sangatlah berat, aku seperti anak yang egois di depannya. Akhir tahun 2022 ini begitu berat, ujian komprehensif harus membayar begitu pula dengan ujian proposal.. pada saat itu aku berharap kedua fase ujian bisa lulus tanpa harus mengulang, jika mengulang maka aku harus membayar dua kali.. dari mana ku dapatkan uangnya, sedangkan uang yang ku gunakan saat itu adalah uang sabun bulananku. Oh Tuhannn berat rasanya harus bisa membagi-bagi agar cukup, aku menyesal tidak rajin menabung, tapi apa mau dikata tidak ada uang juga yang akan dimasukkan ke dalam celengan. Tapi kembali dilambungkan dengan rasa syukur atas nilai terbaik yang kuperoleh hasil ujian tersebut, aku tak perlu mengulang bahkan tak perlu mencari masalah penelitian lainnya.
Awal desember terasa begitu berat, aku merasa awkard diantara teman-temanku yang berkecukupan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk membeli baju natal, aku memahami kondisi ku yang berkekurangan ini. tapi, namanya juga manusia.. aku merasa iri kepada teman-temanku yang tak perlu memikirkan bagaimana harus membagi uangnya demi membayar uang pembimbingan skripsi. Mereka bisa dengan mudah mencek-out pernak-pernik penghias tubuh demi menyambut hari natal besok. Sekali lagi kutekan perasaan cemburuku, aku ingat ibuku kakak laki-laki ku belum tentu mereka makan enak hari ini.
Begitu keras kudengar tawa di sebelah kamar tidurku, teman-temanku membincangkan seputar warna dress atau ukuran baju mereka. Aku langsung berubah menjadi tuli, ku sumbat telingaku dengan bantal di Kasur membuang jauh-jauh rasa iri hati. Aku hanya berpikir bagaimana caranya nanti libur natal pulang tanpa harus keluar biaya besar serta bagaimana bisa memulai pembimbingan dengan dp uang 100k dulu. Tuhan, aku bahkan lupa terkahir kali membeli baju bagus untuk diriku sendiri. Sekelebat ku ingat daster ibuku yang sudah robek pada bagian punggungya bahkan ada yang sudah ditambal dan berubah warna. Apa pantas masih ku pertanyakan untuk meminta uangnya demi baju baru atau demi membayar uang pembimbingan skripsi.
Rasa iri begitu mendominasi pikiran dan hatiku, saldo rekening yang tak dapat ditarik mengingat sudah tidak ada uangnya.. lucu sekali diriku ini. uang yang tersisa di dompet hanya 10k kugunakan dengan sebaik mungkin membeli pasta gigi dan pembalut berukuran kecil serta berharap ada kembalian untukku membeli sambal lauk makan di hari sabtu dan minggu.
Tuhan, aku hanya memohon masa depan yang cerah.. tidak muluk-muluk hanya rumah minimalis dengan bangunan permanen bukan seperti rumah kami yang hanya terdiri dari papan lapuk. Aku hanya berharap suatu hari nanti bisa menopang kehidupan ibuku, memberikan yang terbaik untuk ibu dan menolong kedua saudaraku ketika mereka kesulitan.