Sore itu, hujan turun cukup deras, membasahi bumi dan seisinya. Seakan tahu jika Nadia, gadis yang duduk termenung dibalkon kamarnya itu memiliki suasana hati mendung. Persis seperti cuaca sore itu yang mengatakan bahwa semesta turut akan perasaan yang dirasakan gadis itu.
Hujan, ya? Satu hal yang Nadia benci. Dulu, karena sekarang gadis itu selalu menunggu hujan turun. Karena dengan begitu, rindu yang terpendam sejak hari itu, sedikit tersamarkan jika hujan turun. Setidaknya, Nadia tidak perlu merasakan sesak luar biasa.
Seminggu yang lalu, orang terkasihnya berpulang. Aksara, lelaki penyuka hujan yang lebih memilih berpulang pada Sang Pencipta. Lelaki lemah lembut yang pernah Nadia temui disepanjang hidupnya. Lelaki yang tidak pernah marah jika Nadia berbuat salah. Nadia begitu menyayanginya. Namun sayangnya, Tuhan lebih menyayangi lelaki menyuka hujan itu.
"Hujan itu indah, tapi kenapa, ya, orang-orang nggak suka? Padahal keren, tau. Kayak, kamu pernah mikir, nggak, sih? Tuhan itu indah banget bisa ciptain hujan."
Nadia masih ingat kalimat itu. Kalimat yang diucapkan Aksara dibawah turunnya hujan. Kalimat yang pertama kali membawa gadis itu bermain air hujan, bersama Aksara.
"Iya, indah. Kayak kamu, Sa."
Gadis itu tersenyum kecut. Kalimat melembur begitu saja tanpa ada jawaban. Selalu, ia akan berbicara tanpa arah ketika dirinya merindukan lelaki itu. Ia akan duduk termenung dibalkon kamarnya begitu lama ketika hujan turun. Berharap bahwa detik itu, Aksara ada disampingnya. Berkata bahwa lelaki itu akan selalu ada untuknya.
"Nad, mau tau nggak apa keingin aku?"
Masih dibawah turunnya hujan, Lelaki itu bertanya. Nadia yang lebih rendah dari Aksara pun mendongak. Menemukan kuyupnya wajah lelaki itu. Yang meski begitu, Aksara tetap memancarkan sinarnya.
"Apa?"
"Main air hujan sama kamu sampe tua, hehe. Lucu nggak, sih? Nanti kita main air hujan sama keluarga kecil kita. Aku nggak bisa bayangin lucu nya anak-anak kita nanti pas main air hujan."
***
Saat itu Nadia hanya tertawa. Ia menganggap bahwa kalimat yang dilontarkan Aksara adalah suatu hal yang konyol. Karena dari banyaknya hari yang mereka lewati bersama, Aksara selalu berkata demikian. Nadia yang selalu menanggapi dengan tawa, sekarang ia menyesalinya. Jika waktu bisa diputar kembali, Nadia ingin menganggap kalimat yang Aksara lontarkan dengan serius. Kemudian mengabulkannya seperti yang diinginkan lelaki itu."Kamu bohong, Sa. Padahal kamu sendiri yang janji, tapi kamu sendiri juga yang ingkarin. Kamu lebih milih nyerah dan ninggalin aku dengan janji kamu."
Nadia terisak pelan. Gadis itu hanya bisa berucap tanpa bisa mewujudkan. Nadia hanya bisa menyesali tanpa bisa memperbaiki. Karena Nadia sadar, jika semua yang pergi tidak bisa datang kembali.
"Seandainya hari itu aku nggak egois, apa kamu nggak bakal ninggalin aku, Sa?"
"Setelah kepergian mu, kini aku membenci hujan."
Banyak kata seandainya yang hanya bisa diucapkan tanpa bisa diwujudkan. Garis takdir yang sudah membentang, tidak bisa dikalahkan sekeras apapun. Mereka yang datang, memang sudah seharusnya pergi. Jika pertemuan adalah awal dari perpisahan, maka perpisahan adalah akhir dari pertemuan. Namun pada akhirnya, kematian adalah perpisahan yang paling bijak. Orang-orang yang memilih berpulang pada Sang Pencipta, merasa sudah selesai bertugas didunia. Dengan begitu, akhir baik atau buruk, percayalah akan selalu ada pelajaran baik disetiap kematian seseorang.
YOU ARE READING
Hujan
RandomPeople come and go. Sebuah pepatah yang mengatakan benar adanya. Orang yang datang akan selalu pergi. Pertemuan singkat yang membawa mereka pada satu perpisahan. Pada dasarnya, mereka yang datang bukan berarti akan terus menetap. Karena sebuah perte...