Mataku sudah benar-benar melek ketika akhirnya kuamati wajah satu per satu di ruang tengah. Ternyata ada uwak, Kak Ramzi, Oom Heru dan Pak Halim kolega ayah di universitas. Jadi, mereka itulah yang diminta ayah untuk saksi pernikahanku.
Aku masih tidak percaya kalau semua ini terjadi padaku. Dalam kurun waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam, aku melewati serangkaian proses yang sama sekali tidak masuk akal. Di”tembak’, dilamar, dinikahi. Aku tidak bisa lagi menilai mana yang lebih aneh dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan, Karel atau ayah ibu. Bukannya aku tidak senang aku sudah berubah status menjadi istri Karel tapi rasanya rasa malu, gengsi dan tersinggung karena merasa dilewati begitu saja dalam semua proses ini menjadikanku kehilangan rasa senang itu. Aku lebih ke arah mati rasa.
Semua tamu sudah pulang ketika kemudian beberapa kali ponselku bordering. Kakak-kakakku yang memberi ucapan selamat dan do’a-doa. Mereka pasti tahu dari ibu. Kak Ala salah satu yang paling kelihatan heboh. Seminggu yang lalu ketika aku menginap di rumahnya, sama sekali tidak ada pembicaraan sama sekali mengenai hal ini.
“Kamu harus cerita panjang lebar sama kakak begitu sampai Jawa nanti ya…kakak nggak puas cuma dengar cerita dari ibu.” Ujar kak Aya menutup pembicaraan. Aku mengeluh dalam hati. Apanya yang mau diceritakan. Semuanya juga begitu tiba-tiba buat aku.
Ibu mengantarkan Karel ke kamar ketika aku masih tercenung paska telepon kak Aya barusan. Kulihat Karel masuk sambil membawa tas punggungnya. Dia nyengir lebar di belakang ibu. Kualihkan mataku dari melihatnya. Aku masih bingung mensikapinya. Beberapa waktu lalu dia memang berhasil memaksaku mencium tangannya di hadapan para tamu. Sekedar menepati kesopanan, karena mereka semua tentu tidak menyangka semua ini masih begitu mengejutkan buat aku. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang merasakan keanehan ini. Bagaimana mungkin pengantin perempuannya keluar dari kamar paska akad hanya dengan menggenakan kulot panjang, kaos latsar yang sudah mulai pudar warnanya serta jilbab butut yang tetap aku pakai karena sensasi rasa nyamannya.
“Hai…”sapanya ketika ibu sudah berlalu sambil menutup pintu.
“Hai juga.”jawabku datar. Karel duduk di sampingku di ujung tempat tidur. Dia melihat ke arahku ketika mendengar jawaban datarku.
“Kamu...marah ya dengan semua ini..?”tanyanya pelan. Kali ini lebih serius dan bukan seperti Karel yang tadi cengar-cengir di pintu. Aku menggeleng.
“Aku nggak tahu apa nama perasaannya tapi aku masih merasa nggak nyaman aja. Terlalu mendadak melewati semuanya. “jawabku sambil menghela nafas panjang. Benar-benar merasakan ketidaknyamanan itu. Aku tidak tahu apa pendapat kakek kalau beliau masih bisa menyaksikan semua ini. Dua cucu dengan nama belakang yang sama, terikat dalam satu pernikahan. Atau jangan-jangan beliau juga merasa bahagia seperti ayah dan ibu?
“Emh..aku minta maaf kalau kamu jadi merasa nggak nyaman. Emh..aku…menawarkan pacaran pasca nikah dulu aja kalau kamu masih merasa nggak nyaman jadi istri aku..”ucapnya pelan sambil menghadap ke arahku. Tawaran macam apa itu. Pacaran setelah Menikah. Jadi ingat salah satu buku yang pernah kulihat judulnya, atau jangan-jangan buku itu memang mengajarkan model penikahan yang seperti ini pada Karel ya?
“Ya…aku terima tawaranmu.”jawabku setelah beberapa saat berpikir. Mungkin pacaran paska nikahku ini akan membuatku jadi nyaman menjalaninya. Aku bahkan rasanya masih tidak mengerti jalan pikiran ayah. Ayah pasti tidak lupa kalau jarak Semarang dan Yogya itu cukup jauh, meski sama-sama Jawa. Bagaimana ayah bisa berpikir bahwa beliau dan ibu akan merasa lebih tenang karena Karel akan menjagaku di Jawa sana sebagai alasan menikahkanku hari ini.
“Tapi, aku tetap boleh memeluk dan menciummu kan?” tanyanya lagi sudah mulai kumat tengilnya. Tanpa menunggu jawabanku, Karel sudah melingkarkan kedua tangannya ke kedua bahuku dan mencium lembut ubun-ubunku. Aku merakan debaran di jantungku yang tidak biasa dan aku juga mendengar detak di dadanya ketika Karel menempelkan kepalaku ke sana. Aku bisa merasakan Karel mengucapkan doa di atas kepalaku. Aku tidak menolak pelukannya, bagaimanapun dia berhak.
***
Karel
Aku bersyukur ketika Brina tidak menolak pelukanku. Aku juga sempat melafalkan doa untuk pengantinku. Baru saja aku menawarkan untuk mengawali pernikahan kami dengan pacaran paska nikah. Bukan berarti aku masih bisa menahan diri lebih lama untuk memperoleh hakku sebagai suami yang sah baginya, tapi aku memikirkan perasaannya. Brina kelihatan benar-benar shock dengan pernikahan kami pagi ini. Aku bahkan masih bisa merekonstruksi bentuk wajahnya yang amat lucu ketika dia tahu aku ada di ruang tengah rumahnya pagi tadi dan semakin bertambah lucu ketika dia tahu bahwa aku baru saja mengucapkan akad nikah di depan ayahnya, sekaligus Omku.
Aku juga sangat bersyukur karena baik ayah ibuku maupun ayah ibunya Brina mendukungku seratus persen dalam prosesku menikahi Brina. Ibuku bahkan rela tidak menyaksikan akad nikah anak satu-satunya karena menganggap bahwa ini jalan yang paling baik. Keputusan itu aku peroleh tadi pagi seusai tante memastikan pengakuan Brina. Beliau menyampaikan hal itu pada oom dan aku ba’da subuh.
Kurasakan Brina bergerak dalam pelukanku. Melepaskan diri.
“Panas...”keluhnya pelan. Palembang memang jauh lebih panas dari kampungku di Temanggung sana. Tapi aku juga sempat terpikir konotasi panas dalam arti yang berbeda. Aku melepaskan pelukanku. Brina beranjak menuju jendela dan membukanya.
“Oh ya panas ya. Aku juga kepanasan di sini. Mungkin karena di sini dekat pantai ya? beda dengan di Temanggung sana. Eh, kamu mau nggak menemani aku pacaran ke pantai mana gitu...kamu lebih tahu tempat yang kira-kira asyik buat pacaran di sini kan?”tanyaku padanya. Wajahnya kelihatan memerah dan bibirnya mengerucut. Lucu dan menggemaskan melihatnya manyun seperti itu. Tapi dia tidak menunjukkan penolakan dan itu membuatku tambah semangat menggodanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepupu Cinta
Любовные романыTidak mudah bagi Shabrina untuk menerima Karel sebagai suami. Nama belakang mereka yang sama karena memang mereka sepupu menjadikan Brina enggan mengakui apa yang ada di hatinya.