awal, dan akhir.

23 2 0
                                    

kenyadari yesaya sasmita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kenyadari yesaya sasmita.

kenyadari yesaya sasmita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

maraka kalandra abraham.

☆☆☆

desember bulannya merindu. rintik air langit yang turun sepertinya membawa rindu ikut serta dalam perjalanannnya ke bumi. bau tanah sehabis hujan ini mengingatkanku pada satu hujan di bulan juni— bukan, bukan puisi milik mendiang pak sapardi. ini betulan hujan di bulan juni yang membawa kenangan indah dan membuangnya ke antah-berantah.

akan kubawa kalian pada kisahku di tanggal dua puluh, bulan juni, tahun dua ribu dua puluh.

kala itu hujan turun membasahi tanah, aku berlindung di halte dekat stasiun kereta. di sana tak hanya ada aku, ada seorang wanita setengah baya sedang menenteng belanjaannya yang dibungkus paperbag berwarna hitam bertuliskan nama brand terkenal dan mahal, pastinya. aku tidak heran, penampilannya saja seperti ibu-ibu muda sosialita yang hobinya jalan-jalan ketika sedang menunggu anaknya sekolah. ah, terlepas dari itu. di sebelahnya ada pemuda berkacamata dengan beanie hitam, sweater berwarna beige dan celana jeans hitam pula headphone yang bertengger di lehernya.

tak lama setelah aku memperhatikan dua orang itu, ada sebuah mobil mewah yang berhenti persis di depan halte. lalu keluar seorang pria kemeja putih berlapis jas hitam menghampiri wanita setengah baya di sebelahku. lalu ia berkata, "sayang, sudah nunggu lama, ya?" oh. suaminya, ternyata. kini sisa aku dan pemuda itu yang berteduh di halte. aku mendudukan diri di sebelahnya—tadinya aku berdiri—aku melihat sekitar, hujan masih deras dan arlojiku menunjukan jam setengah tiga. aku melamun, sibuk bergulat dengan pikiranku sendiri, memikirkan bagaimana cara aku pulang. hujan deras dan payung hitamku lupa kubawa. sekonyong-konyong suara berat itu menginterupsiku,

"mba, mau ke stasiun juga? kalau iya, mau bareng, gak? saya ada payung yang lumayan besar, bisa untuk berdua."

aku mendongkak, menatap netra coklat miliknya lalu menjawab, "iya, saya ke stasiun." aku menatap payung transparannya sesaat, "kalau tidak merepotkan, boleh, deh. saya bareng masnya."

stasiun kereta dan hujan bulan juni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang