Di Dadaku Ada Cinta
Namaku Moza. Saat itu aku masih sangat kecil. Seusia anak kelas 2 SD. Aku sungguh tak tahu apa cita-cita orang tuaku sampai aku dijodohkan diumur semuda itu. Aku yang saat itu sudah memahami arti perjodohan pun tak dapat berkata apapun. Apalah dayaku. Menolak pun aku tak kuasa. Bagaimana perasaanku pun tak pernah orang tuaku tanyakan padaku sebelum memutuskan untuk menjodohkanku.
Terlepas dari itu, aku masih percaya dan yakin kalau pilihan merekalah yang terbaik untukku. Maka dari itu, aku menerima perjodohan itu meski apa arti cinta pun aku belum memahaminya. Yang aku tahu cuma satu, siapa lelaki yang dijodohkan denganku dan seperti apa keluarganya.
Namanya Rangga. Lelaki berumur 8 tahun lebih tua dariku. Tak tahu mengapa dia mau saja dijodohkan orang tuanya denganku.
Yang jelas aku selalu lari kalau bertemu dengan Rangga- lelaki yang dijodohkan denganku. Meskipun bertemunya tidak disengaja.
Aku selalu merasa sangat malu bertemu dengannya. Bagaimana tidak, semua orang tahu tentang perjodohan itu."Hei, Moza!" panggil Rangga saat aku sedang asyik duduk di teras depan kelas bermain bola bekel bersama teman-temanku. Aku tak tahu apa alasan dia memanggilku. Aku rasa dia memanggilku karena iseng saja. Karena sepertinya dia cuma mau lewat depan sekolahku, bukan berniat menemuiku.
Mendengar panggilannya aku sontak menoleh ke arahnya. Dia menarik kedua ujung bibirnya. Bagiku tetap saja, senyum manisnya terasa selalu kecut di mataku. Aku berdiri lalu lari ke belakang sekolah menghindari Rangga.
Kalau boleh jujur, aku tak suka hubungan ini. Di setiap hari penting seperti lebaran atau hari spesial lainnya aku harus ke rumah Rangga mengantarkan makanan. Dan mau tidak mau aku harus bertemu dengan Rangga. Begitulah budayaku. Bukan salah budaya, aku saja yang belum bisa menyesuaikan diri dengan budaya yang satu itu.
***
Aku tahu, Rangga pun punya kehidupannya sendiri. Dia punya banyak teman. Sempat mengenyam pendidikan pula. Dan dunianya bebas tanpa kekangan. Bagaimana tidak, aku sempat mendengar kabar kalau dia menjalin sebuah hubungan istimewa dengan wanita lain. Dan aku? Bisa apa? Masih tetap bungkam. Aku sudah persis patung bernyawa. Yang aku lakukan hanya pura-pura tidak mendengar kabar burung itu. Ya, anggap saja kabar pengkhianatan Rangga itu sebuah kabar burung belaka. Bisa saja aku jadikan pengkhianatan Rangga sebagai alasan untuk memutuskan hubunganku dengan Rangga. Namun enggan aku lakukan. Aku masih memikirkan orang tuaku. Aku tak mau orang tuaku menanggung malu karena aku.
Orang tuaku sangat baik. Meskipun aku telah dijodohkan, pendidikan aku tidak dihentikan. Aku terus melanjutkan pendidikan sampai jenjang SMA. Aku dikirim ke sebuah pondok pesantren besar di pulau Jawa. Aku mengenyam pendidikan di sana.
Dan sebagai gadis normal, aku juga bisa merasakan yang namanya jatuh cinta. Namun bukan pada calon suamiku sendiri. Saat itu mbak Putri mengajakku keluar pondok. Dia ingin kutemani membeli buku. Buku bacaan yang ingin dia baca saat senggang dan bosan.
Di toko buku itu tak sengaja aku melihat seorang lelaki. Wajahnya sangat tampan. Pakaian yang dia kenakan sangat cocok dan membuatku terpukau. Dia terlihat seorang lelaki yang baik dan alim. Tutur katanya pun membuatku terpaku.
"Maaf, Mbak. Silakan bukunya," begitu katanya sambil menyodorkan sebuah buku islam padaku.
Lamunanku buyar berantakan saat mendengar dia mengajakku bicara. Dia meminta maaf padaku karena tidak sengaja kita memegang buku yang sama. Dan dia mengalah padaku.
"Mbak, bukunya," ucapnya lagi saat aku masih kehilangan kata-kata. Beberapa detik kemudian aku bisa menyatu dengan ragaku."Eh, iya. Terimakasih, Mas," jawabku sekenanya. Dia melemparkan senyum padaku. Satu senyum yang sangat manis dan berhasil meluluhkan bekunya hatiku.
Sejak saat itu aku sadar kalau aku sedang jatuh cinta pada pandangan pertama padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpenku
Short StoryBerisi kumpulan cerpen. Di Dadaku Ada Cinta (Buku Aksara Mencari Makna)