Tanpa judul bagian 1

55 1 0
                                    

"Nama saya Sibewa..." kalimatnya langsung disambut dengan tawa kami, penghuni kelas IB. Untung saja Bu Ida—-wali kelas kami, segera menenangkan kegaduhan yang seperti pasar itu.

            "Kamu yakin namamu bukan Belewah? Minta di panggil apa nih? Kamu dari Papua ya?" Faris mengumpulkan tawa kami kembali.

            Bu Ida semakin geram hingga langsung menyuruh Sibe duduk di bangku paling depan di deretan kami, tanpa melanjutkan perkenalan. Dia duduk sendiri. Bangku itu sengaja disiapkan untuknya. Sejak itulah jumlah bangku di deretan kami yang paling banyak.

            Hari itu adalah awal perkenalan kami dengan Sibe. Aku masih ingat bagaimana ekspresinya saat ditertawakan sepanjang hari itu. Dia tersenyum. Bukan senyum getir karna terpaksa. Tidak. Senyumnya seakan mengiyakan keanehannya.

            Sibe, cowok ceking yang tampak seperti pasien cacingan itu berkulit coklat gosong, rambut berombak, dan tinggi sekitar 150 cm. Dia bukan cowok cakep yang bisa jadi perhatian para cewek. Kami kaum hawa yang sudah mendengar akan kedatangan murid baru di kelas, sangat kecewa karna Sibe ternyata nggak sekeren khayalan kami. Oh ya, dia baru pindah dari Surabaya, tapi kedua orangtuanya bukan orang jawa. Cuma itu yang dijelaskannya. Kami pun lupa menanyakan dia berasal dari pulau mana. Irian jaya, Maluku, Sulawesi? Oh, tidak. Kami tidak bisa memastikannya karna dia bicara dengan aksen yang sama seperti kami. Apalagi, dia bukan cowok cakep yang layak diketahui asal-usulnya. Sibe sama sekali nggak menarik kalau dilihat dari wajah dan penampilannya. Jadi percuma juga kalian melototin tampangnya. Dia cuma cowok biasa. Tapi setelah aku ceritakan kisah Sibe, aku tidak yakin kalian sepakat seperti di awal tadi.

            Hari itu pelajaran Bahasa Indonesia. Aku lupa kelas kami sedang diskusi tentang apa karna aku sedang asyik main Otello (permainan yg biasa dimaiankan dua orang di kertas strimin, dengan mengumpulkan lima kotak lurus, menyamping atau miring dari tanda silang dan nol) dengan Indra.

            "...Ini masalah Diksi. Kita ambil contoh radio BBC London yang selalu menggunakan kata 'militan palestina' untuk menyebut para pejuang palestina yang melawan teroris Israel. Lalu soal 'bom bunuh diri', kenapa bukan bom syahid? Bukankah mereka di sana berjuang, bukan bunuh diri? Diksi yang sengaja dipilih oleh media-media asing itu selalu menyudutkan Islam. Dan sayangnya, para wartawan kita menterjemahkan berita yang mereka download dari internet, dengan terjemahan yang sama persis, tidak diedit. Apakah ini tidak disebut pembodohan Bu? Padahal kita melihatnya, mendengarnya, membacanya setiap hari dan menelannya mentah-mentah..." Kalimatnya seperti rentetan peluru yang ditembakkan beruntun.

            "Ngomong apa tadi Sibe, Ndra?" Aku melotot ke arah Indra yang duduk di depanku. Posisi duduknya mengahadap ke arahku karna kami masih main otello. Tangan kanannya masih memegang pensil.

            "Nggak tahu, " Dia mengangkat bahunya. Lalu kembali ke posisi awal duduknya, menghadap ke arah depan.

            Baru kali ini kami melihat Bu Machsunnah kehabisan kata-kata.

            "Eh...yah anak-anak. Eh..." Dia mengangguk-angguk. "Sibe tadi menjelaskan bagaimana diksi bisa memberi rasa..." penjelasan Bu Machsunnah selanjutnya tak kudengarkan lagi.

            "Er, ngomongin apa sih? Sibe kenapa sih kok bawa-bawa palestina sama Israel, Teroris yah?" bisikku ke arah Erma teman sebangkuku. "Eh, Ndra kita main lagi!" kudorong punggung Indra yang duduk di depanku, dengan pensil.

            "Kalian ini dari tadi berisik. Makanya dengerin! Dari tadi Sibe debat terus sama Bu Machsunnah. Lihat tuh Bu Machsunnah  sampai gak bisa ngomong. Aku saja nggak pernah terfikir sampai seperti itu." Pandangan mata Erma masih ke arah Bu Machsunnah dan Sibe secara bergantian. Mungkin dia sebal ada anak baru yang lebih kritis darinya, hingga akan menggeser peringkatnya di kelas.

SI BWhere stories live. Discover now