Doctor, Doctor

135 14 7
                                    

Haechan meringis ketika dokter muda yang Haechan ketahui bernama Jeno itu mengoleskan salep antibiotik pada lukanya di pipi.

"Kenapa setiap hari selalu ada luka baru di wajahmu?"

Ya, itu luka baru. Baru saja Haechan dapatkan beberapa menit lalu di ujung gang berjarak 300 meter dari klinik tempatnya berada sekarang. Dari kepalan tangan seorang preman mabuk yang satu jarinya terselip cincin berbatu besar.

"Karna aku petarung," jawab Haechan bangga, berusaha mati-matian tidak mengeluarkan keluhan sakit yang sebenarnya ia rasakan. Pipinya masih berdenyut sakit dan perih, omong-omong. Bahkan, luka-luka kemarin beberapa masih sakit.

Suara kekehan terdengar dari sisi kiri, di mana teman yang mengantar Haechan duduk sambil mengemut lolipop. "Petarung apaan?" sindirnya.

Haechan melirik kawannya itu tanpa menoleh. "Kenapa? Nggak suka?"

"Iya, soalnya kamu ngaku-ngaku."

"Sekalian saya obatin luka kamu yang kemarin, ya?"

Pertanyaan Jeno menghentikan Haechan yang hendak membalas perkataan temannya.

"Beberapa masih belum kering," lanjut sang dokter.

"Iya, Dok," jawab Haechan pelan.

Jeno fokus mengobati luka-luka di wajah Haechan dengan serius, sementara Haechan fokus memandangi serta mengagumi ketampanan Jeno; rahangnya yang tegas, bibir ranumnya yang mengatup rapat, hidung mancungnya yang menopang kacamata, serta matanya yang sedang balas menatap Hae—

Shit! Haechan mengumpat dalam hati. Jantungnya mendadak terpompa dua kali lebih cepat ketika beradu pandang dengan manik sang dokter. Tidak berlangsung lama, sebab si Dokter memutus pandangan lebih dulu kemudian menarik diri menjauh, pergi ke meja kerjanya.

"Apa perlu saya berikan resep lagi?" ujar Jeno seraya duduk dan mengambil bolpoin. "Atau obat dan salep 3 hari yang lalu masih ada?"

"Sudah habis, Dok. Kan, setiap hari babak belur."

Itu Jaemin yang menjawab, sebab Haechan termangu di tempatnya.

"Oke. Saya berikan resep lagi, ya?"

Haechan hanya mengangguk pelan, setengah jiwanya masih mengulangi adegan tatap-tatapan dengan Jeno.

"Sebenarnya dia nggak butuh resep obat, Dok, dia butuhnya nomor dokter."

Mendengar kalimat Jaemin seketika jiwa Haechan terkumpul sepenuhnya. "Jaemin!" Haechan melotot ke arah Jaemin. Namun, kawannya itu tidak mengacuhkan dirinya.

"Kalau dokter kasih nomor dokter, pasti dia nggak bakal luka-luka lagi setiap hari." Jaemin terus saja mencerocos, mengabaikan Haechan yang terus memberinya gestur untuk tutup mulut. "Dia sengaja minta preman pukul mukanya biar punya alasan ke sini dan ketemu dokter."

"Jangan percaya omongannya, Dok, dia emang suka—" Haechan diam sejenak, terkejut ketika berpaling dari Jaemin ternyata Jeno sudah berdiri di depannya sambil menyodorkan secarik kertas "—ngarang cerita," sambung Haechan lirih. Tangannya terulur mengambil kertas resep.

"Kalau yang dibilang Jaemin memang benar, tolong berhenti, ya. Jangan sakitin diri kamu lagi. Itu bahaya."

Rambutnya diacak oleh sang dokter, hati Haechan ikut teracak-acak.

"Sayang muka manis kamu jadi ketutupan luka."

Ambyar sudah Haechan disebut manis oleh Dokter sang pujaan hati. Kepalanya tertunduk dalam. Malu.

"Kalau kamu kangen saya, hubungin aja nomor di belakang kertas itu."

Jaemin terbatuk di tempatnya. Entah apa penyebabnya, mungkin tersedak permen. Haechan tidak ada waktu berpikir untuk itu, karna ia sibuk memikirkan dadanya yang bergemuruh, berdetak tidak karuan.

Haechan meremat kaos hitamnya di bagian dada—tepat di mana jantungnya. Mendongak menatap sang dokter yang melempar senyum tipis ke arahnya.

"Dok, kayanya saya kena serangan jantung," ucap Haechan membuat sang dokter tertawa kecil.

Mak, Echan, siap bawa menantu.



END

Untuk permulaan. Cerita ini sudah pernah saya upload di ao3 dengan judul yang sama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NoHyuck StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang