[ PROLOG ]

27 2 0
                                    

Happy Reading
✁┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

"Pak, mau coba 1 dong," setelah memperhatikan beberapa orang bermain bowling, aku akhirnya tertarik untuk mencobanya. Seorang bapak yang kuajak bicara, agaknya ia adalah penjaga tempat ini, menggerakkan jemarinya, menyuruhku untuk mendekat. Aku menurut.

"Ck, mahal, Neng. Masa 3 doang lima puluh ribu" tuturnya dengan nada menghasut, seolah ia tak mau aku menjadi korban manusia buang-buang uang untuk sekedar main bowling.

Aku mengangkat alis, tidak percaya. Beliau ini, bukannya senang banyak yang tertarik dengan permainannya, beliau justru sebaliknya. Setelah beberapa detik kebingungan, bapak tadi tampak mengangguk, meyakinkanku sekali lagi.

"Aih, iya ya, Pak, mahal ... Yaudah deh, nggak jadi, Pak" tuturku, sembari tersenyum. Aku berjalan ke luar, berniat pergi cari tempat lain untuk sekedar melepas penat setelah menyelesaikan ujian tulis.

Sampai pada tempat dimana sepatu diletakkan sebelum masuk tempat ini, pandanganku mengarah pada seseorang yang tengah duduk di sofa panjang yang biasanya digunakan untuk melepas sepatu. Kulihat ia tersenyum ke arahku, namun aku masih berusaha untuk tidak langsung merespon senyumannya, walaupun sebetulnya aku sangat ingin.

Itu, Huda. Mahasiswa jurusan ekonomi, sekaligus seseorang yang pernah menjadi manusia favoritku semasa SMA-hingga kini. Lama sekali aku tidak melihatnya, tapi, kenapa dia bisa tiba-tiba ada di sini?

"Wah, males banget gue ketemu Huda" tuturku, penuh kebohongan dan sedikit senyuman kecil. Aku dan dia memang tak pernah mengatakan hal-hal manis jika bertemu langsung, kecuali di ruang chat.

Dia tidak merespon apapun, jadi aku langsung berbalik untuk mengambil sepatu, lantas memakainya di tempat tanpa berbalik lagi menghadap ke belakang.

Kulihat di luar tampak gerimis, tapi tidak begitu deras. Tidak apa sebetulnya, aku sudah terbiasa hujan-hujanan. Setelah semua sepatuku terpasang rapih, tanpa melihat ke arah Huda, aku beranjak menuju pintu keluar. Namun ketika pintu itu hendak aku dorong ke luar, Huda merentangkan tangan kirinya tepat di depanku.

Aku menoleh, menatapnya. Laki-laki itu tersenyum ke arahku, ia terlihat manis sekali. Senyumnya bahkan terlihat lebih indah dari senyumnya saat masa SMA dulu.

"Urang anter sampe depan ya" ucapnya, tiba-tiba.

*Urang=saya.

Eh? Tumben sekali dia bersedia begini. Padahal dulu, anak ini sangat cuek dan lebih banyak bertingkah menyebalkan padaku. Dia dahulu bahkan tidak pernah mengajakku pulang bersama. Wajar sih sebetulnya, arah pulang kita berbeda.

Aku mengalihkan pandangan, tak menghiraukan ucapannya barusan. Begitu netraku beralih, satu hal langsung menarik perhatianku. "Huda? Kok kamu pake celana SMA?"

Itu benar, detik ini ia memakai bawahan abu panjang, namun ia tidak menggunakan atasan putihnya. Huda memakai atasan jas hitam, beserta dasi yang serasi dengan jasnya. Aku mengerutkan kening, sementara yang ditanya hanya tersenyum, kemudian melangkah ke luar.

Aku menyusul di belakangnya, namun detik berikutnya aku berjalan di sisinya.


Huda masih saja tampak begitu menawan, kendati aku hanya memperhatikannya lewat satu sisi. Salah satu kebiasaan favoritku sejak lama, yang baru bisa kulakukan lagi saat ini.

Sedikit tentang Huda, anak itu familiar disebut dengan laki-laki yang humble namun tidak mudah didekati sejak dulu, bahkan hingga detik ini. Bio whatsapp nya bahkan menolak untuk vc dan telpon. Jika terdengar tidak masuk akal, coba telaah lebih jauh lagi.

Kami melewati beberapa sekumpulan perempuan. Mereka memperhatikan kami, kemudian berbisik entah membicarakan apa. Kulihat Huda tampak tak peduli, ia hanya terus berjalan ke depan tanpa menoleh kesana kemari sembari tersenyum.

Aku bingung, mengapa anak ini seolah bangga sekali berjalan berdua denganku dibawah rintik hujan melewati beberapa perempuan tadi. Dia bahkan tidak ragu untuk mendekatkan tubuhnya dengan tubuhku ketika melewati para perempuan tadi, seolah sengaja membuat mereka kesal, atau membuatku semakin kepedean. Sial.

Akhirnya, kami sampai di penghujung jalan, dan agaknya kami telah berjalan cukup jauh karena pakaian kami tampak basah. Aku mengenakan kerudung, jadi porsi basahnya pakaianku lebih sedikit dibandingkan dengannya. Dia basah kuyup, dari kepala hingga sepatu.

Aku memperhatikannya sekali lagi, anak itu masih saja tersenyum ke arahku. Saat ini yang ada di kepalaku hanyalah kekhawatiran, khawatir anak itu kedinginan, namun aku tidak punya sesuatu yang dapat kuberikan padanya sebagai penghangat.

Kita harus berpisah, lagi. Senyumnya yang tak pudar sejak tadi seolah menjadi salam 'sampai nanti' untukku sebagai bekal perjalanan menujunya lagi suatu hari nanti.

Huda, bahkan sampai detik ini pun, rasanya aku masih jatuh hati padamu. Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi, lebih lama lagi. Aku masih sepenuhnya peduli padamu. Aku masih penasaran bagaimana hari-harimu setelah masa SMA.

Huda, aku ingin secara bebas berbicara apapun padamu, namun aku masih takut jika harus bicara tentang perasaanku. Aku juga ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapku, Da? Aku ingin sekali bicara begitu, namun aku tidak pernah siap untuk mendengar jawabanmu.

Huda, diantara rintik yang mengguyur kau dan aku di tempat ini, rinduku untukmu selalu terselip diantaranya.

Mataku terbuka tanpa tergesa, seolah aku baru saja bangun dari kedipan. Semuanya berubah, dan aku menyadari segalanya dengan penuh ketenangan. Langit-langit kamar, adalah apa yang aku lihat detik ini.

Mimpi. Tadi itu mimpi.

Sebuah mimpi yang begitu melekat erat tanpa sedikitpun terlupa, bahkan saat duniaku berpindah dari alam bawah sadar menuju alam sadarku sepenuhnya.

Aku masih terdiam, lalu mengerjap beberapa saat.

Jika memang semua ini hanya mimpi, mengapa rasanya begitu nyata hingga aku tak bisa lupa?

✁┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Aku tidak ingin mengecapmu sebagai cinta pertamaku, sebab banyak kisah dari cinta pertama yang gagal, tidak bisa bersatu.

Namun aku bisa apa? Hatiku memang pertama kali jatuh padamu saat itu, saat kulihat kamu begitu indah dengan pemikiran di kepalamu.

Legenda dari Korea bahkan menyebut pertumbuhan gigi geraham yang sakit itu, adalah pertumbuhan cinta pertama, sebab tumbuh di waktu yang sama saat jatuh cinta pertama kalinya, alias masa remaja, dan sakitnya sama seperti kisah cinta pertama.

Kisah ini bagiku hanyalah sebuah bagian dari buku perjalananku. Tak bisa kukatakan bahwa semuanya berisi rasa sakit, sebab bersamanya adalah suatu bentuk bahagiaku.

I'll read the pages, start from the first one. So listen carefully, don't go everywhere.

I promise its never make you crying until the end. Hehe.

Hehehehehheeh.

⋱⋰ ⋱⋰ ⋱⋰ ⋱⋰ ⋱⋰ ⋱⋰ ⋱⋰

Baythewayy, semua bentuk dukungan dari kalian adalah sebuah penyemangat bagiku. Jangan ragu untuk vote, komen, dan follow aku ya!

Kamu mau ss juga tidak apa, jikalau berkenan, kamu boleh tag ig ku juga! It's @keiallears 🪐

Nice to know you, all!

ONE-SIDE, by K.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang