1

34 4 1
                                    

"Apakah kalian akan membiarkan Anna menderita seperti itu? "

"Tentu saja tidak! "

"Lalu apa yang harus kita lakukan? "

"Kita cari penggantinya, bukankah mereka mirip? "

"Maksud mu Dia? "

"Ya"

Hujan disertai dengan petir seakan mengerti dan menangisi hidup gadis itu. Menyamarkan jeritan dan teriakannya yang pilu.

"Hiks tolong jangan!---berhenti hiks.... Hentikan tolong" tangisan pilu gadis itu seakan menjadi melodi indah bagi orang orang itu. Mereka dengan tega melecehkan seorang gadis yang mungkin saja tidak bersalah. Gadis itu harus menanggung kesalahan dari orang yang menjadi penyebab kehancuran hidupnya. Harta yang selama ini selalu dia jaga kini direnggut paksa oleh orang-orang bejat itu. Mereka tertawa bahagia diatas penderitaan gadis tersebut.

Disisi lain seorang pemuda terlihat sedang duduk di ruang tamu sambil menghisap sebuah rokok dia mendengar semua jeritan, tangisan, serta permohonan dari gadis itu serta tawa dari teman-temannya. Wajahnya masih datar dan tidak peduli tapi tangan kirinya mencengkram gelas hingga pecah dan melukai tangannya. Darah yang menetes seakan menjadi bukti jika sebenarnya masih ada setitik kasih sayang yang tersimpan di hatinya.

"Pembawa sial! Seharusnya dirimu yang mati! " umpat seorang lelaki muda pada gadis kecil yang menangis tertunduk sambil memeluk boneka yang sudah usang.

"Jangan panggil aku dengan panggilan itu karena aku tidak sudi memiliki anak seperti dirimu! " ucap pria itu dingin sambil menginjak sebuah kotak hadiah pemberian gadis kecil itu.

Peristiwa berganti, gadis itu terlihat sangat bahagia. Dia memiliki senyum yang sangat cerah. Rok kuning angsanya terlihat berkibar karena tertiup angin. Dia berlari di ladang bunga yang sangat luas. Langit yang awalnya sangat bersih kini tiba-tiba diselimuti awan gelap.

Gadis itu kini berbalik dan menatap mereka dengan sendu, tidak ada lagi senyum di netra yang teduh itu.

"Aku sudah menyerah, maafkan aku karena telah hadir dalam hidup kalian. Kalian benar, seharusnya aku tidak pernah ada. Selamat tinggal, aku akan selalu menyayangi kalian."

Bayangan gadis itu menghilang tertelan gelapnya malam. Mereka hanya bisa diam tepaku, tanpa sadar air mata jatuh di pipi mereka.

Disebuah ruang kantor yang terlihat mewah dengan nuansa hitam yang elegan . Di balik meja panjang itu duduk seorang lelaki yang sedang memejamkan kedua matanya. Dahinya terlihat mengernyit dan keringat dingin menghiasi wajah tampannya yang pucat. Dia seperti sedang menggumamkan sebuah nama.

"Cherry!.... "

Dia terlihat terengah-engah dan tangannya bergetar, kesadarannya belum terkumpul sempurna. Dia melihat lingkungan disekitarnya dan terkejut.

"Aku masih hidup? " tanyanya pada dirinya sendiri.

Dia merasa aneh harusnya dia sudah mati, dia yakin peluru itu benar benar menembus dadanya bahkan dia masih ingat dengan jelas ketika orang orang itu tertawa atas kematiannya. Tidak! Tidak semua orang, ada sosok gadis mungil yang menangis tersendu di sudut ruangan itu dengan kondisi tubuh yang mungkin lebih mengenaskan dari dirinya dengan  banyak lebam dan noda darah di sekujur tubuhnya.

Dia melirik kalender yang terpajang diatas meja kerjanya Musim dingin, 13 Desember XXXX. Matanya menatap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia kembali, dia tidak mati. Semuanya belum terlambat, putrinya saat ini masih hidup.

Tanpa memakai jas luarnya dia mengambil kunci mobil dan berlari tanpa memperdulikan panggilan dari sekretaris dan tatapan heran dari pegawai. Mereka bertanya-tanya apa yang menyebabkan bos mereka yang dikenal dingin itu bisa kehilangan ketenangannya.

Sampai di Mansion, dia masuk dan mengabaikan seluruh sapaan dari pelayan. Tujuannya hanya satu yaitu ruangan diujung koridor.

"Dimana kuncinya?! " tanyanya dengan dingin pada kepala pelayan yang mengikutinya. Membuat pelayan itu sedikit terkejut dengan sikap Tuan yang dari kecil dia layani.

"Anda telah membuang kunci itu, Tuan." jawab Pelayan.

"Apakah tidak ada cadangan lain?! " tanyanya dengan gusar.

"Tidak ada Tuan" jawab pelayan itu dengan tenang.

"Ck! " decih pria itu dan tanpa aba-aba dia mendobrak pintu secara paksa padahal dia bisa memerintahkan penjaga untuk melakukan itu.

Pemandangan di hadapannya membuat pria itu menatap nanar, tanpa sadar setitik air mata jatuh di pipinya namun tidak terlihat karena gelapnya ruangan tersebut. Cahaya hanya mengenai sesosok anak kecil yang meringkuk dengan tubuh penuh dengan  luka berdarah yang sudah mengering. Wajah anak itu terlihat sangat pucat.

Pria itu melangkah maju dan menggendong sosok ringkih anak itu dengan sangat lembut, membuat kepala pelayan menatap tidak percaya.

"Panggil Josen, katakan padanya untuk datang dalam waktu 10 menit. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya" perintah pria itu dengan dingin. Meninggalkan kepala pelayan yang masih berusaha mencerna peristiwa yang dilihatnya.

Didalam kamar dengan nuansa abu-abu itu Antonio menatap putri kecilnya yang terbaring lemah diatas tempat tidur. Dia mengusap wajah pucat itu dengan lembut, bibirnya tidak berhenti mengucap kata maaf.

Tidak lama kemudian pintu diketuk dan muncullah seorang lelaki dengan jas putih. Dia berjalan tergesa menghampiri Antonio.

"Sialan!Bisakah kau tidak seenaknya saat memanggil?! Kau tahu bagaimana tangan kananmu  mengendari mobil? Rasanya ingin mengajakku mati saja! " keluh lelaki itu kesal.

"Diam dan cepat periksa putriku! " perintah Antonio tanpa mendengarkan keluhan teman yang merangkap menjadi dokter keluarganya.

"Brengsek apa yang kau lakukan pada anakmu?! Kau menyiksanya?! " teriak pria itu tidak percaya.

"Sebelum aku potong lidahmu itu sebaiknya kau diam dan segera obati putriku! " ucap Antonio dengan tatapan mata dingin.

Karena tahu teman sekaligus bosnya ini tidak pernah main-main dengan ucapannya dia dengan cekatan mengobati luka ditubuh anak kecil itu. Dia meringis ketika membayangkan rasa sakit yang harus diderita gadis sekecil ini. Temannya ini benar-benar sudah tidak waras.

"Aku sudah membersihkan lukanya dan memberikan obat anti inflamasi. Sepertinya nanti dia akan demam dan untuk jaga jaga sebaiknya kau bawa kerumah sakit untuk mengecek kondisi tubuh dalamnya" ucap Jovan sambil menyelesaikan balutan perban.

"Hmm... " sahut Antonio , dia duduk di tepi kasur sambil menggenggam tangan mungil putrinya.

"Aku tahu kau sangat kehilangan istrimu tapi aku harap kau juga tidak lupa jika dia adalah darah dagingmu sendiri" ucap Jovan lalu pergi meninggalkan ruangan itu dalam keheningan.

"Aku tahu dan untungnya aku diberi kesempatan itu" lirihnya sambil mengecup kening putrinya dengan lembut.

Next...

Tyrant's Daddy Who Spoils His DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang