19# Move on

192 32 5
                                    

“Seperti bom, jika dibiarkan saja akan meledak sewaktu-waktu.”

----oOo-----


“Nyembunyiin apaan nih?”

Alvan dan Nathan spontan menoleh bersamaan.

Dua lelaki itu sempat bertukar pandang sebentar. Seperti sama-sama berbicara melalui netra.

“Maksud lo?” Alih-alih menjawab, Alvan justru bertanya balik.

“Tadi gue denger kalian ngomong tentang sesuatu yang disembunyikan. Apaan tuh?” jelas Ara.

“Hah? Kita dari tadi diem kok,” jawab Nathan.

“Bohong banget. Orang tadi jelas-jelas gue denger kalian ngomong,” ujar Ara masih tak percaya.

“Tetangga kali. Bener kata Nathan, kita dari tadi diem sambil berusaha ngangkat arang ini,” jelas Alvan sambil menunjukkan sekarung arang.

“Iya ih. Lo aja yang halu kali. Orang dari tadi kita diem-diem bae,” imbuh Nathan.

Ara mengerjapkan matanya sejenak.

“Kebiasaan deh, Ara. Kalo lagi galau suka gak jelas,” seru Nathan.

“Apaan sih! Au ah. Cepetan arangnya ditunggu ibuk,” ujar gadis itu sebelum beranjak ke dapur seperti niat awalnya tadi--mengambil kecap.

Ara masih bingung, jelas-jelas tadi dia mendengar suara laki-laki sedang berbicara. Tapi dua temannya itu terus menyangkal. Atau memang benar jika dirinya sedang berhalusinasi? Atau itu hanya suara dari tetangga samping rumahnya? Entahlah. Tak mau terus bergulat dengan pikirannya sendiri, dengan segera gadis itu mencari kecap dan bergegas kembali ke rooftop.

Sampai di atas pun suasana masih sama seperti tadi. Suara petikan gitar masih mengiringi malam ini. Jika tadi Alvan yang mengambil alih, kali ini Raka yang sedang memainkan gitarnya.

Baru saja kakinya sampai di rooftop, Ara kembali sendu. Dengan tangan yang terus memetik senar gitarnya, ditambah hembusan angin yang menerpa rambutnya. Lelaki itu terlihat amat indah di mata Ara. Sayangnya pemandangan yang indah hanya bisa ia nikmati dari kejauhan. Ia tak bisa melangkah lebih dekat semenjak hubungan lelaki itu dengan Rere terungkap.

Entah mengapa Ara merasa tak percaya diri jika berada di sekitar Raka. Lelaki itu berhasil memporak porandakan hatinya.

“Ara, sini. Ngapain berdiri di situ.” Suara Raka terasa seperti panggilan maut baginya.

“Kenapa pakai manggil segala sih,” gumamnya dalam hati.

“Ara, itu diajakin ngomong sama Mas Raka kok diem aja sih. Gak sopan deh,” tutur ibu saat di liat anaknya itu semakin aneh. Dipanggil bukannya menyahut, malah melamun.

“Ah, iya, Buk.” Dengan segera kakinya melangkan menuju atas dipan tempat Raka dan lainnya berada.

Ia terus melangkah walaupun nampak ragu.

“Kamu kenapa, dek? Sakit? Kok kelihatan pucat?” tanya Raka saat Ara sudah berada tepat di depannya. Tangan kekar itu terulur menyentuh dahi Ara yang malam ini terasa dingin.

“Dingin. Tapi kok kaya lemes gitu? Are you okay?

“Aduh, mas. Diem sehari aja gak bisa ya? Lama-lama jantung gue meledak ini,” gumam Ara dalam hati.

“Gak papa kok, Mas. Mungkin cuman kedinginan aja,” jawabnya canggung.

“Makanya pakai jaket,” seru Nathan seraya memakaikan jaket yang semula ia pakai itu untuk Ara.

Asrama Asmara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang